Selasa, 11 Februari 2014

Asuransi Bencana Alam

Oleh Nugroho SBM

Menkeu M Chatib Basri baru-baru ini kembali melontarkan ide mengenai asuransi bencana alam sehubungan banyaknya bencana alam yang terjadi di Indonesia, termasuk di Jateng.
Pengelolaannya yaitu pemerintah lewat APBN membayar premi dan asuransi tersebut dilaksanakan oleh perusahaan besar asuransi, biasanya perusahaan asing.
Idenya itu dilandasi fakta bahwa dana APBN tidak pernah cukup untuk membiayai penanggulangan bencana alam. Sebagai contoh dalam APBN 2014, dana untuk Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) hanya dialokasikan Rp 3 triliun. Padahal dana yang dibutuhkan untuk penanggulangan bencana bisa puluhan triliun rupiah.
Namun pelaksanaan asuransi bencana alam yang preminya dibayar oleh pemerintah tersebut masih menghadapi persoalan landasan hukum. Misalnya saja, andai tidak ada bencana alam, pemerintah tetap harus membayar premi asuransi.
Pertanyaannya, apa landasan hukumnya? Dasar hukum yang selama ini digunakan untuk penanggulangan bencana adalah UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana (UUPB) dan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana.
Dalam PPtersebut ada empat bidang penyelenggaraan penanggulangan bencana, yaitu pengurangan risiko bencana, penanggulangan tanggap darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi, serta penatakelolaan bencana. Sayang, dua regulasi itu sama sekali tak menyinggung asuransi bencana alam.
Padahal asuransi bisa berperan dalam mitigasi, rehabilitasi, dan rekonstruksi bencana alam. Beberapa jenis asuransi bisa memberi ganti rugi dampak bencana, yaitu asuransi harta benda, kendaraan bermotor, asuransi kesehatan, dan asuransi jiwa. Sebenarnya ada solusi untuk menjembatani. Pertama; dalam jangka panjang perlu merevisi UU dan PP tersebut.
Pemerintah secara eksplisit perlu memasukkan perihal asuransi untuk bencana alam yang preminya ditanggung pemerintah lewat APBN, dan mungkin juga APBD.
Kedua; pemerintah mewajibkan masyarakat mengasuransikan harta bendanya, misal rumah. Ini memang bukan perkara mudah. Di Amerika Serikat (AS) yang dianggap sudah melek asuransi saja tidak semua orang mengasuransikan rumahnya. Data hasil riset National Hurricane Survival Initiative menunjukkan bahwa kurang 50% rumah di AS di wilayah yang rentan badai diasuransikan.
Pemanfaatan CSR
Hal yang sama terjadi di Jepang. Klaim asuransi gempa di Kobe pada Januari 1995 ternyata hanya 5 persen dari total kerugian. Mungkin kita bisa mencontoh inisiatif pemerintah di Turki yang mewajibkan asuransi bencana alam bagi pemilik ruko, rumah, dan apartemen.
Bencana yang sering terjadi di Turki adalah gempa bumi. Untuk asuransi kesehatan, yang dilakukan pemerintah lewat BPJS sudahlah tepat. Hanya untuk asuransi jiwa, barangkali perlu digiatkan lagi.
Ketiga; pemerintah bisa bekerja sama dengan swasta untuk memanfaatkan dana tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility atau CSR). Selama ini dana CSR sangat besar namun penggunaannya tidak terarah karena bergantung perusahaan bersangkutan.
Supaya penggunaannya lebih terarah, pemerintah pusat, termasuk Pemprov Jateng, sebenarnya bisa mengarahkan. Hanya berdasarkan wawancara dan pengamatan di lapangan, aparatur pemerintah takut melakukan karena belum ada landasan hukumnya sehingga takut dianggap korupsi.
Mungkin perlu payung hukum sehingga ada dasar hukum bagi pemerintah pusat dan pemda untuk mengoordinasikan penggunaan dana CSR, antara lain untuk penganggulangan bencana. Keempat; pemerintah bisa menerbitkan obligasi atau surat utang pemerintah untuk penanggulangan bencana. Obligasi atau surat utang negara tersebut kemudian bisa diperjualbelikan di pasar modal.
Di luar negeri, obligasi demikian sering disebut catastrophic bond. Ini bisa menjadi sumber pendanaan penanggulangan bencana mendampingi dana risiko fiskal di APBN yang sudah dinyatakan wajar tanpa syarat oleh BPK. (10)
— Dr Nugroho SBM MSi, dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Diponegoro Semarang