Oleh Nugroho SBM
PADA 1 Mei diperingati sebagai Hari Buruh oleh para buruh Sedunia. HaI tersebut pertama kali ditetapkan oleh Kongres Sosialis Dunia Juli 1889 yang merupakan Konggres para buruh sedunia, di Paris. Tanggal itu ditetapkan sebagai Hari Buruh untuk mengenang Peristiwa yang dikenal sebagai ”Peristiwa Haymarket” di depan supermarket terkenal di AS waktu itu, yaitu ”Haymarket”.
Dalam peristiwa tersebut sekitar 400,000 orang buruh berdemonstrasi menuntut pe-ngurangan jam kerja menjadi hanya 8 jam sehari. Tindakan represif kemudian dilakukan oleh pemerintah AS lewat angkatan bersenjatanya dengan menembaki para buruh yang berdemonstrasi sehingga ratusan buruh tewas dan beberapa lainnya ditangkap dan dihukum mati.
Keseimbangan Kepentingan
Ada lima masalah yang masih membelit kaum buruh di Indonesia. Pertama mencari keseimbangan kepentingan antara buruh dengan pengusaha, Kepentingan buruh adalah mendapatkan upah yang mencukupi. Sedangkan kepentingan pengusaha adalah mendapatkan keuntungan normal dan terjamin keberlanjutan usahanya.
Kedua kepentingan tersebut seringkali bertabrakan, lebih-lebih pada saat krisis finansial global yang dipicu oleh krisis di AS mulai terasa dampaknya di Indonesia. Organisasi Buruh International (ILO) baru-baru ini memprediksikan ada sekitar 50 Juta buruh di seluruh dunia akan kehilangan pekerjaannya jika krisis ekonomi dunia tak segera diatasi.
PHK yang dilakukan pengusaha seringkali dipicu oleh tingginya tuntutan upah dan juga ketentuan upah minimum pemerintah yang terlalu tinggi. Pengusaha karena ”dipaksa” membayar upah yang tinggi tersebut akan menurutinya tetapi dengan melakukan PHK di sisi yang lain. Maka solusinya adalah dengan saling memahami satu sama lain antara buruh dan pengusaha.
Buruh perlu memahami situasi keuangan perusahaan. Jika memang perusahaan dalam kesulitan keuangan maka buruh hendaknya memahaminya. Oleh karena itu menjadi tugas serikat-serikat buruh (pekerja) untuk mendidik buruh agar memahami laporan keuangan perusahaan.
Sementara itu, pengusaha juga hendaknya jika memang mampu memberikan upah yang layak. Kalau perlu di atas upah minimum, sebab selama ini ada salah kaprah yang menganggap upah minimum sebagai upah maksimum.
Tetapi jika memang tidak mampu, pengusaha hendaknya secara terbuka memberitahukannya pada buruh. Cara lain agar buruh mau menerima ketidakmampuan perusahaan membayar upah yang layak adalah dengan memberi ”kompensasi” yang lain, misalnya melibatkan buruh dalam pengambilan keputusan perusahaan.
Dengan pelibatan seperti itu, buruh merasa dihargai sebagai manusia atau kebutuhan akan aktualisasi dirinya terpenuhi. Ini sesuai dengan pendarat pakar manajemen Herbert Maslow bahwa kebutuhan manusia tidak hanya kebutuhan fisik saja tetapi juga kebutuhan nonfisik antara lain kebutuhan untuk dihargai.
Ekonomi Biaya Tinggi
Masalah kedua terkait dengan masalah yang pertama yaitu masih adanya Ekonomi Biaya Tinggi di Indonesia sampai saat ini. Ketidakmampuan perusahaan untuk membayar upah buruh yang pantas salah satunya karena perusahaan harus menanggung berbagai pungutan baik yang liar maupun yang resmi.
Selama ini dalam riset-riset tentang ekonomi korupsi berkembang 2 (dua) teori besar tentang suap atau pungutan liar. Teori pertama yang dikenal dengan ”Hipotesis Uang Pelicin yang Efisien” (Efficient Grease Hypothesis) berpendapat bahwa suap yang diberikan perusahaan jika dihitung dengan nilai uang dan waktu akan jauh lebih efisien jika dibanding perusahaan menaati prosedur sesuai ketentuaan berlaku.
Tetapi banyak ahli yang menentang teori ini dan memperoleh bukti bahwa suap yang diberikan oleh perusahaan tidak mengurangi waktu dan biaya jika perusahaan berhadapan dengan pejabat publik. Bahkan pejabat publik akan menarik suap lebih besar dengan ”memainkan” prosedur formal. Hal demikian berlaku juga di Indonesia.
Maka upaya pemberantasan korupsi secara tegas dengan cara menindak para pelaku (baik pemberi maupun penerima suap) memang perlu terus dilakukan agar ekonomi biaya tinggi bisa terkikis.
Di samping itu; upaya-upaya untuk mencegah terjadinya korupsi dengan otomatisasi pelayanan adiministrasi publik seperti pembayaran pajak on line perlu dilakukan. Dengan otomatisasi tersebut maka kontak antara masyarakat dengan pejabat publik akan makin berkurang sehingga memperkecil peluang untuk korupsi.
Kesenjangan Upah
Masalah ketiga, kesenjangan upah antara pekerja kelas atas atau manajer dengan pekerja kelas bawah. Saat ini diperkirakan upah manajer di perusahaan yang bonafid di Indonesia bisa 50 kali lipat upah buruh, Soal kesenjangan upah ini memang bukan monopoli persoalan Indonesia. Sebagai contoh di AS saat ini gaji seorang eksekutif atau manajer perusahaan 225 kali lipat dari upah buruh.
Kesenjangan upah antara manajer dan buruh ini sebenarnya di luar logika teori ekonomi, Menurut teori upah yang paling banyak digunakan untuk penentuan upah --yaitu upah berdasarkan produktivitas-- maka jika gaji manajer 50 kali lipat upah buruh maka berarti produktivitas manajer 50 kali lipat (untuk Indonesia) atau 225 kali lipat (untuk AS) dibanding produktifitas buruh.
Siapa yang bisa percaya akan logika ini? Maka telah terjadi ”penghisapan” oleh manajer terhadap buruh dengan cara menentukan gaji manajer yang tinggi tetapi memberikan upah yang rendah bagi buruh.
Sebenarnya Organisasi Buruh Internasional (ILO) sudah memberikan aturan bahwa dalam sebuah perusahaan perbandingan antara gaji terendah dan tertinggi tidak boleh lebih dari 1 banding 7. Tetapi tampaknya aturan ILO tersebut jarang diperhatikan.
Sebab mengapa sampai saat ini upah buruh rendah tetapi gaji manajer tinggi; salah satunya adalah banyak perusahaan yang masih menganggap buruh sebagai beban dan pusat biaya (cost center) tetapi bukan sebagai asset.
Dalam perkembangan teori akuntansi sekarang ini banyak yang sudah memandang buruh sebagai asset. Jadi kalau perusahaan mengkursuskan karyawannya maka biaya kursus dibuktikan sebagai tambahan asset karena karyawan yang bertambah ahli dan bukannya di sisi kredit sebagai biaya.
Masalah kelima, adanya kebijakan tidak langsung yang tak mendukung berkembangnya dunia usaha dan dengan demikian juga tak mendukung perbaikan kesejahteraan kaum buruh. Berbagai contoh kebijakan demikian antara lain: pengurangan subsidi BRM; kenaikan tarif dasar listrik; serta kenaikan tarif pajak.
Kebijakan demikian akan menambah beban berat pengusaha dan untuk mengurangi beban tersebut maka buruh akan dikurbankan baik dalam bentuk PHK maupun tidak menaikkan upah buruh. (80)
–– Nugroho SBM, SE, MSP, Staf Pengajar FE Undip Semarang.