PADA pengujung 2014 ini, peristiwa ekonomi yang cukup menggegerkan, khususnya bagi Indonesia, yaitu turunnya harga minyak dunia, yang telah menyentuh 60 dolar AS per barel. Diperkirakan harga tersebut bisa bertahan sampai 2 tahun mendatang, meskipun ada pengamat ekonomi memprediksi tahun 2015 bisa sekitar 70 dolar AS. Ada beberapa faktor yang menyebabkan turunnya harga minyak dunia. Pertama; meningkatnya pasokan atau produksi minyak Amerika Serikat (AS).
Hal itu terindikasi dari impor minyak AS yang turun dari 10 juta barel per hari (bph) menjadi 7 juta bph saat ini. Bersama dengan Kanada, pangsa pasar AS mencapai 11,8 persen di tahun 2013 atau naik dari tahun 2012 sebesar 10,7 persen. Hal tersebut telah mengurangi pangsa pasar negara-negara Timur Tengah dari 35,6 persen menjadi 34,9 persen pada periode sama.
Dengan demikian AS telah menjadi tiga besar produsen minyak dunia bersama Rusia dan Arab Saudi. Kedua; keputusan 12 negara OPEC pada pertemuan baru-baru ini untuk mempertahankan produksi total mereka 30 juta bph. Jumlah tersebut masih berpotensi bertambah 0,5-1 juta bph dari negaranegara anggota OPEC lain seperti Iran, Irak, dan Venezuela. Negara-negara besar anggota OPEC, termasuk Arab Saudi keberatan jika produksi minyak mereka diturunkan karena akan menurunkan reputasi dan dengan demikian juga saham perusahaan-perusahaan minyak mereka. Ketiga; kemenguatan dolar AS terhadap hampir semua mata uang membuat harga minyak dunia dalam dolar AS menjadi lebih murah. Kemenguatan dolar AS tersebut dipicu oleh membaiknya kondisi ekonomi AS antara lain yang diindikasikan menurunnya tingkat pengangguran. Keempat; turunnya pembelian atau konsumsi dari negara-negara konsumen minyak karena menurunnya pertumbuhan ekonomi mereka dan keberhasilan diversifikasi energi.
Negara-negara konsumen minyak yang permintaannya turun karena turunnya pertumbuhan ekonomi adalah negara-negara Eropa dan Jepang yang tumbuh negatif. Tiongkok dan India juga menurun pertumbuhan ekonominya dari 5 persen tahun 2012 menjadi 3,8 persen untuk Tiongkok dan 1,2 persen untuk India di tahun 2013. Khusus Jepang, menurunnya konsumsi minyak mereka juga disebabkan oleh pulihnya pasokan energi nuklir mereka. Turunnya harga minyak dunia tersebut mempunyai beberapa dampak bagi ekonomi Indonesia. Pertama; penghematan subsidi BBM akan meningkat jika harga BBM premium dipertahankan Rp 8.500/- liter.
Dengan harga BBM yang sudah dinaikkan jadi Rp 8.500 yang merupakan harga keekonomian (tanpa subsidi sama sekali) maka diperoleh penghematan subsidi Rp 110 triliun-Rp 140 triliun. Dengan menurunnya harga minyak dunia menjadi 60 dolar AS per barel maka harga keekonomian menjadi Rp 7.000/liter sehingga penghematan subsidi BBM menjadi membesar menjadi sekitar Rp 250 triliun. Kedua; karena Indonesia saat ini adalah importir bersih minyak (angka impor lebih besar dari ekspor) maka turunnya harga minyak dunia akan memperkecil defisit neraca transaksi berjalan (neraca barang dan jasa) Indonesia.
Menurut skenario BI tiap penurunan harga minyak dunia 1 dolar AS per barel akan mengurangi defisit neraca transaksi berjalan 170 juta dolar AS. Jadi, kalau harga minyak dunia bisa bertahan 60 dolar AS per barel maka defisit neraca transaksi berjalan Indonesia bisa di bawah 3 persen dari produk domestik bruto (PDB). Tahun 2015 bahkan defisit tersebut bisa mencapai hanya 2,5 persen dari PDB. Makin Menurun Ketiga; perusahaan-perusahaan asing baru yang akan berinvestasi di bidang perminyakan di Indonesia.
Hal ini akan membuat produksi (lifting) minyak Indonesia makin menurun. Padahal salah satu sebab mengapa Indonesia harus mengimpor minyak adalah karena kurangnya produksi minyak. Keempat; dampak tidak langsung adalah dampak dari realokasi penghematan subsidi BBM. Jika realokasi subsidi BBM diarahkan ke sektor-sektor yang produktif, salah satunya untuk pembangunan infrastruktur maka akan menurunkan biaya melakukan bisnis sehingga salah satunya akan meningkatkan ekspor. Lalu apa yang harus dilakukan menghadapi turunnya harga minyak dunia? Ada dua skenario besar. Pertama; menurunkan harga premium di dalam negeri menjadi sekitar Rp 7.000 per liter.
Ini bukan sesuatu yang sulitdilakukan. Contohnya solar untukindustri adalah solar nonsubsidiyang harganya naik turun mengikutiharga pasar. Hal tersebut tidakmenjadi masalah. Hanya saja, sayasetuju dengan Menteri KeuanganBambang Brojonegoro bahwamenghitung harga keekonomianpremium dalam negeri mestinyatidak didasarkan pada hargaminyak dunia akhir-akhir ini saja.
Menurut perhitungan Kemenku,harga rata-rata minyak dunia ditahun 2014 masih sekitar 100 dolarAS Jadi belum bisa dijadikan dasaruntuk menurunkan harga premiumdi dalam negeri.Skenario kedua, dan ini lebihrasional adalah mempertahankanharga premium dalam negeritetap Rp 8.500/liter. Hal ini akanmemberikan ruang fiskal yangsangat lebar yaitu Rp 250 triliun.Dana sebesar itu bisa digunakanuntuk program jangka pendek,menengah dan panjang bagiorang miskin yang sangat terkenadampak kenaikan harga BBM.
Di samping itu, dana tersebutharus dialokasikan juga untuk sektorkesehatan dan pendidikan dimana Indonesia masih sangatmemerlukannya untuk mengatrolkualitas SDM yang sampai saat inikalah bersaing dalam mutu dengannegara-negara lain, bahkan di tingkatASEAN. Alokasi untuk pembangunanberbagai infrastrukturjuga sangat penting dilakukan karenainilah yang menjadi sumberketertinggalan iklim bisnis Indonesiadibanding negara-negara lain.
Berbagai program tersebutperlu segera dilakukan oleh pemerintahJokowi-JK untuk membuktikankepada masyarakat bahwakenaikan harga BBM memangberguna untuk kepentingan yanglebih luas dan lebih produktif.Langkah berikut adalah memberikaninsentif pada kontraktoratau perusahaan-perusahaanminyak yang mungkin sempatturun semangatnya untuk mengeksplorasiminyak di Indonesia.Bentuk insentifnya antara lainkemudahan birokrasi perizinan,keringanan atau penundaan pembayaranpajak, dan sebagainya. (10)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar