Senin, 19 September 2011

SAATNYA BI TURUNKAN SUKU BUNGA

ANTARA - Ekonom Universitas Diponegoro Semarang Nugroho SBM menyatakan sekarang ini merupakan momentum yang tepat bagi Bank Indonesia untuk menurunkan suku bunga acuan atau Sertifikat Bank Indonesia (BI Rate) karena nilai rupiah terus menguat.

"Tanpa mematok SBI tinggi seperti sekarang ini yang mencapai 6,75 persen, rupiah tetap akan menguat. BI setidaknya bisa menurunkan suku bunga acuan hingga 50 basis poin menjadi 6,25 persen," katanya di Semarang, Selasa, ketika diminta pendapatnya mengenai suku bunga acuan.

Krisis finansial yang melanda Eropa dan melambatnya perekonomian Amerika Serikat, menurut Nugroho, menyebabkan modal mengalir deras ke Asia, termasuk ke Indonesia, yang mengalami pertumbunan tinggi bersama China dan India.

Dosen Fakultas Ekonomi Undip itu mengemukakan, pematokan bunga tinggi malah hanya mendorong aliran uang dari luar negeri ditempatkan dalam investasi jangka pendek, seperti di pasar modal dan deposito yang lebih aman, namun menjanjikan keuntungan agak tinggi.

"Di Eropa dan Jepang, misalnya, bunga deposito nyaris nol persen, namun di Indonesia perbankan rata-rata memberi 4-5 persen per tahun. Kalau punya puluhan miliar rupiah, bunganya lebih tinggi lagi," katanya.

Ia mengkhawatirkan aliran dana yang masuk ke Indonesia dibenamkan dalam investasi jangka pendek, seperti di bursa saham atau deposito, padahal negeri ini membutuhkan investasi langsung yang besar untuk menggerakkan sektor riil demi memacu pertumbuhan.

Menurut dia, sektor riil bisa tumbuh cepat bila memiliki dukungan infrastruktur memadai, birokrasi yang efisien, dan tata kelola pemerintahan yang bersih.

"Satu hal lagi, bila bunga kredit rendah sehingga mampu menciptakan daya saing usaha," katanya.

Akan tetapi, kata Nugroho, yang terjadi saat ini Indonesia masih bergumul dengan infrastruktur yang karut-marut, birokrasi belum efisien, dan korupsi yang melanda di berbagai sektor.

"Ketiga hal tersebut sangat membebani daya saing dunia bisnis. Tiga hal tersebut ditambah suku bunga tinggi kian meredupkan daya saing," kata Nugroho.
Ia menambahkan bank-bank pemerintah harus menjadi pelopor penurunan suku bunga pinjaman jika BI menurunkan SBI. Pengalaman selama ini, kata Nugroho, bank-bank BUMN malah enggan menurunkan suku bunga meski BI sudah menurunkan bunga acuan.

"Bank-bank BUMN kan ditarget setor keuntungan ke kas negara (APBN). Jadi, sepanjang mereka masih bisa menjual kredit dengan bunga tinggi, mereka tidak selamanya mengikuti penurunan SBI. Mereka (bank-bank BUMN) sebagai entitas binis juga dituntut meraih keuntungan tinggi," katanya.

Akan tetapi, kata Nugroho, penurunan bunga acuan oleh BI setidaknya akan memaksa perbankan meninjau ulang bunga kredit yang diberlakukan saat ini, yakni sekitar 13-14 persen/tahun (bunga efektif).

Pewarta : Achmad Zaenal
Penyunting : M Hari Atmoko

MEMAHAMI KONFLIK DI INDONESIA

Oleh Nugroho SBM

Indonesia kembali dilanda konflik. Ada 2 (dua) konflik yang masih hangat diberitakan oleh media massa yaitu di Kabupaten Kendal dan Ambon. Khusus untuk konflik di Ambon, ini adalah konflik yang kedua setelah konflik besar-besaran tahun 1989 an. Bila dilihat dari sejarah maka yang sering terjadi di Indonesia adalah konflik yang pemicunya adalah SARA atau Suku, Agama, Ras, dan Aliran.
Ada 2 (dua) teori sosial yang bisa menjelaskan terjadinya konflik di Indonesia. Teori pertama, disebut sebagai teori kultural. Menurut teori ini, konflik terjadi karena tiap suku, agama, ras, dan aliran mempunyai sistem kepercayaan atau dogma yang memang berbeda. Dogma tersebut seringkali diterima tanpa reserve dari para penganutnya. Bila antar suku, agama, ras, dan aliran tersebut bergesekan dalam suatu kasus maka akan menimbulkan konflik.
Teori kedua untuk menerangkan konflik adalah teori struktural. Menurut teori ini, SARA sebagai pemicu konflik hanya permukaannya saja. Ada faktor yang lebih mendasar dari SARA. Beberapa faktor mendasar itu adalah: pertama, adanya kesenjangan ekonomi antar anggota masyarakat yang dikelompokkan berdasarkan SARA. Kesenjangan ekonomi seringkali menciptakan kecemburuan sosial yang mudah berubah menjadi kekerasan atau konflik secara fisik.
Faktor kedua adalah adanya mobilisasi sosial yang terlalu cepat dari kelompok atau elemen masyarakat tertentu dibanding kelompok atau elemen masyarakat yang lain. Misalnya saja adanya kelompok pendatang dari etnis tertentu di suatu daerah yang ternyata bisa mencapai kemajuan ekonomi lebih cepat dibanding etnis asli yang sudah lama tinggal di daerah tersebut.
Faktor ketiga adalah adanya konspirasi tingkat tinggi antar penguasa militer maupun politik. Konspirasi tersebut menggunakan cara ”mengacak-acak” daerah-daerah tertentu yang rawan konflik baik untuk tujuan menaikkan daya tawar politik maupun untuk karir militer (oknum militer sengaja menciptakan konflik kemudian meredamnya sendiri yang membuahkan kenaikan pangkat atau karir militernya). Contoh lain konspirasi ini adalah fenomena pemekaran daerah baru atas dasar etnis. Pemekaran daerah baru atas dasar pengelompokan etnis ini secara potensial bisa menimbulkan konflik karena adanya etnis minoritas di daerah pemekaran baru tersebut. Di smping itu pemekaran daerah baru juga akan menjadi beban bagi APBN karena tambahan DAU dan dana Bagi Hasil bagi daerah pemekaran baru. Bila dilihat secara mendalam maka pemekaran itu ternyata salah satunya adalah hasil konspirasi mantan pejabat yang ingin menjabat lagi di daerah pemekaran baru.
Faktor keempat adalah adanya relasi fungsional antar pemerintah pusat dengan daerah (Kabupaten dan kota) yang tidak harmonis. Meskipun otonomi daerah sudah dilaksanakan yang mendorong daerah (Kabupaten dan Kota) bisa merumuskan sendiri kebijakan pembangunannya dan juga subsidi bagi daerah yang makin besar dengan Dana Alokasi Umum dan Dana Bagi Hasil, tetapi hubungan antara pemerintah pusat-daerah masih tidak harmonis. Banyak pemerintah daerah (Kabupaten dan Kota) yang sering memaksakan kehendak dengan melahirkan perda-perda yang tidak sesuai dengan peraturan atau undang-undang yang dijaga oleh pemerintah pusat. Perda-perda tersebut dikeluarkan dengan alasan kekhasan daerah atas nama otonomi daerah. Lahirnya perda-perda yang ”melenceng” tersebut tentu menimbulkan rasa tidak aman bagi unsur masyarakat yang berseberangan dengan perda. Hal ini bisa menimbulkan gesekan atau konflik.
Mestinya pemerintah pusat lebih proaktif untuk menjalin kerjasama yang lebih harmonis dengan pemerintah kabupaten dan kota sehingga tidak lahir perda-perda yang kontra dengan peraturan atau undang-undang secara nasional yang dijaga oleh pemerintah pusat. Selama ini yang dilakukan oleh pemerintah pusat adalah tindakan kuratif berupa pembatalan perda-perda yang bermasalah. Meskipun tindakan tersebut benar, tetapi alangkah lebih baiknya tindakan preventif yang lebih diutamakan yaitu menjalin hubungan yang lebih harmonis dengan pemerintah kabupaten dan kota seperti telah diuraikan.

Kebijakan
Baik teori kultural maupun teori sturuktural tampaknya bisa menjelaskan konflik yang masih sering terjadi di Indonesia. Maka bisa ditarik beberapa implikasi kebijakan atas dasar kedua teori untuk meredam konflik yang terjadi. Pertama, membangun nasionalisme Indonesia. Parakitri Tahi Simbolon pernah menyatakan bahwa Bangsa Indonesia adalah ”sebuah proyek yang belum selesai”. Artinya untuk mengintegrasikan unsur-unsur SARA di Indonesia menjadi bangsa yang tanpa memandang SARA belumlah selesai sampai sekarang. Banyak cara bisa dilakukan untuk hal ini. Dulu Bung Karno memakai musuh bersama dengan semboyan ”Ganyang Malaysia”. Sekarang ini cara yang bisa dilakukan adalah tidak membesar-nesarkan perbedaan atas dasar SARA baik dalam implementasi kebijakan maupun dalam pernyataan para pejabat.
Kedua, kebijakan pembangunan di bidang ekonomi hendknya tidak menimbulkan ketimpangan ekonomi antar SARA. Misalnya saja pemerintah harus lebih mendorong etnis atau pengusaha pribumi untuk lebih maju dengan berbagai fasilitas. Kebijakan seperti ini pernah dilakukan di Malaysia.
Ketiga, tindakan pemerintah untuk membatasi pemekaran daerah baru termasuk yang dibentuk atas dasar kesamaan etnis sudah benar dan perlu dilanjutkan.
Keempat, tindakan pemerintah pusat untuk membatalkan perda-perda bermasalah yang potensial memicu konflik juga sudah benar. Hanya perlu dibarengi dengan tindakan preventif berupa sosialisasi dari pemerintah pusat dan juga upaya-upaya lain untuk menjalin hubungan yang lebih harmonis antar pemerintah pusat dengan daerah sehingga tidak lahir perda-perda bermasalah yang memicu konflik.

(Nugroho SBM, Staf Pengajar di Fakultas Ekonomika dan Bisnis serta Program Magister Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan atau MIESP Undip Semarang)

MEWASPADAI KREDIT KONSUMSI

Oleh Nugroho SBM

Direktur pengawasan dan Penelitian BI, Wimboh Santosa, menyatakan bahwa Bank Indonesia tengah mewaspadai laju pertumbuhan kredit konsumsi dan meminta perbankan untuk segera mengalihkan fokusnya ke kredit produktif. Hal itu dilandasi data bahwa pertumbuhan kredit konsumsi rata-rata tumbuh per tahunnya 23,3 persen. Hal itu mendekati pertumbuhan kredit modal kerja sebesar 23,8 persen dan justru melampaui pertumbuhan kredit investasi sebesar 20,8 persen. Sedangkan kredit bermasalah di sektor konsumsi hingga saat ini mencapai 2,7 persen dari total kredit. (Rubrik Ekonomi dan Bisnis Suara Merdeka 27 Agustus 2011).
Kekhawatiran BI tersebut sangat beralasan karena dampak buruk potensial dari kredit konsumsi yang terlalu besar. Pertama, kegiatan konsumsi dalam ranah kebijakan ekonomi tidak akan banyak menstimulasi ekonomi. Dalam istilah kebijakan, kegiatan konsumsi tidak akan menimbulkan dampak pelipatgandaan (multiplier effect) yang akan membawa perekonmian ke kondisi yang lebih baik. Hal ini berbeda dengan kegiatan investasi. Jika ada investasi baru di suatu bidang usaha maka akan tercipta kesempatan kerja baru sehingga pendapatan masyarakat akan naik. Di samping itu juga akan tercipta kegiatan-kegiatan ekonomi baru yang terkait dengan investasi baru tersebut. Demikian seterusnya. Inilah yang disebut sebagai dampak pelipatgandaan atau multiplier effect.
Kedua, kredit konsumsi jika tidak hati-hati akan menyebabkan terjadinya kredit macet. Jika hal itu terjadi maka akan menyebabkan institusi keuangan terutama bank yang memberikan kredit juga akan mengalami kesulitan. Jika bank mengalami kesulitan maka hal itu akan mempengaruhi para deposan yang menyimpan uangnya di sana dan itu akan menyebabkan para deposan menarik uangnya secara beramai-ramai. Hal ini akan menimbulkan krisis lebih besar. Kita bisa menimba pengalaman dari krisis di Indonesia tahun 1997 yang antara lain juga dipicu oleh penarikan dana besar-besaran dari para deposan akibat kepanikan terjadinya depresiasi rupiah terhadap dolar AS yang begitu tajam.
Ketiga, seringkali kredit konsumsi juga digunakan untuk kegiatan spekulasi. Kegiatan spekulasi tersebut biasanya dilakukan di sektor perumahan atau properti. Seperti diketahui kredit konsumsi baik oleh bank maupun lembaga keuangan lainnya dibagi dalam tiga jenis yaitu kredit di sektor properti atau perumahan, kredit kendaraan bermotor, dan kredit multiguna. Sampai saat ini berdasarkan data BI komposisi kredit konsumsi adalah kredit perumahan atau properti Rp 17,9 triliun, kredit multiguna Rp 14,5 triliun, dan kredit kendaraan bermotor Rp 12,6 triliun.
Pada umumnya kredit perumahan digunakan untuk membeli rumah dengan alasan bukan karena kebutuhan tetapi karena rumah tersebut akan dijual lagi. Jadi untuk kegiatan spekulasi. Biasanya sebelum kredit perumahan tersebut lunas, si pengambil kredit yang pertama sudah melakukan penjualan rumahnya dengan melakukan oper kredit. Yang sering terjadi, penjualan rumah secara oper kredit tersebut tidak berjalan sesuai rencana atau tidak laku sehingga akhirnya kredit tersebut macet. Krisis keuangan yang terjadi di AS tahun 2007, sebenarnya juga dipicu oleh permasalahan kredit di sektor perumahan.

Sebab
Ada tiga sebab mengapa kredit konsumsi di Indonesia meningkat dengan cepat. Pertama, terjadinya kenaikan kelas menengah yang sifatnya konsumtif di Indonesia. Dalam laporan kuartal pertama tentang ekonomi Indonesia tahun 2011 (Indonesian Economy Quarterly 2011) dengan mengambil judul ”2008 Again ?” yang telah diseminarkan di Jakarta beberapa waktu lalu, Bank Dunia menyatakan telah terjadi kenaikan penduduk yang masuk dalam golongan kelas menengah.
Batasan golongan menengah yang digunakan oleh Bank Dunia adalah mereka yang pengeluaran per harinya 2 sampai 20 dolar AS per orang per hari. Dengan batasan seperti itu, Bank Dunia mencatat telah terjadi kenaikan golongan menengah dari 81 juta jiwa pada tahun 2003 menjadi 131 juta jiwa pada tahun 2010. Kenaikan golongan menengah Indonesia dari tahun 2003 sampai 2010 tersebut rata-rata adalah 7 juta per tahunnya.
Dengan menggunakan batasan yang sama, Bank Pembangunan Asia (Asia Development Bank atau ADB) mencatat kenaikan kelas menengah Indonesia dari 45 juta orang atau 25 persen dari total penduduk Indonesia pada tahun 1999 menjadi 93 juta orang atau 43 persen dari total penduduk Indonesia di tahun 2010.
Memang biasanya kelas menengah di seluruh dunia sifatnya adalah inovatif dan produktif sehingga bisa menjadi agen perubahan. Tetapi yang terjadi di Indonesia, kelas menengah ini justru sifatnya konsumtif. Salah satu indikatornya adalah jika ada pertunjukan musik yang harga karcisnya Rp 500.000,- sampai Rp 1 juta – yang merupakan batas kemampuan daya beli kelas menengah - langsung habis diserbu. Tetapi di sisi yang lain jumlah wirausahawan di Indonesia yang kreatif dan produktif tidak bertambah dengan signifikan.
Sebab kedua mengapa kredit konsumsi tumbuh dengan pesat adalah karena persyaratan administrasinya yang sangat mudah. Syarat administrasi untuk kredit kendaraan bermotor misalnya cukup hanya fotocopy KTP dan mengisi formulir tanpa ada survai tentang pemimjam. Uang muka yang dituntut pun untuk semua jenis kredit konsumi sangatlah ringan.
Sebab ketiga, para pemberi kredit konsumsi (bank dan non-bank) juga menggunakan modus yang aman dengan cara bekerjasama dengan instansi di mana sang debitur bekerja untuk memotong gaji sang debitur sebagai cicilan atas kreditnya. Dengan cara demikian kredit pasti kembali.

Kebijakan
Lalu kebijakan apa yang bisa dilakukan agar kredit konsumsi tidak tumbuh terlalu cepat dan kalaupun tumbuh tidak menyebabkan masalah? Pertama, bagaimanpun urgensi pendidikan karakter terutama penekanan bahwa gaya hidup bekerja keras, inovatif, produktif adalah lebih terhormat perlu terus diajarkan dalam berbagai tingkat pendidikan.
Di berbagai sekolah menengah bahkan dasar telah diajarkan muatan lokal berupa pendidikan ketrampilan praktis untuk berwirausaha. Di Fakultas Ekonomi Undip sendiri ada mata kuliah kewiraswastaan. Dalam mata kuliah tersebut ada teori dan praktek. Pada sesi praktek, mahasiswa dibagi dalam kelompok kemudian diberi modal untuk memulai suatu usaha. Pada akhir kuliah modal harus dikembalikan dan dilaporkan berapa keuntungan yang diperoleh. Banyak mahasiswa yang kemudian melanjutkan usaha tersebut dan mengembangkannya. Dengan cara ini diharapkan ada jiwa kewiraswastaan yang tertanam sehingga pertambahan kelas menengah yang cukup cepat di Indonesia tidak menjadi kelas yang konsumtif tetapi kelas yang produktif.
Kebijakan kedua, BI seyogyanya menetapkan kebijakan perkreditan yang ketat di kredit konsumsi. Salah satunya adalah penetapan batas minimum uang muka untuk kredit konsumsi. Kesepakatan yang ada di kalangan profesional keuangan, batas minimum uang muka yang aman untuk kredit adalah 30 persen dari nilai kredit.

(Nugroho SBM, Staf Pengajar Fakultas Ekonomika dan Bisnis serta Program Magister Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan atau MIESP Undip Semarang)

KEPENTINGAN EKONOMI DAN PELANGGARAN TATA RUANG

Oleh Nugroho SBM

Sewaktu penulis pertama kali masuk kuliah di program pasca sarjana perencanaan wilayah dan kota (planologi) di Insitut Teknologi Bandung (ITB), Dr. Ir Tommy Firman salah seorang pengajar menyatakan bahwa program harus menerima lebih banyak mahasiswa dari disiplin ilmu ekonomi. Alasannya supaya para perencana kota mengenal lebih dalam ilmu ekonomi. Dia menjelaskan bahwa para perencana kota yang kebanyakan dari disiplin ilmu arsitektur gagal membuat rencana kota yang ditaati dalam pelaksanaannya. Kebanyakan rencana kota yang dibuat oleh para arsitek, masih menurut Tommy Firman, kalah oleh kepentingan dan dinamika ekonomi. Banyak penggunaan lahan untuk perkantoran atau ruang terbuka hijau yang akhirnya berubah menjadi kawasan bisnis.
Pernyataan Dr. Ir Tommy Firman (sekarang sudah guru besar) yang penulis kutip di depan sangat relevan dengan keresahan dan pernyataan Imam Mardjuki (Ketua Fraksi PKS DPRD Kota Semarang) menanggapi disahkannya Perda Nomor 19 tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Semarang 2011-2030 Menurut Mardjuki setelah disahkannya RTRW Kota Semarang 2011-2030 tersebut hendaknya jangan ada lagi ijin-ijin pembangunan yang berseberangan dengan RTRW tersebut (SM, 3/6 /11).
Masih menurut Mardjuki lagi, selama ini RTRW kerap dilanggar. Ia mencontohkan 2 (dua) pelanggaran terhadap RTRW yang lama (Perda Nomor 5 Tahun 2004 Tentang RTRW Kota Semarang 2000 – 2010). Pertama, kawasan jalan Pemuda dalam RTRW ditetapkan sebagai kawasan untuk pemerintahan. Terbukti sekarang sudah menjadi kawasan perbelanjaan dan juga banyak hotel berbintang berdiri di sana. Kedua, di kawasan jalan Pemuda juga diperbolehkan untuk perguruan tinggi dengan konsentrasi pada disiplin ilmu teknologi informasi, kini sudah tumbuh perguruan tinggi dengan bebagai disiplin ilmu atau tidak lagi hanya yang berkonsentrasi pada teknologi informasi.
Sebenarnya, pelanggaran tata ruang wilayah kota Semarang terjadi juga jauh sebelum RTRW Kota Semarang 2000-2010 seperti yang disebut oleh Mardjuki.Sebagian besar masyarakat kota Semarang tahu dalam RTRW Kota Semarang sebelum RTRW 2000-2010, kawasan Simpang Lima misalnya diperuntukkan untuk perkantoran, olahraga dan keagamaan. Tetapi sekarang kawasan tersebut sudah berubah menjadi kawasan bisnis.

Penyebab dan Solusinya
Melihat kecenderungan pelanggaran tata ruang di Kota Semarang, lalu timbul pertanyaan apa penyebabnya? Pertama, penulis setuju dengan pernyataan Dr. Ir Tommy Firman bahwa kebanyakan rencana tata ruang kota tidak disusun dengan mengakomodasikan kegiatan ekonomi masyarakat yang memang sangat dinamis. Kasus perubahan drastis kawasan Simpang Lima dari kawasan perkantoran, olahraga dan keagamaan menjadi kawasan bisnis karena kurangnya pemahaman bahwa lokasi di pusat kota sangat diinginkan oleh kegiatan ekonomi atau bisnis Hal tersebut terjadi karena penyusunan rencana kota kurang melibatkan para ahli ekonomi secara intens.
Selama ini peran ahli ekonomi dalam perencanaan kota hanya sebagai tempelan belaka. Akibatnya aspek analisis ekonomi kurang mendapat tempat yang menonjol. Urusan perencanaan kota dianggap urusan teknis para sarjana teknik (insinyur). Tetapi memang keterlibatan para ahli ekonomi dalam penyusunan rencana kota seringkali juga terkendala masalah data. Sebagaimana diketahui, di Indonesia makin sempit wilayah maka makin tidak ada data. Sebagai contoh data dasar seperti pendapatan masyarakat; pada tingkat nasional ada data pendapatan nasional; pada tingkat daerah ada data Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) pada tingkat provinsi dan kabupaten atau kota. Tetapi pada tingkat kecamatan data semacam itu tidak ada. Untuk mengatasinya para ahli ekonomi dan konsultan yang menyewanya harus berani melakukan survei lapangan langsung. Memang biayanya mahal, tetapi ada pepatah mengatakan ”Data untuk perencanaan memang mahal tetapi lebih mahal perencanaan tanpa data (mengingat dampak negatib yang akan terjadi)”.
Sebab kedua mengapa rencana kota –termasuk rencana kota Semarang – tidak ditaati dalam pelaksanannya adalah justru rencana kota itu terlalu kaku serta berjangka panjang di satu sisi dan di sisi lain kegiatan ekonomi dan bisnis sangat dinamis di sisi yang lain. Secara praktek di negara-negara di dunia, dikenal ada 2 (dua) macam rencana kota. Pertama, dikenal dengan nama Master Plan yang diterapkan di Amerika Serikat. Bentuk Master Plan ini biasanya berupa zonasi (pembagian ruang) yang kaku. Wilayah atau ruang yang sudah diplot untuk perumahan tidak boleh diubah menjadi perkantoran. Banyak ahli mengatakan bahwa Master Plan ini hanya cocok untuk kawasan yang baru (kota-kota baru). Kelemahan dari Master Plan adalah karena sifatnya yang kaku maka dalam jangka panjang tidak bisa mengakomodasikan dinamika aktivitas ekonomi dan bisnis masyarakat serta kurang realistik karena banyak aktivitas yang bisa dilakukan bersamaan tanpa saling menganggu. Meskipun begitu, Amerika Serikat dan beberapa negara masih memakai bentuk Master Plan ini untuk rencana kotanya.
Karena kelemahan rencana kota berbentuk Master Plan inilah kemudian lahir bentuk alternatifnya yang dikenal dengan Structural Plan. Bentuk ini banyak dipakai di negara-negara Eropa. Dalam bentuk ini, rencana kota hanya memuat garis-garis besar kegiatan utama yang diperbolehkan di beberapa wilayah dalam rencana kota. Kegiatan lain diperbolehkan berlokasi di situ asalkan tidak bertentangan. Contohnya: suatu kawasan yang ditentukan untuk kawasan perumahan masih diperbolehkan adanya perkantoran dan kegiatan jasa tetapi tertutup untuk kegiatan industri. Maka seberapa jauh RTRW Kota Semarang tahun 2011-2030 ditaati bisa dievaluasi dari seberapa luwes RTRW tersebut.

Sangsi
Sebab ketiga dari tidak ditaatinya RTRW Kota termasuk Kota Semarang adalah tiadanya sangsi hukum bagi yang melanggarnya. Tetapi itu dulu. Sekarang dengan Undang-undang yang baru yaitu Undang-undang Nomer 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang akan ada sangsi bagi siapapun (termasuk pemerintah) yang melanggar penggunaan lahan dan bangunan yang sudah ditetapkan di RTRW Kota. Ada 3 bentuk sangsi yaitu sangsi adiministrasi (termuat di Pasal 62 sampai 64), sangsi perdata (Pasal 66, 67, dan 75) dan sangsi pidana (Pasal 69 sampai 74).
Sangsi administratif meliputi peringatan tertulis, denda administratif sampai penutupan kegiatan dan pembongkaran bangunan. Sedangkan sangsi perdata antara lain memberi ganti rugi setelah diputuskan oleh pengadilan Dan sangsi pidana berupa hukuman kurungan minimal 1 tahun dan maksimal 5 tahun penjara serta denda minimal Rp 100 juta dan maksimal Rp 1 miliar. Sangsi tersebut sekali lagi bisa dikenakan kepada masyarakat maupun pejabat pemerintah sebagai personal dan pemerintah sebagai lembaga. Maka kalau ingin RTRW Kota Semarang tahun 2011-2030 yang sudah diperdakan menjadi Perda Nomor 19 tahun 2011 ditaati, penerapan sangsi yang sudah diatur secara jelas dalam UU Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang harus diterapkan secara tegas tanpa pandang bulu.

(Nugroho SBM, SE, MSP, Staf Pengajar FE Undip Semarang dan Alumnus Program S2 Planologi ITB)

Senin, 05 September 2011

RAPBN 2012: ANTARA NAZAR DAN GAYUS

Oleh Nugroho SBM

Presiden telah menyampaikan RAPBN 2012 di depan Sidang Paripurna DPR. Masyarakat umum, dunia usaha, pengamat, dan lain-lain tampaknya makin pesimistis dan acuh tak acuh menanggapi RAPBN tersebut. Menurut saya hal itu disebabkan oleh dua masalah yang membelit yaitu dari sisi pengeluaran dan penerimaan.
Dari sisi pengeluaran meskipun dikatakan belanja modal naik 27 persen menjadi Rp 126 triliun, tetapi banyak pihak pesimis apakah belanja modal sebesar itu bisa sebagai sarana untuk mencapai berbagai tujuan pembangunan ekonomi seperti pertumbuhan ekonomi, pemerataan pendapatan, pengurangan kemiskinan, penciptaan lapangan kerja dan lain-lain.
Dalam pengakuan Nazarudin di pelarian terungkap bahwa proyek-proyek pembangunan pemerintah, misalnya dalam kasus pembangunan Wisma Atlet, dalam pelaksanaan tendernya si pelaksana proyek harus mengeluarkan dana sekitar 20 persen dari nilai proyek. Ditambah biaya lain-lain dalam pelaksanaannya, maka uang yang harus dikeluarkan pelaksana proyek bisa mencapai 30 persen. Maka jika belanja modal di RAPBN 2012 sebesar Rp 162 triliun, yang akan dikeluarkan secara riil hanya 70 persennya yaitu sebesar Rp 117 triliun. Sisanya sebesar 30 persen akan menjadi “bancakan” para koruptor baik eksekutif , legislatif, maupun para calo anggaran.
Sebenarnya isu kebocoran anggaran ini bukan hal baru. Pada zaman Orde Baru, kita masih ingat pernyataan “Begawan Ekonomi” Indonesia Profesor Sumitro Djojohadikusumo (almarhum) yang menyatakan bahwa anggaran negara di sisi pengeluaran telah bocor kurang lebih 30 persen.

Gayus Tambunan
Dari sisi penerimaan khususnya dari pajak, juga ada masalah. Masalah yang dimaksud adalah penerimaan negara dari pajak telah dikorup oleh aparat pajak dengan melakukan kolusi bersama para pembayar pajak perusahaan-perusahaan besar. Kita masih ingat kasus Gayus Tambunan yang telah mengorup penerimaan pajak yang seharusnya disetor kepada negara. Itulah sebabnya rasio pajak terhadap PDB (Produk Domestik Bruto) di tahun 2011 hanya 12,2 persen dan diharapkan naik menjadi hanya 12,6 persen di tahun 2012 mendatang.
Jadi bisa disimpulkan, baik di sisi pengeluaran maupun di sisi penerimaan (khususnya dari pajak) APBN dari tahun ke tahun selalu dikorupsi. Mengapa hal ini dengan mudah terjadi? Salah satu cara menganalisisnya adalah dengan menganalisis manfaat “biaya melakukan korupsi di Indonesia.”
Manfaat ini masih ditambah dengan manfaat nonfinansial antara lain sikap masyarakat yang mulai permisif karena mulai pesimis dengan penindakan kasus korupsi dan ”dukungan” dari pejabat publik. Sikap permisif masyarakat membuat para koruptor tidak lagi merasa malu menghadapi wartawan dan sorotan kamera. Bahkan di televisi, para tertuduh dan terpidana kasus korupsi masih bisa tersenyum lebar. Untuk dukungan dari pejabat publik ada dua contoh. Pertama, usulan merevisi Undang-Undang Nomor 31 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di mana diusulkan hukuman maksimal bagi koruptor diturunkan, dan koruptor yang melakukan korupsi sampai Rp 25juta dibebaskan dari hukuman asalkan mengembalikan uang hasil korupsinya. Untungnya revisi tersebut ditunda sampai saat ini. Contoh kedua adalah pernyataan kontroversial Ketua DPR Marzuki Alie, beberapa waktu lalu tentang pembubaran KPK dan perlunya mengampuni para koruptor asalkan mengembalikan uang hasil korupsinya.

Hukuman Koruptor
Dengan demikian yang perlu dilihat pada kasus korupsi di Indonesia adalah biayanya. Pertama, ternyata hukuman untuk para koruptor masih terlalu ringan. Studi yang dilakukan oleh Rimawan Pradipto (2010) dari UGM menunjukkan bahwa uang hasil korupsi selama tahun 2001-2009 sebesar Rp 73,07 triliun. Tetapi total hukuman denda finansial yang dijatuhkan dan kembali ke kas negara hanya Rp 5,32 triliun atau 7,29 persen dari total dana yang dikorupsi. Belum lagi bila tingkat inflasi diperhitungkan ke dalamnya maka secara riil uang yang dikorupsi dan kembali kepada negara tentu lebih kecil lagi. Maka supaya para koruptor jera, hukuman denda finansial ini pun mestinya juga diperberat, tidak malah diperingan seperti yang dulu pernah diusulkan dalam revisi UU Nomor 31 tahun 2001 yang untungnya ditunda.
Kedua, dalam penerapan hukuman terhadap kasus korupsi tampaknya pertimbangan subjektif hakim masih ada sehingga para terdakwa menerima hukuman yang berbeda-beda. Kasus Artalyta Suryani misalnya mendapatkan vonis maksimal lima tahun penjara dan denda Rp 250 juta sesuai Pasal 5 ayat (1) huruf a UU Nomor 31 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Tetapi dari pihak penyelenggara negara yang menerima suap yaitu Irawady Joenoes seorang Komisioner Komisi Yudisial (KY) menerima hukuman delapan tahun penjara dan denda Rp 400 juta. Tetapi pasal yang dikenakan terhadap Irawady adalah Pasal 12 bukan Pasal 5 seperti yang dikenakan terhadap Artalyta. Hal ini tentu menyinggung rasa keadilan di masyarakat. Untuk itu hakim dan juga UU nya perlu melihat dengan objektif sehingga rasa keadilan dan efek jera terhadap koruptor bisa mencapai sasarannya.
Ketiga, dalam kasus korupsi dalam bentuk penyuapan kepada aparat hukum mestinya denda dan hukumannya lebih berat meskipun secara hukum positif yang tercantum dalam Undang-Undang hukumannya sudah tercantum secara pasti. Sesuai Konvensi Palermo tahun 2000 (Palermo Convention, 2000) tindak pidana korupsi dan suap-menyuap terhadap aparat penegak hukum khususnya aparat peradilan termasuk ke dalam kejahatan luar biasa (extraordinary crime) karena sifatnya yang kriminogin (dapat menjadi sumber kejahatan lain) dan viktimogin (secara potensial dapat merugikan berbagai dimensi kepentingan). Para aparat penegak hukum mestinya mengetahui hal ini.
Hanya dengan penegakan hukum yang serius terhadap para koruptor APBN baik dari sisi penerimaan (khususnya pajak) maupun sisi pengeluaran maka RAPBN 2012 yang setelah dibahas dengan DPR menjadi APBN 2012 bisa menjadi alat efektif untuk menyejahterakan masyarakat.