Rabu, 10 Juni 2009

Komentar di Media Massa: Selisih Bunga Tabungan dengan Kredit Terlalu Lebar

Semarang, 8/1 (ANTARA) - Selisih suku bunga tabungan/deposito dengan pinjaman saat ini terlalu lebar, padahal Bank Indonesia melalui instrumen Sertifikat Bank Indonesia (SBI) cenderung menurunkan SBI.

Pemantauan di sejumlah bank di Semarang, Kamis, menyebutkan, suku bunga tabungan dan deposito rata-rata di bawah enam persen per tahun, sedangkan suku bunga kredit mencapai 16-18 persen/tahun.

Tingginya bunga kredit menunjukkan perbankan belum mampu meningkatkan efisiensinya sehingga meskipun memperoleh dana murah dari tabungan nasabah, perbankan tetap mematok bunga pinjaman sangat tinggi, padahal BI pekan ini menurunkan SBI (BI rate) menjadi 8,75 persen.

Ekonom Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Nugroho SBM mengatakan, selain disebabkan perbankan masih terjerat inefiseinsi biaya, faktor risiko kredit macet menjadi alasan penting mengapa perbankan masih tetap memungut bunga pinjaman tinggi.
"Karena risiko usaha saat ini dinilai meningkat, premi asuransi untuk melindungi dari risiko kredit macet juga naik. Biaya premi tentu masuk ke dalam beban biaya bunga yang harus ditanggung debitur," katanya.

Menurut dia, dalam situasi perekonomian yang sehat dan berkembang, selisih bunga tabungan dengan pinjaman lebih dari 10 persen memang tidak realistis. Idealnya, selisih bunga tabungan dengan kredit tidak lebih dari 5-6 persen.

Selain itu, rendahnya suku bunga perbankan juga menyurutkan animo masyarakat untuk menempatkan dananya di perbankan, apalagi imbalan bunga jauh di bawah inflasi tahunan.

Tingginya suku bunga pinjaman juga menyulitkan dunia usaha yang menjadi pangsa pasar utama kredit perbankan.

"Akan tetapi kita tidak bisa memaksa perbankan untuk segera menurunkan bunga kredit karena faktor risiko juga menjadi perhitungan mereka," katanya.

Menurut dia, BI memang telah memangkas SBI dengan tujuan mendorong kalangan perbankan juga menurunkan bunga pinjaman. Namun, pelaku usaha juga harus membuktikan bahwa bisnis mereka memang layak dikucuri pinjaman perbankan dan mampu mengembalikan utang tersebut.

Ia menegaskan, kalau bisnis berjalan lancar dan pengembalian utang juga lancar, dengan sendirinya perbankan akan menurunkan bunga pinjaman karena biaya untuk menutup premi kredit macet menurun.

"Jadi, pelaku usaha memiliki andil besar dalam upaya menurunkan suku bunga pinjaman," kata Nugroho. ***2***

Selasa, 09 Juni 2009

DEBAT PERTUMBUHAN EKONOMI

Oleh Nugroho SBM
SALAH satu materi debat antar calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) adalah masalah pertumbuhan ekonomi Indonesia rata-rata pada masa pemerintahan lima tahun mendatang (2010-2015). Pasangan SBY-Boediono menargetkan pertumbuhan ekonomi rata-rata tujuh persen. Pasangan JK-Wiranto menargetkan delapan persen.

Dan yang paling optimistis adalah pasangan Mega-Prabowo yang yakin pertumbuhan ekonomi Indonesia lima tahun ke depan bisa rata-rata 10 persen atau lebih. Yang menarik adalah ketiga pasangan presiden dan wakil presiden tersebut menargetkan angka pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dibanding periode 2004-2009 yang diperkirakan hanya empat sampai lima persen.

Namun masalah yang lebih menarik untuk diperdebatkan adalah bagaimana mencapai angka pertumbuhan ekonomi tersebut. Untuk menjawab masalah tersebut hat yang paling mendasar yang harus dijawab adalah sistem atau manajemen pengelolaan ekonomi macam apakah yang akan dianut.

Karena itu perdebatan isu tentang sistem ekonomi neoliberal yang selama ini dipraktikkan dengan sistem ekonomi yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat tetap perlu dan produktif. Sebab jika pertanyaan mendasar tersebut tidak dijawab sebelumnya maka pertanyaan-pertanyaan lain yang lebih praktis tidak ada gunanya.

Sistem ekonomi neoliberal yang selama ini dipraktikkan, seperti telah banyak diulas, mempunyai ciri antara lain: pertama, kebijakan fiskal yang konservatif --dengan menekan defisit anggaran sekecil mungkin. Kedua, privatisasi Badan-Badan Usaha Milik Negara terutama kepada swasta asing.

Dan ketiga, liberalisasi ekonomi yang artinya peran negara makin dikurangi dan peran pasar sebagai pengatur ekonomi makin menonjol. Sistem neoliberal seperti itu ternyata tidak menghasilkan peningkatan kesejahteraan masyarakat banyak terutama yang miskin di satu pihak dan justru memperkaya mereka yang sudah kaya.

Sebaliknya, sistem ekonomi yang berorientasi pada kesejateraan masyarakat - yang dikenal sebagai konsep negara kesejahteraan (welfare state) - menghendaki peran pemerintah yang lebih aktif. Dengan demikian berbagai subsidi untuk barang-barang yang strategis bagi masyarakat banyak -seperti pupuk bagi petani - tetap diperlukan. Konsekuensinya mungkin defisit anggaran (APBN) bisa membesar.

Kesejahteraan

Jika setuju bahwa sistem ekonomi yang berorientasi kepada kesejahteraan masyarakat yang dipilih maka kemudian hal tersebut harus diikuti dengan proses pembentukan berbagai undang-undang yang memberikan kerangka pada sistem ekonomi tersebut.

Pertama, Undang-undang Dasar 1945 khususnya Pasal 33 yang telah diamandemen berkali-kali sehingga menampakkan wajah neoliberal harus dikembalikan pada semangat awalnya. Kedua, pemertahanan UU yang sudah mengarah pada pencapaian kesejahteraan rakyat banyak. Ketiga, penambahan UU baru yang bisa memperkuat sistem ekonomi untuk kemakmuran rakyatk.

Setelah menjawab sistem atau manajemen pengelolaan ekonomi seperti apa yang dikehendaki, pertanyaan selanjutnya yang lebih teknis adalah dari mana pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan oleh para calon presiden-wakil presiden tersebut dibiayai.

Pembiayaan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi tersebut berasal dari investasi baik yang berasal dari dalam negeri yang meliputi belanja modal di APBN, kredit perbankan, dan pasar modal; maupun yang berasal dari luar negeri, yaitu dari utang luar negeri dan Penanaman Modal Asing (PMA).

Sebagai gambaran untuk mencapai pertumbuhan ekonomi tujuh persen --dengan asumsi ICOR (Incremental Capital Output Ratio atau rasio tambahan modal dengan tambahan output) sebesar empat-- dibutuhkan investasi sebesar 28 persen dari PDB (Produk Domestik Bruto).

Kalau pertumbuhan ekonomi dinaikkan lagi jadi 8 persen maka kebutuhan investasi menjadi 32 persen dari PDB. Dan jika pertumbuhan ekonomi dinaikkan lagi jadi 10 persen maka kebutuhan investasinya menjadi 40 persen dari PDB. Sebagai perbandingan pada tahun 2008 rasio investasi terhadap PDB adalah 27,7 persen dari PDB atau senilai Rp 1.500 trilyun.

Kembali pada sumber-sumber pembiayaan investasi. Sumber dari belanja modal di APBN tampaknya tak bisa diharapkan banyak. Pada 2009, APBN hanya mengalokasikan belanja modal sebesar Rp 72 trilyun atau 1,3 persen dari PDB.

Diperkirakan pada periode 2010-2014 alokasi untuk belanja modal ini tak banyak mengalami peningkatan. Jika ingin dipacu lewat defisit anggaran yang lebih besar juga tidak bisa karena UU menentukan defisit anggaran (APBN) maksimal adalah 3 persen dari PDB. Maka seperti telah dikemukakan di bagian awal tulisan ini, tampaknya kebijakan fiskal konservatif dengan membatasi defisit anggaran perlu ditinggalkan dengan mengamandemen UU yang membatasi defisit APBN maksimal 3 persen dari PDB.

Sumber Lain

Sumber lain dari pembiayaan investasi adalah kredit perbankan. Selama lima tahun terakhir kredit perbankan tumbuh dengan pesat. Tahun 2008 kredit perbankan telah mencapai Rp 1.300 trilyun.

Tetapi kredit-kredit yang diberikan selama ini adalah kredit janka pendek baik untuk modal kerja maupun konsumsi. Hal tersebut bisa dimaklumi karena sumber dana untuk kredit perbankan tersebut sebagian besar (85 persen) berasal dari dana jangka pendek yaitu tabungan dan deposito 1 dan 3 bulan. Padahal pertumbuhan ekonomi butuh kredit-kredit jangka panjang untuk pembiayaan investasi jangka panjang seperti untuk pembangunan infrastruktur.

Bagaimana dengan utang luar negeri? Banyak yang menyatakan bahwa kesempatan kita untuk memperoleh utang luar negeri yang murah (soft loans) makin sempit. Kita dianggap negara yang sudah mampu untuk berutang komersial dengan jangka waktu pendek dan bunga tinggi.

Jika utang luar negeri komersial yang diambil maka hal tersebut pada awalnya memang akan menambah kemampuan untuk pembiayaan investasi tetapi pada giliran membayarnya maka justru membatasi kemampuan APBN untuk membiayai investasi.

Kemungkinan lain adalah dengan menarik Penanaman Modal Asing (PMA). Selama ini rasio nilai PMA terhadap PDB di Indonesia hanya sekitar 5 persen.

Bandingkan dengan negara lain misal China (11 persen), Venezuela (25 persen), Bolivia (45 persen), dan Vietnam (35 persen). Selama ini yang banyak dikeluhkan investor asing jika ingin berinvestasi di Indonesia adalah buruknya infrastruktur dan adanya ekonomi biaya tinggi akibat masih panjangnya birokrasi perijinan diu sebagian besar daerah di Indonesia dan masih merebaknya pungutan liar.

Jika infrastruktur dan ekonomi biaya tinggi bisa dibenahi maka PMA akan masuk. Mungkin akan timbul pertanyaan apakah ditarik masuknya investasi asing ini bukan ciri lain dari ekonomi Neo-Liberal? Jawabannya tidak. Ekonomi Neo-Liberal menjual kekayaan alam serta BUMN secara murah kepada asing.

Tetapi dalam ekonomi yang berorientasi pada kesejahteraan masyarakat justru Indonesialah yang harus mengendalikan investasi asing tersebut. Misalnya lewat kontrak yang menguntungkan Indonesia. Tidak seperti sekarang dimana kontrak-kontrak eksplorasi minyak dengan pihak asing ternyata lebih menguntungkan pihak asing.

Terakhir ada satu sumber pembiayaan investasi yang belum banyak digali yaitu pajak. Sayangnya tidak ada kandidat presiden dan wakil presiden yang secara khusus menyinggung soal bagaimana meningkatkan penerimaan dari pajak. Selama ini penerimaan pajak belum optimal. Masih banyak penggelapan pajak yang terjadi. (35)

–– Nugroho SBM, staf pengajar FE Undip Semarang
(tulisan dimuat di rubrik Wacana Suara Merdeka 10 Juni 2009)

Komentar di Media Massa: Pemerintah Gagal Turunkan Suku Bunga Kredit

Semarang, (Analisa)
Ekonom Universitas Diponegoro Semarang, Nugroho SBM menilai, Suku Bank Indonesia (SBI) atau BI Rate yang selama ini menjadi acuan bunga bank telah gagal menjadi instrumen yang bisa menekan perbankan untuk menurunkan bunga kredit.
"Bank Indonesia dalam beberapa bulan terakhir ini sudah menurunkan BI 'Rate' dua kali dan sekarang ini berada di level tujuh persen, namun perbankan tidak merespon penurunan SBI ini," katanya ketika dihubungi di Semarang, Sabtu.
Kebijakan BI secara bertahap menurunkan SBI, menurut dia, antara lain untuk mendorong perbankan menyesuaikan bunga pinjaman, agar sektor riil bisa bergerak lebih cepat.
Menurut dia, dalam kondisi makroekonomi relatif baik seperti sekarang ini dunia usaha membutuhkan suntikan modal yang cukup dengan tingkat suku bunga kompetitif.
Akan tetapi, katanya, suku bunga kredit yang dipatok perbankan masih tinggi, berkisar 12-15 persen/tahun sehingga banyak pelaku usaha yang mengurungkan niat menambah modal untuk ekspansi usaha.
Kalangan perbankan sendiri, katanya, juga tidak mudah mengucurkan kredit.
"Ada beberapa bank mengalami kesulitan likuiditas, namun banyak pula yang memilih menempatkan kelebihan likuiditasnya ke surat utang negara (SUN) dan Sukuk, yang selain lebih aman juga menjanjikan keuntungan cukup besar," katanya.
Sebagian bank, katanya, memilih berbisnis valuta asing (valas) karena mata uang dunia masih fluktuatif di saat perekonomian global belum sepenuhnya pulih.
Ia mengingatkan, pemerintah memiliki kewajiban politik untuk menciptakan instrumen yang mampu menciptakan keseimbangan antara ketersediaan modal dengan permintaan kredit dengan suku bunga yang kompetitif.
Oleh karena itu, menurut dia, pemerintah perlu mengatur selisih maksimal antara BI "Rate" dengan bunga kredit, misalnya bila BI "Rate" tujuh persen, maka maksimal bunga kredit perbankan 10 persen/tahun.
"Regulasi itu tidak perlu berupa undang-undang, tetapi cukup peraturan yang dikeluarkan Bank Indonesia. Yang penting ada aturan yang memberi sanksi bagi bank yang melanggar ketentuan itu," kata Nugroho.
Ia membandingkan, di negara lain seperti Jepang, selisih (spread) antara bunga tabungan/deposito dengan pinjaman hanya 0,5-1 persen, sedangkan di Indonesia saat ini selisihnya lebih dari enam persen.
Bank-bank BUMN, katanya, harus berani mempelopori menurunkan suku bunga kredit, sebab selain berfungsi memupuk keuntungan, bank BUMN juga memiliki kewajiban moral ikut mendorong tumbuhnya sektor riil. (Ant)