Kamis, 27 Oktober 2011

MEMPERSOALKAN KENAIKAN TARIF JALAN TOL

Oleh Nugroho SBM

Mulai 7 Oktober 2011, secara resmi pemerintah menaikkan tarif jalan tol untuk 14 (empat belas) ruas jalan tol. Ada yang berpendapat bahwa kenaikan tarif jalan tol tersebut tidak menimbulkan persoalan secara ekonomi karena sebagian besar pengguna tol adalah golongan menengah ke atas yang tergolong mampu secara ekonomi.
Pendapat tersebut memang ada benarnya, tetapi ada beberapa hal yang perlu dikritisi tentang kebijakan menaikkan tarif jalan tol ini. Pertama, meskipun kecil tetapi ada pengguna jalan tol yang merupakan golongan tidak mampu yaitu para penumpang angkutan umum. Bisanya kalau tarif tol dinaikkan maka tarif angkutan umum yang melewati tol juga dinaikkan. Akibatnya para penumpang angkutan umum yang bisa dipastikan mereka yang termasuk golongan pas-pasan bahkan tidak mampu secara ekonomi akan terkena dampak negatifnya. kalau menyangkut manusia, sebenarnya ukuran relatif (persentase) tidak bisa dijadikan ukuran. Maksudnya tidak bisa suatu kebijakan diambil hanya karena orang yang terkena dampak negatif hanya kecil secara persentase.

Dasar Menaikkan
Hal kedua yang perlu dikritisi tentang kebijakan menaikkan tarif jalan tol adalah apa dasar atau landasan hukum kebijakan menaikkan tarif jalan tol tersebut. Dasar hukum yang dipakai pemerintah untuk menaikkan tarif di 14 9empatbelas) ruas jalan tol ternyata adalah Undang-undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan. Dalam Undang-undang tersebut disebutkan bahwa tarif jalan tol akan disesuaikan (dinaikkan) setiap 2 (dua) tahun sekali berdasarkan inflasi. Amar (pertimbangan) dari hak menaikkan tarif otomatis setiap dua tahun ini ternyata adalah untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif yaitu suapaya swasta tertarik untuk menjadi operator infrastruktur dalam hal ini jalan tol di tengah keterbatasan dana pemerintah untuk membangun infrastruktur.
Ketentuan undang-undang ini menimbulkan beberapa masalah. Pertama, menimbulkan ketidakadilan di antara para operator infrastruktur. Hak menaikkan tarif secara otomatis tiap dua tahun sekali ternyata hanya dinikmati oleh operator infrastruktur yang lain seperti air minum, ketenagalistrikan, dan telekomunikasi. Kalau pertimbangan utama adalah menciptakan iklim investasi yang kondusif agar swasta mau berpartisipasi menjadi operator infrastruktur maka hak yang sama harus juga diberikan bagi operator infrastruktur yang lain.
Masalah kedua yang ditimbulkan oleh ketentuan undang-undang tentang jalan adalah inflasi sebagai dasar untuk menaikkan tarif jalan tol secara otomatis setiap dua tahun. Operator telekomunikasi memang pernah menggunakan inflasi sebagai dasar pertimbangan menaikkan tarif tetapi bukan sebagai variabel tunggal. Variabel lain yang digunakan oleh pemerintah untuk pertimbangan kenaikan tarif operator telekomunikasi adalah variabel efisiensi. Artinya jika operator telekomunikasi tidak mencapai indeks efisiensi tertentu maka tidak berhak menaikkan tarif. Ke depannnya undang-undang tentang jalan perlu direvisi dengan menambahkan variabel efisiensi untuk menaikkan tarif jalan tol..

Manfaat bagi Konsumen
Hal ketiga yang perlu dikritisi dari kebijakan menaikkan tarif jalan tol adalah manfaat bagi konsumen pengguna jalan tol. Mestinya setiap kenaikkan tarif jalan tol harus diikuti dengan tambahan manfaat (benefit) bagi konsumen pengguna jalan tol. Tetapi kebijakan kenaikan tarif jalan tol kali ini tidak disertai keterangan pemerintah tentang manfaat tambahan yang akan dinikmati oleh konsumen pengguna jalan tol.
Sebenarnya tentang manfaat yang dapat dinikmati oleh pengguna jalan tol sudah diatur dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum (PU) Nomor 392/PRT/M/2005 tentang Standar Pelayanan Minimum Jalan Tol. Namun, beberapa hal dalam peraturan menteri PU tersebut tetaplah belum sempurna dan perlu disempurnakan di masa mendatang.
Contoh standar pelayanan minimum jalan tol dalam Peraturan Menteri PU tersebut adalah transaksi pembayaran di pintu tol untuk setiap transaksinya tidak boleh lebih dari 8 (delapan) detik. Tetapi ketentuan ini tidak diikuti dengan ketentuan tentang panjang antrean. Mestinya standar pelayanan minimum tentang batas waktu 8 (delapan) detik untuk setiap transaksi tersebut hus diikuti dengan ketentuan panjang antrean kendaraan maksimum 10 (sepuluh) kendaraan. Jika antrean sudah lebih dari 10 (sepuluh) kendaraan maka ada dua langkah yang bisa dilakukan operator yaitu membuka pintu tol tambahan atau mempercepat waktu pelayanan menjadi kurang dari delapan detik.
Contoh yang lain lagi adalah standar pelayanan minimal tentang penanganan darurat jika terjadi kecelakaan di jalan tol. Dalam standar pelayanan minimal hanya diatur tentang kepemilikan jumlah minimal ambulans oleh operator, ketersediaan mobil derek, serta keberadaan mobil patroli. Bagi pengguna jalan tol yang lebih penting adalah jaminan serta batas waktu maksimum yang dibutuhkan untuk mendapat penanganan darurat jika terjadi kecelakaan di jalan tol.

(Nugroho SBM, SE, MSP, Staf Pengajar Fakultas Ekonomika dan Bisnis dan Program Magister Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan atau MIESP Undip Semarang)

Waspadai Pengaruh Tidak Langsung dari Krisis Eropa

Semarang- Ekonom Universitas Diponegoro Semarang, Jawa Tengah, Nugroho SBM memprediksi pengaruh krisis ekonomi beberapa negara di Eropa dan Amerika Serikat terhadap Indonesia relatif kecil karena ekspor Indonesia ke kawasan itu hanya 23 persen.
“Ekspor Indonesia ke Eropa sekitar 13 persen, sedangkan ke AS 10 persen. Itu artinya 77 persen ekspor Indonesia ditujukan ke negara-negara lain,” katanya dalam seminar internasional “Situasi Makroekonomi Global” di Semarang, Selasa (11/10).
Sejumlah ekonom, kata Nugroho, juga memperkirakan pengaruh krisis ekonomi dua benua itu terhadap Indonesia relatif kecil, namun Indonesia tetap harus waspada atas pengaruh tidak langsungnya.
Pengaruh tidak langsung itu, katanya, antara lain krisis permodalan dan nilai tukar mata uang, seperti melorotnya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia serta terdepresiasinya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.
“Penurunan nilai tukar rupiah ini mengkhawatirkan, sebab sekitar 40-60 persen bahan baku di Indonesia diperoleh dari impor,” kata Nugroho.
Selain itu, katanya, merosotnya IHSG menyebabkan banyak investor asing menjual saham untuk menukarkannya dengan dolar AS yang terus menguat.
Untuk meredam situasi ini, katanya, pemerintah harus membeli kembali Surat Utang Negara yang bernilai lebih dari Rp3,132 triliun dan menyediakan dana cadangan untuk mengakomodasi asumsi besaran-besaran perubahan makroekonomi dalam APBN.
“Perusahan-perusahaan milik negara juga dilarang menjual surat utang negara,” tambahnya.
Faktor fundamental ekonomi Indonesia lainnya dinilai Nugroho masih kuat, seperti cadangan devisa yang lebih dari 124,638 juta dolar AS. Angka sebesar ini, katanya, cukup untuk membiayai kebutuhan impor selama tujuh bulan.
Nugroho mengingatkan pemerintah agar mampu meyakinkan investor untuk melakukan investasi langsung jangka panjang, bukan berupa “uang panas” yang mudah “terbang” ketika situasi ekonomi dan moneter di belahan Bumi lain sedang bergejolak.
Indonesia dengan jumlah penduduk sekitar 250 juta jiwa, katanya, merupakan pasar potensial yang layak dijadikan tempat investasi langsung jangka panjang. O ant