Senin, 21 Juni 2010

SALAH KAPRAH DISKUSI LISTRIK UNTUK RAKYAT MISKIN

Oleh: Nugroho SBM

Direktur PLN, Dahlan Iskan, melemparkan ide menarik untuk menggratiskan listrik untuk rakyat miskin. Memang listrik adalah merupakan salah satu kebutuhan infrastruktur dasar yang sangat dibutuhkan oleh mereka yang miskin.
Menurut perhitungan Dahlan Iskan, listrik gratis untuk rakyat miskin itu memang akan merugikan PLN sebesar Rp 1,5 trilyun. Tetapi kerugian itu bisa ditutup dengan kenaikan tarif dasar listrik (TDL) bagi pelanggan yang lebih mampu yang akan menghasilkan keuntungan bagi PLN sebesar Rp 15 trilyun. Dengan kata lain, akan terjadi ubsidi silang antar pelanggan listrik.
Ide tentang listrik gratis bukanlah hal baru di dunia. Tahun 2001, pemerintah Afrika Selatan mencanangkan program yang diberi nama ”Free Basic Electricity”. Program tersebut menggratiskan listrik bagi keluarga miskin sebesar 50 kilowatt jam per bulannya. Setiap kelebihan dari jatah tersebut akan dikenakan tagihan secara berundak. Program tersebut memang memakan biaya besar karena keluarga miskin di Afrika Selatan ternyata jumlahnya adalah 54 persen dari total pelanggan listrik di sana. Tetapi, itu memang merupakan kemauan poitik dari pemerintah Afrika Selatan Pasca Era Apartheid yang ingin menghapus kemiskinan dari bumi Afrika dengan memenuhi salah satu kebutuhan dasar rakyat miskin yaitu listrik.
Namun ada beberapa salah kaprah yang muncul dari ide maupun diskusi tentang penggratisan listrik untuk rakyat miskin di Indonesia yang perlu dicermati.

Definisi Miskin
Salah kaprah yang pertama adalah tentang definisi rakyat atau rumah tangga atau keluarga ”miskin”.Definisi rakyat atau keluarga atau rumah tangga ”miskin” yang dipakai baik oleh Dirut PLN maupun anggota DPR adalah mereka yang saat ini berlangganan listrik 450 VA sampai 900 VA . Definisi ini bisa menyesatkan atau salah kaprah.
Bila kita tilik sejarahnya maka pelanggan di tahun 1970 an memang hanya disediakan sambungan listrik maksimal 450 VA. Kemudian seiring korporatisasi PLN, di era 1990 an, listrik yang disediakan bagi pelanggan baru minimal adalah 900 VA. Karena beban subsidi APBN yang terus membengkak maka PLN sekarang ini menetapkan bahwa pelanggan baru harus mengkonsumsi listrik minimal 1.300 VA. Jadi pelanggan yang mengkonsumsi listrik 450 VA dan 900 VA dari sejarahnya sebenarnya bukanlah keluarga atau rakyat atau rumah tangga miskin yang sesungguhnya.
Tetapi, mungkin ada yang bertanya bukankah kalau mereka mampu mereka akan mengkonversi listrik yang dikonsumsinya dari 450 VA sampai 900 Va ke 1.300 VA? Jawabannya sebagian besar adalah tidak. Mengapa? Karena makin besar VA yang dikonsumsi oleh pelanggan maka akan makin besar tarif dasar listrik atau beban tetap yang harus dibayar. Maka tidak heran kalau pelanggan di era 1970 an yang dibatasi konsumsi listriknya 450 VA dan pelanggan era 1990 an yang menikmati sambungan minimal 900 VA tidak mau mengkonversi listrik yang dikonsumsinya ke 1300 VA atau lebih.
Lalu siapa yang sesungguhnya disebut sebagai rakyat atau rumah tangga atau keluarga miskin dalam hal konsumsi atau pelanggan listrik dari PLN itu? Yang disebut miskin yang sebenarnya adalah mereka yang sama sekali belum menikmati listrik. Saya ingat di jaman Orde Baru dulu ada Program Listrik Masuk Desa (LMD). Menurut saya program ini lebih logis ketimbang program listrik gratis untuk rakyat miskin yang tengah menjadi diskusi publik saat ini karena lebih jelas sasarannya. Kalau mau dilihat secara jujur, sekarang ini masih banyak desa khususnya di luar Jawa yang masih belum menikmati listrik. Mereka inilah sesungguhnya target program listrik gratis bagi rakyat miskin.

TDL Bukan Masalah Utama
Salah kaprah kedua yang mengemuka dalam diskusi lisrik gratis bagi rakyat miskin adalah bahwa tarif dasar listrik (TDL) yang mahal merupakan kendala utama rakyat atau keluarga atau rumah tangga miskin untuk mengakses listrik sehingga harus digratiskan.
Hal tersebut tidaklah sepenuhnya benar, problem lain yang menghalangi rakyat atau penduduk atau rumah tangga miskin mengakses listrik adalah biaya sambungan baru langganan listrik. Saat ini untuk biaya sambungan baru, seorang pelanggan listrik rumah tangga harus mengeluarkan biaya sekitar Rp 1 juta sampai Rp 2 juta. Biaya sebesar itu sangatlah memberatkan bagi pelanggan miskin. Maka subsidi atau penggratisan listrik bagi rakyat atau keluarga atau rumah tangga miskin hendaklah jangan hanya pada tarifnya saja melainkan pada biaya penyambungan baru juga jika memang yang disasar adalah mereka yang sama sekali belum menikmati listrik.

Kecurangan
Salah kaprah ketiga dalam diskusi tentang listrik untuk rakyat atau keluarga atau rumah tangga miskin adalah seolah-olah program tersebut akan bebas dari kecurangan (moral hazard). Padahal hal tersebut sangat mungkin terjadi dan perlu diantisipasi.
Pengalaman selama ini banyak program pemerintah yang memberikan subsidi bagi rakyat atau keluarga atau rumah tangga miskin yang ternyata dicurangi sehingga menjadi salah sasaran. Ambil beberapa contoh. Pertama, dulu pernah diberikan subsidi untuk pembelian minyak goreng bagi rakyat miskin ketika pada waktu itu harga minyak goreng melambung tinggi. Supaya tidak salah sasaran maka pemerintah pada waktu itu memberikan kupon bagi rakyat miskin lewat kelurahan dan ketua RT . Tetapi kebijakan ini ternyata banyak salah sasaran juga karena banyak masyarakat miskin yang menjual kuponnya itu termasuk kepada mereka yang mampu dan kepada para pedagang yang mencoba mengambil keuntungan dari program tersebut.
Contoh kedua, dulu juga pernah ada program pembedaan harga minyak tanah untuk rumah tangga dan untuk industri. Asumsinya adalah minyak tanah untuk rumah tangga dijual dengan harga lebih murah karena minyak tanah dikonsumsi oleh mereka yang berpendapatan rendah. Sementara industri dianggap mampu membeli dengan harga lebih tinggi. Untuk itu pemerintah memberikan warna berbeda antara minyak tanah untuk rumah tangga dan untuk industri. Tetapi ternyata program inipun bisa dicurangi. Banyak rumah tangga yang membeli minyak tanah kemudian menjualnya lagi pada industri dengan harga lebih tinggi dari harga untuk rumah tangga tetapi lebih rendah dari harga untuk industri yang ditetapkan oleh pemerintah.
Dari dua contoh program usbsidi untuk rakyat miskin tersebut, bisa diambil hikmah berupa langkah-langkah pencegahan atau antisipatif agar program listrik gratis untuk rakyat miskin tidak salah sasaran atau diselewengkan.

(Nugroho SBM, Staf Pengajar FE Undip Semarang)

Kamis, 17 Juni 2010

KRISIS YUNANI DAN UTANG INDONESIA

Oleh: Nugroho SBM

Salah satu judul pidato Bung Karno yang terkenal adalah “Jangan Sampai Melupakan Sejarah” disingkat “Jas Merah”. Isi pidato sangat jelas bahwa bangsa yang besar selalu belajar dari sejarah untuk menghindari kesalahan-kesalahan yang pernah dibuat dan meniru keberhasilan bangsa itu sendiri maupun bangsa lain di masa yang lalu. Belajar dari sejarah tersebut perlu dilakukan oleh suatu bangsa dalam berbagai segi yaitu ideologi, politik, ekonomi, osial budaya, maupun pertahanan dan keamanan.
Begitu pentingnya belajar dari sejarah, sampai-sampai ada pepatah yang mengatakan bila suatu bangsa tidak belajar dari sejarah maka bangsa itu akan dihukum untuk mengulanginya.
Khusus untuk bidang ekonomi sangat tepat apa yang ditulis oleh dua orang ekonom yaitu Nouriel Roubini dan Stephen Mihm dalam “Crisis Economics” (2010). Dalam tulisannya tersebut kedua ekonom mengatakan bahwa memahami konteks sejarah yang dinamis seringkali jauh lebih penting daripada modelisasi ekonomi yang rumit dan penuh rumus matematika. Dalam hal kritik terhadap penggunaan matematik secara berlebihan dalam ilmu ekonomi sehingga melupakan dimensi sosial seperti sejarah , tampaknya Roubini dan Mihm mengulangi kritik Paul Ormerod dalam bukunya yang terkenal “ The Death of Economics “ (Matinya Ilmu Ekonomi) yang terbit tahun 1993.
Sejarah di sini bisa dimaknai bukan hanya sebuah peristiwa jauh di masa lampau, melainkan cukup peristiwa yang telah terjadi walau itu terjadi di masa kini. Di bidang ekonomi “sejarah” yang menarik untuk dikaji saat ini dikaitkan dengan perekonomian Indonesia adalah terjadinya Krisis Yunani.

Sebab Krisis
Krisis di Yunani dimulai dengan membesarnya defisit APBN negara tersebut yang ditutup dengan utang yang kian membesar pula. Sebenarnya sebagai anggota Uni Eropa, Yunani tidak perlu terjerumus pada krisis dan penyebabnya seperti itu. Dalam “Undang-undang Dasar” anggota Uni Eropa yaitu “Maastricht Treaty” disebutkan bahwa negara-negara anggota Uni Eropa harus memiliki defisit APBN maksimum 3 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) nya dan nisbah utang pemerintah terhadap PDB tidak boleh lebih dari 60 persen.
Namun, Yunani melanggar peraturan itu. Nisbah defisit APBN terhadap PDB Yunani ternyata telah melampaui batas yang ditetapkan. Informasi tentang nisbah defisit APBN terhadap PDB Yunani memang berubah-ubah dari semula dikatakan 8,5 persen dari PDB, kemudian berubah lagi menjadi 12,5 persen dari PDB, dan keterangan terakhir menyebutkan 14 persen dari PDB, namun kesemua angka itu melebihi batas ketentuan Uni Eropa yaitu 3 persen dari PDB..
Kalangan analis menilai berubah-ubahnya angka defisit APBN Yunani yang dikeluarkan pemerintah menunjukkan sistem informasi keuangan negara yang tidak sempurna. Hal tersebut diduga merupakan salah satu sebab yang memperparah krisis keuangan yang kemudian menjadi krisis ekonomi di Yunani.
Guna menutup defisit yang membesar itu, Yunani melakukan utang baik lewat utang langsung maupun lewat penjualan Surat Utang Negara (SUN). Akibatnya nisbah utang Yunani terhadap PDB nya sekarang sudah mencapai 115 persen, jauh lebih tinggi dari batas maksimum ketentuan Uni Eropa yaitu 60 persen.
Besarnya nisbah utang terhadap PDB itu ditambah lagi dengan kenyataan bahwa sebagian besar SUN milik Yunani justru diserap oleh para pemilik uang di pasar luar negeri. Bank-bank Eropa misalnya dikabarkan memiliki SUN Yunani 429 milyar dolar AS. Krisis diperparah dengan ketidakpercayaan para pemegang SUN khususnya di luar negeri bahwa pemerintah Yunani tidak bisa melunasi SUN yang mereka pegang yang banyak jatuh tempo pada Mei 2010 ini. Mereka lalu beramai-ramai menarik uangnya.
Sebenarnya jika SUN Yunani diserap oleh pasar dalam negeri, dampak berantainya diperkirakan tidak akan sebesar jika diserap oleh pasar luar negeri. Jepang, contohnya, nisbah utang terhadap PDB nya mencapai 200 persen. Tetapi untungnya sebagian besar SUN Jepang diserap oleh pasar dalam negeri antara lain oleh Bank Tabungan Pos (BTP) yang memobilisasi para penabung kecil di dalam negeri.
Melihat bahwa efek krisis Yunani ini akan merembet kemana-mana, negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa memutuskan menggelontorkan dana sebesar 14,5 miliar Euro. Jumlah itu masih akan ditambah dengan komitmen dari IMF.dan tambahan gelontoran dana dari Uni Eropa lagi. Sama dengan kasus talangan dana untuk Century, keputusan pemberian talangan untuk Yunani juga diiringi dengan debat dan protes sengit dari masyarakat di negara-negara Uni Eropa. Masyarakat warga Negara anggota Uni Eropa keberatan jika uang pembayaran pajak mereka digunakan untuk menalangi negara sekecil Yunani.

Utang Indonesia
Bagaimana dengan utang Indonesia? Seperti negara-negara lain, Utang Indonesia terdiri dari utang dalam bentuk Obligasi Ritel Indonesia (ORI) dan Surat Utang Negara (SUN) serta utang luar negeri langsung. Mereka yang optimis dan mencoba menutupi kondisi yang sebenarnya menyatakan bahwa rasio utang luar negeri Indonesia terhadap PDB terus menurun dari 100 persen lebih saat krisis ekonomi 1997/1998 menjadi kini hanya sekitar 28 persen.
Tetapi angka-angka relatif seperti itu menyembunyikan kondisi absolut yang sebenarnya. Atau menurut Alan Beatie akan menimbulkan gambaran ekonomi yang salah (False Economy – seperti judul bukunya) yang terbit tahun 2009.
Faktanya secara nominal (absolut), jumlah utang luar negeri Indonesia terus bertambah. Jika pada tahun 2004 jumlah utang luar negeri Indonesia sebesar Rp 1.200 an trilyun, maka di tahun 2010 ini sudah mencapai Rp 1.500 an trilyun. Bila dipakai angka relatif yang lain maka keadaannya juga cukup mengkhawatirkan. Misalnya bandingkan jumlah utang Rp 1.500 an trilyun itu dengan pendapatan negara dalam APBN yang hanya sekitar Rp 900 an trilyun.
Belum lagi fakta-fakta lain misalnya kenyataan bahwa pinjaman baru yang kita dapatkan, separuhnya hanya untuk menutup cicilan dan bunga utang lama. Misalnya saja dalam APBN 2010 dianggarkan kita memperoleh Rp 249,818 trilyun utang baru. Tetapi dari jumlah itu Rp 124, 677 trilyun digunakan untuk membayar cicilan dan bunga utang lama.
Di samping soal jumlah, masalah utang luar negeri Indonesia menyangkut pula masalah penyerapan dan penggunaannya. Selama ini penyerapan utang luar negeri Indonesia seringkali rendah. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar yang salah perencanaan penggunaannya ataukah yang lebih ekstrim apakah sebenarnya kita memang benar-benar perlu menambah utang baru? Di samping masalah penyerapan, masalah penggunaan utang luar negeri Indonesia juga menjadi pertanyaan besar. Yang benar, penggunaan utang luar negeri tersebut untuk kesejahteraan masyarakat. Tetapi kenyataannya Posisi Indeks Pembangunan Manusia – sebuah Indeks yang memuat tiga indikator yaitu tingkat pendapatan, pendidikan, dan kesehatan masyarakat – tidak pernah beranjak jauh di posisi yang rendah. Pada tahun 2009 lalu posisi Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia turun ke posisi 111 dibandingkan tahun 2007 yang berada di posisi 107 dari 182 negara yang disurvai UNDP.

Kemandirian Ekonomi
Apa kunci untuk lepas dari jeratan utang luar negeri sehingga Indonesia tak mengalami krisis seperti di Yunani? Hanya satu jalan yaitu bagaimana Indonesia bisa mandiri secara ekonomi dan kalau dibutuhkan utang luar negeri maka harus diawasi benar penggunaannya. Maka ada beberapa kebijakan yang mesti diambil.
Pertama, pengoptimalan sumber penerimaan pajak. Selama ini nisbah penerimaan pajak Indonesia dibandingkan dengan PDB baru mencapai 14 sampai 15 persen. Jadi masih bisa ditingkatkan lagi. khususnya dengan mengejar tanpa ampun wajib-wajib pajak besar yang nakal. Kedua, dengan mengkritisi penggunaan utang luar negeri. Kita bersyukur bahwa reformasi yang menggulingkan Orde baru telah menghasilkan kebebasan bicara (mengkritik). Meskipun kelihatannya “riuh rendah” tetapi demokrasi yang mulai tumbuh itu dapat dimanfaatkan untuk mengkritisi berbagai kebijakan pemerintah khususnya dalam hal penggunaan utang luar negeri.
Ketiga, kalau toh diperlukan faktor eksternal dari luar negeri maka yang diperlukan adalah kebijakan-kebijakan untuk mendorong ekspor dan masuknya investasi asing sebagai substitusi terhadap utang luar negeri. Untuk mendorong ekspor, misalnya, cabut saja kebijakan untuk mengenakan pajak ekspor tinggi untuk ekspor kakao. Sedangkan untuk mendorong investasi asing masuk, banyak sekali pekerjaan rumah yang harus diselesaikan misalnya pembenahan infrastruktur, pemangkasan ekonomi biya tinggi, dan lain-lain.
Memang pilihan kebijakan yang tepat sangat menetukan apakah Indonesia di masa depan menjadi Kota Atlantis (sebuah kota indah di masa lalu yang hilang dan dikabarkan ketemu jejaknya di Indonesia) ataukah menjadi Kapal Titanic (sebuah kapal besar yang tenggelam karena kesombongan dan kelengahan para awak kapal dan penumpangnya)

(Nugroho SBM, Staf Pengajar FE dan Peneliti pada Pusat Kajian Dampak Kebijakan atau Regulatory Impact Assestment (RIA) Center Undip Semarang)

UNEG-UNEG SRI MULYANI

Oleh Nugroho SBM

Rupa-rupanya bekas Menkeu Sri Mulyani Indrawati (SMI) benar-benar memanfaatkan sisa-sisa waktu jabatannya dan keberadaannya di Indonesia untuk menumpahkan uneg-unegnya kepada berbagai kalangan pada berbagai kesempatan perpisahan dengannya. Uneg-unegnya itu mungkin sebagian hendak dibagikannya secara implisit kepada penggantinya Agus Martowardoyo dan Wakilnya Anny Ratnawati.
Pertama, SMI mengeluh bahwa banyak waktunya tersita untuk menghadapi rapat-rapat dengan DPR.Rata-rata waktu yang dihabiskannya untuk rapat dengan DPR minimal 4 jam. Pertemuan Menkeu dengan DPR memang tak terelakkan harus sering terjadi. Mengapa? Karena Menkeu merupakan penanggungjawab kebijakan fiskal. Bebeda dengan kebijakan moneter yang mutlak merupakan otoritas BI sehingga tak dibutuhkan konsultasi dan persetujuan DPR, kebijakan fiskan sering harus dikonsultasikan dan disetuji oleh DPR.
Waktu yang panjang untuk rapat dengan DPR tersebut sebenarnya merupakan kesalahan para anggota DPR. Kesalahannya adalah pertanyaan yang dilontarkan oleh para anggota DPR seringkali tidak dipersiapkan terlebih dahulu atau spontan, tidak dikemukakan secara singkat, dan mengulang-ulang pertanyaan yang sudah dikemukakan oleh rekannya. Perilaku anggota DPR yang demikian dapat kita saksikan misalnya dalam rapat pansus tentang kasus Bank Century yang disiarkan langsung oleh televisi.
Padahal waktu seorang Menkeu tentulah sangatlah berharga. Tugas Menkeu antara lain adalah mencari penerimaan negara dalam APBN. Dalam APBN 2010 penerimaan negara yang harus dikejar Rp 1.126 trilyun. Berarti setiap detiknya seorang Menkeu harus mengumpulkan dana Rp 35,705 juta. Jika seorang Menkeu menghabiskan waktu 4 jam maka nilai waktu yang terbuang itu adalah Rp 514,152 milyar.
Dengan keluhannya itu SMI barangkali hendak menyampaikan pesan sekaligus kepada dua pihak yaitu Menkeu yang baru dan para anggota DPR. Bagi Menkeu baru penggantinya. Bagi Menkeu baru ia hendak menyatakan bahwa menjadi seorang Menkeu haruslah sabar menghadapi anggota DPR. Demikian pula mental dan fisik haruslah kuat. Bagi anggota DPR, ia hendak menunjukkan bahwa sebenarnya rapat-rapat antara Menkeu dan DPR bisa berjalan lebih singkat dan efisien jika anggota DPR mempersiapkan pertanyaan dan sanggahan secara lebih matang, sistematis dan kalau perlu diadakan rekapitulasi pertanyaan secara intern dulu di DPR supaya tidak terjadi pertanyaan yang diulang-ulang.
Keluhan kedua SMI masih menyangkut perilaku anggota DPR yang menurutnya tidak punya etika. Perilaku yang dimaksud adalah banyak anggota DPR yang bertanya kepadanya dengan nada marah dan berapi-api dalam waktu yang lama. Tetapi ketika giliran pertanyaan itu dijawabnya, anggota DPR itu sudah ke luar dari ruang sidang. Peristiwa demikian dapat dilihat pula saat sidang pansus Kasus Century ketika para anggota DPR bertatap muka dengan berbagai pihak sebagai nara sumber. Dengan keluhannya ini, SMI hendak menegaskan bahwa sebaagai pejabat publik termasuk anggota DPR mestinya juga punya sopan-santun dan etika. Di masyarakat yang masih paternalistik seperti Indonesia, perilaku pemimpin dan panutan publik masih menjadi acuan. Jika pemimpinnya tidak punya etika bagaimana dengan rakyatnya?

Demi Kepentingan Pribadi
Keluhan ketiga SMI adalah menyangkut perilaku para anggota DPR dan pejabat tinggi yang lain yang lebih mementingkan kepentingan pribadi daripada kepentingan rakyat banyak. Ada paling tidak dua pengalaman SMI dalam hal ini. Pertama, saat ia dan anggota DPr melakukan pembahasan RAPBN. Di situ terlihat sekali bagaimana kepentingan pribadi para anggota berebut ingin dimasukkan. Misalnya dalam bentuk perdebatan alokasi dana untuk berbagai kegiatan dengan tujuan bisnis pribadinya bisa mendapatkan order.
Kedua, dalam pembahasan berbagai peraturan dan undang-undang seringkali SMI juga secara jelas maupun samar-samar melihat kepentingan pejabat lain yang dititipkan ke anggota DPR maupun kepentingan pribadi anggota DPR dicoba dimasukkan. Pada suatu ketika ada pembahasan tentang perlunya impor suatu produk tertentu. Setelah kebijakan itu disetujui bersama ternyata perusahaan importir terbesarnya adalah milik seorang pejabat tinggi yang satu partai dengan anggota DPR yang begitu ngotot dalam pembahasan tentang peraturan atau kebijakan impor tersebut.
Perilaku mencari keuntungan pribadi di balik sebuah kebijakan publik bagaimanapun bisa dikategorikan ke dalam rindak pidana korupsi. Hal tersebut sesuai dengan definisi korupsi menurut Konperensi Malta 1994. Konferensi Malta 1994 , mendefinisikan korupsi dengan sangat luas yaitu tindakan yang berbau kecurangan. Dengan definisi tersebut maka tindakan yang dikategorikan sebagai korupsi tidak hanya yang secara yuridis formal melanggar hukum tetapi juga tindakan yang secara moral kurang patut.
Dengan fenomena tersebut tidak heran jika peringkat Indonesia sebagai negara korups masih tetap tinggi. Survai Transparency International terbaru tahun 2009 mendudukkan Indonesia di peringkat 111 dari 180 negara terbersih. Artinya tingkat korupsi di Indonesia masih tetap tinggi.
Dengan keluhannya soal perilaku korup pejabat ini, SMI hendak memperingatkan bahwa perilaku korup masih ada dalam berbagai bentuk. Menkeu yang baru mesti waspada terhadap perilaku tersebut.

Jangan Sendirian
Keempat, bukan merupakan keluhan tetapi pesan, SMI mengatakan bahwa untuk membangun Indonesia yang lebih baik jangalha sendirian. Ia menyatakan bahwa ternyata ia memang tidak sendirian karena masih ada banyak orang baik yang punya cita-cita sama membangun Indonesia lebih baik.
Dalam konteks kebijakan ekonomi, pernyataan SMI tersebut bisa diterjemahkan bahwa untuk mencapai perekonomian Indonesia yang maju dibutuhkan koordinasi antar kebijakan dan antar semua pihak. Kementrian Keuangan punya kewenangan dalam kebijakan fiskal. Tetapi Kebijakan fiskal saja tidak cukup, dibutuhkan kebijakan lain terutama kebijakan moneter yang menjadi wilayah kewenangan BI. Akhir-akhir ini memang ada ketidakselarasan antara kebijakan moneter dan fiskal. Contoh: BI telah melonggarkan likuiditas dengan melonggarkan BI rate sampai 6,25 persen. Tetapi kebijakan fiskal lewat penerbitan Surat Utang Negara (SUN) malah mengetatkan kembali likuiditas itu dengan mematok bunga SUN 10 sampai 15 persen. Akibatnya suku bunga kredit juga masih tinggi yaitu sekitar 13 sampai 16 persen.
Pesan lain tak terucapkan secara lisan oleh SMI tetapi ditunjukkannya lewat perilaku dan sikapnya. Pesan tersebut adalah perlunya Menkeu mempunyai sikap yang tegas, penuh integritas dan profesional. Barangkali yang masih diragukan banyak pihak adalah profesionalitas Agus Martowardoyo dalam menguasai seluk beluk kebijakan fiskal dan juga pemahamannya terhadap perekonomian secara makro. Tetapi mudah-mudahan kekurangan tersebut dapat ditutupi oleh Wakil Menkeu Anny Ratnawati yang merupakan birokrat karir di Kementrian Keuangan.

(Nugroho SBM, SE, MSP, Peneliti pada Regulatory Impact Assesment (RIA) Center atau Pusat Studi Dampak Kebijakan Undip dan Dosen FE Undip Semarang)