Kamis, 16 Juni 2011

EKONOMI PANCASILA DAN DOMINASI ASING

Oleh Nugroho SBM

Setiap memperingati Hari lahir Pancasila 1 Juni, seperti yang telah kita peringati beberapa hari yang lalu, wacana tentang penerapan Pancasila pada berbagai aspek kehidupan masyarakat Indonesia kembali muncul. Salah satu aspek di mana Pancasila harus diterapkan adalah ekonomi.
Ide tentang Ekonomi Pancasila yang pernah digulirkan Profesor Mubyarto dari UGM sekitar tahun 1980 an memang sekarang banyak dilupakan. Tetapi sebenarnya konsepnya sangat bagus yaitu bagaimana sila-sila dalam Pancasila diterapkan dalam kehidupan berekonomi masyarakat Indonesia. Dengan kata lain dalam kegiatan ekonomi, diharapkan semua pihak menerapkan ekonomi yang berketuhanan, berperikemanusiaan, memperhatikan persatuan, demokratis dan berkeadilan. Dan bila hal tersebut dipraktekkan secara benar maka bangsa Indonesia sendirilah yang mengendalikan perekonomiannya dan hasilnyapun bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Namun, sekarang ini banyak pihak risau bahwa ekonomi Indonesia sekarang ini sangat jauh dari konsep ekonomi Pancasila karena pihak asing ditengarai telah menguasai atau mendominasi ekonomi Indonesia. Dalam hal penguasaan atau dominasi asing atas ekonomi Indonesia memang timbul 2 (dua) pendapat yang berbeda.

Dua Pendapat
Pendapat pertama menolak adanya pendapat yang menyatakan bahwa asing telah mendominasi ekonomi Indonesia. Tolok ukur yang digunakan adalah: pertama, rasio utang luar negeri Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang hanya 27 persen dan terus menurun. Kedua, rasio ekspor terhadap PDB juga hanya 28 persen. Angka-angka itu berarti ketergantungan ekonomi Indonesia terhadap asing sangat rendah.
Pendapat kedua – yang akhir-akhir ini lebih nyaring terdengar – menyatakan bahwa memang asing telah mendominasi ekonomi Indonesia. Ada beberapa indikator yang dikemukakan. Pertama, dominasi asing terjadi di dunia perbankan. Hingga Maret 2011 asing telah menguasai 50,6 persen dari asset perbankan nasional artinya dari total asset perbankan nasional senilai Rp 3.065 triliun, Rp 1.551 triliun di antaranya sudah dimiliki asing. Di antara 121 bank umum, kepemilikan asing dalam bentuk saham sudah ada di 47 bank umum dengan porsi kepemilikan asing yang bervariasi.
Kedua, asing juga sudah menguasai dunia perasuransian nasional. Di antara 45 perusahaan asuransi jiwa yang beroperasi di Indonesia, tak sampai setengahnya yang milik pribumi atau orang Indonesia. Perusahaan asuransi besar yang asset atau ekuitasnya di atas Rp 750 miliar, hampir semuanya merupakan perusahaan patungan dengan perusahaan asing. Dari sisi perolehan premi, 5 (lima) besarnya adalah perusahaan asing.
Ketiga, di pasar modal kepemilikan atau dominasi asing lebih terlihat. Dari semua saham yang dicatatkan dan diperdagangkan di Bursa Efek Indonesia, 60 sampai 70 persen sudah dimiliki oleh asing.
Keempat, dominasi asing terlihat pula di kepemilikan BUMN yang sudah diprivatisasi. Dari semua BUMN yang sudah diprivatisasi oleh pemerintah kepemilikan asing sudah mencapai 60 persen. Di sektor minyak dan gas, dominasi asing tersebut lebih tampak lagi. Dari semua operator pertambangan minyak dan gas yang beroperasi di Indonesia, 75 persen milik asing dan hanya 25 persen milik pribumi.
Kelima, indikator lain bahwa ekonomi Indonesia sudah didominasi asing adalah sangat pekanya indikator-indikator makro ekonomi Indonesia terhadap perubahan indikator-indikator ekonomi internasional. Salah satu contoh indikator ekonomi makro adalah suku bunga acuan Bank Indonesia (BI Rate). Dalam berbagai momen jika Bank Sentral AS meningkatkan atau menurunkan suku bunga acuan di AS (Fed Rate) maka dengan seketika pula BI akan menyesuaikan BI Rate nya.

Mengapa Khawatir?
Timbul pertanyaan mengapa banyak pihak khwatir akan dominasi asing dalam ekonomi Indonesia? Ada minimal dua alasan. Pertama, keberadaan asing dalam ekonomi Indonesia ternyata tidak banyak meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia pada umumnya. Perusahaan-perusahaan pertambangan migas milik asing yang ada di Indonesia hanya memberikan bagi hasil yang sangat kecil bagi pemerintah Indonesia. Dalam hal penyerapan tenaga kerja pun sumbangannya minim. Tenaga kerja yang dipakai kebanyakan adalah tenaga kerja asing. Teknologi yang digunakan adalah teknologi padat modal yang sangat sedikit menyerap tenaga kerja. Laba usaha yang didapatkan pun tidak dibelanjakan di Indonesia tetapi dikirim ke negara asal dari perusahaan asing tersebut Contoh nyata dari kasus keberadaan perusahaan-perusahaan asing di daerah yang tidak atau sedikit menyumbangkan peningkatan kesejahteraan masyarakat dapat dilihat pada keberadaan PT Freeport, Newmont, dan masih banyak lagi.
Kedua, dominasi asing bisa mempengaruhi arah kebijakan ekonomi kita. Kita masih ingat bagaimana IMF di tahun 1997 – untuk membantu Indonesia mengatasi Krisis Ekonomi - dengan Letter of Intent (LOI) nya bisa menyetir kebijakan ekonomi Indonesia bahkan mengalahkan GBHN yang sudah disusun secara susah payah oleh MPR. Fakta demikian bukan monopoli Indonesia. Kejatuhan presiden Chili Simon Allende juga menunjukkan bagaimana berkuasanya perusahaan asing menyetir arah kebijakan ekonomi suatu negara. Seperti diketahui Presiden Simon Allende adalah seorang yang beraliran sosialis. Arah kebijakan ekonomi yang ingin dijalankannya adalah melakukan nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing. Karena merasa terancam maka perusahaan asing yang memproduksi minuman ringan mensponsori kudeta yang dilakukan oleh militer terhadap Simon Allende. Cerita di pasar modal dan pasar valuta asing pun sama. Selama ini investor asing di pasar modal karena modal mereka yang besar dan jumlahnya mayoritas, bisa dengan mudah mempermainkan harga-harga saham untuk memperoleh keuntungan. Demikian pula nilai tukar atau kurs bisa dipermainkan dengan mudah demi meraup keuntungan yang besar. Spekulasi tersebut dilakukan tanpa memikirkan dampak buruknya berupa goyahnya ekonomi Indonesia.
Maka memang sebelum terlanjur terlalu jauh, penguasaan atau dominasi asing terhadap ekonomi Indonesia perlu diwaspadai. Ada yang berpendapat bahwa dominasi asing itu tidak apa-apa asalkan pemerintah dan masyarakat Indonesia masih tetap bisa memegang kendali dan memanfaatkannya sebesar-besarnya untuk kemakmuran masyarakat Indonesia. Di sinilah pentingnya mereaktualisasikan konsep ekonomi Pancasila. misalnya saja dikaitkan dengan sila keadilan sosial di mana mereka yang kaya yaitu perusahaan-perusahaan asing harus membantu atau mensubsidi sebagian besar masyarakat Indonesia yang masih miskin. Caranya bisa lewat pajak progresif, bagi hasil yang lebih adil bagi Indonesia, lebih mendayagunakan tanggungjawab sosial perusahaan (Corporate Social Responsibility), dan lain-lain
Aktualisasi ekonomi yang berperikemanusiaan misalnya juga patut diterapkan untuk perusahaan asing yang berada di Indonesia, misalnya dengan keharusan membayar upah yang layak bagi pekerja Indonesia, menggunakan teknologi yang lebih ramah lingkungan, dan lain-lain. Hal yang sama bisa juga dikaitkan dengan sila Ketuhanan yang Mahaesa, persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan. Ini bukanlah sesuatu yang mustahil asal ada kemauan kuat pemerintah untuk melaksanakannya.

(Nugroho SBM, SE, MSP, Staf Pengajar FE Undip Semarang)

PENGELOLAAN UTANG UNTUK PROYEK

Oleh Nugroho SBM

ADAN Anggaran DPRD Kota Semarang akhirnya menyetujui usulan utang pemkot Rp 77,1 miliar pada tahun anggaran 2011 (SM, 21/05/11) Utang itu kepada Bank Pembangunan Daerah (BPD) Jateng karena bunganya paling rendah di antara semua bank yang sudah dijajaki, yaitu 11% dengan jangka pelunasan dua tahun. Pelunasan pertama dilakukan 2012 sebesar Rp 61,5 miliar dan kedua tahun 2013 sebesar Rp 26,5 miliar.

Pinjaman itu akan digunakan membiayai 32 proyek dari berbagai dinas dan lembaga pemerintah. Belum ada penjelasan detail, khususnya berbagai ketentuan yang menyangkut pinjaman daerah. Padahal ada beberapa UU dan peraturan yang mengatur tentang pinjaman daerah, dan yang secara khusus mengatur adalah PP Nomor 54 Tahun 2005 tentang Pinjaman Daerah.

Misalnya, pertama; prinsip mengenai pinjaman daerah. Beberapa prinsip itu yakni merupakan alternatif pembiayaan daerah dalam melaksanakan desentralisasi, digunakan membiayai kegiatan yang merupakan wewenang daerah, daerah tidak dapat meminjam langsung kepada luar negeri, jumlahnya tidak melebihi batas defisit APBD, dan batas kumulatif pinjaman daerah sesuai perundang-undangan.

Kedua; syarat-syarat pinjaman daerah. Beberapa syarat tersebut adalah jumlah sisa pinjaman daerah ditambah pinjaman baru yang akan ditarik tidak melebihi 75% penerimaan APBD tahun sebelumnya, rasio kemampuan daerah untuk mengembalikan pinjaman daerah atau debt service coverage ratio (DSCR) yaitu rasio penerimaan daerah bersih (PAD + dana bagi hasil + DAU - belanja wajib untuk pegawai) dibagi pembayaran cicilan dan bunga serta biaya lain-lain) minimal harus 2,5, tidak mempunyai tunggakan pinjaman, serta untuk pinjaman jangka menengah dan panjang harus sepersetujuan DPRD.

Ketiga; sumber pinjaman daerah. Ada beberapa sumber yang diperbolehkan yaitu dari pemerintah pusat, pemerintah daerah lain, lembaga keuangan bank, lembaga keuangan nonbank, dan masyarakat. Keempat; jenis pinjaman berdasarkan jangka waktu. Berdasarkan jangka waktunya pinjaman dapat dibedakan dalam tiga jenis jangka pendek (kurang dari 1 tahun), jangka menengah (lebih dari 1 tahun tetapi tidak melebihi masa jabatan kepala daerah), dan jangka panjang (lebih dari 1 tahun sampai melebihi masa jabatan kepala daerah pada masa itu).

Rasio Penerimaan

Kelima; penggunaan pinjaman. Pinjaman jangka pendek hanya boleh digunakan untuk menutup kekurangan arus kas. Pinjaman jangka menengah digunakan membiayai pelayanan umum tetapi yang tidak menghasilkan penerimaan. Pinjaman jangka panjang digunakan membiayai proyek investasi yang menghasilkan penerimaan. Keenam; mengenai larangan-larangannya. Daerah dilarang melakukan penjaminan terhadap pinjaman pihak lain dan dilarang menjadikan pendapatan daerah atau barang milik daerah sebagai jaminan.

Atas dasar beberapa ketentuan tentang pinjaman daerah, kita bisa mengkritik pinjaman daerah yang dilakukan oleh pemkot. Pertama; mengenai kemampuan Pemkot Semarang mengembalikan pinjaman. Hal itu tercermin dari rasio penerimaan dalam APBD dibagi cicilan dan bunga pinjaman daerah atau yang disebut sebagai DSCR.
Berdasarkan ketentuan DSCR ini minimal harus 2,5 artinya penerimaan bersih Pemkot (= PAD + bagi hasil pajak + DAU - belanja wajib untuk pegawai) pada tahun anggaran tersebut minimal 2,5 kali dari cicilan dan bunga pinjaman daerah serta biaya lain-lain (biaya komitmen dan administrasi pinjaman).

Perlu dicermati apakah ketentuan ini sudah dipenuhi? Jangan sampai seperti kasus pinjaman luar negeri PDAM yang ternyata tidak hanya memberatkan PDAM di beberapa daerah tetapi juga pemda, bahkan akhirnya membebani pemerintah pusat karena pemda ternyata keberatan membayarnya.

Hal kedua yang perlu dicermati adalah penggunaannya. Jika melihat jangka waktunya maka sesuai dengan PP Nomor 54 Tahun 2005, penggunaannya untuk pelayanan umum yang tidak menghasilkan penerimaan. Wakil rakyat perlu mencermati apakah 32 proyek yang akan didanai dengan pinjaman tersebut merupakan proyek yang menghasilkan penerimaan daerah atau tidak.

Hal ketiga yang perlu dicermati adalah kemungkinan adanya kebocoran dalam pelaksanaan proyek-proyek yang didanai dari pinjaman daerah tersebut. Pasalnya pembayaran pinjaman itu merupakan beban rakyat karena berasal antara lain dari pajak dan retribusi sehingga sangat menyakitkan kalau beban rakyat itu dikorupsi oleh oknum tak bertanggung jawab. (10)

— Nugroho SBM SE MSP, dosen Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro