Kamis, 17 Juni 2010

UNEG-UNEG SRI MULYANI

Oleh Nugroho SBM

Rupa-rupanya bekas Menkeu Sri Mulyani Indrawati (SMI) benar-benar memanfaatkan sisa-sisa waktu jabatannya dan keberadaannya di Indonesia untuk menumpahkan uneg-unegnya kepada berbagai kalangan pada berbagai kesempatan perpisahan dengannya. Uneg-unegnya itu mungkin sebagian hendak dibagikannya secara implisit kepada penggantinya Agus Martowardoyo dan Wakilnya Anny Ratnawati.
Pertama, SMI mengeluh bahwa banyak waktunya tersita untuk menghadapi rapat-rapat dengan DPR.Rata-rata waktu yang dihabiskannya untuk rapat dengan DPR minimal 4 jam. Pertemuan Menkeu dengan DPR memang tak terelakkan harus sering terjadi. Mengapa? Karena Menkeu merupakan penanggungjawab kebijakan fiskal. Bebeda dengan kebijakan moneter yang mutlak merupakan otoritas BI sehingga tak dibutuhkan konsultasi dan persetujuan DPR, kebijakan fiskan sering harus dikonsultasikan dan disetuji oleh DPR.
Waktu yang panjang untuk rapat dengan DPR tersebut sebenarnya merupakan kesalahan para anggota DPR. Kesalahannya adalah pertanyaan yang dilontarkan oleh para anggota DPR seringkali tidak dipersiapkan terlebih dahulu atau spontan, tidak dikemukakan secara singkat, dan mengulang-ulang pertanyaan yang sudah dikemukakan oleh rekannya. Perilaku anggota DPR yang demikian dapat kita saksikan misalnya dalam rapat pansus tentang kasus Bank Century yang disiarkan langsung oleh televisi.
Padahal waktu seorang Menkeu tentulah sangatlah berharga. Tugas Menkeu antara lain adalah mencari penerimaan negara dalam APBN. Dalam APBN 2010 penerimaan negara yang harus dikejar Rp 1.126 trilyun. Berarti setiap detiknya seorang Menkeu harus mengumpulkan dana Rp 35,705 juta. Jika seorang Menkeu menghabiskan waktu 4 jam maka nilai waktu yang terbuang itu adalah Rp 514,152 milyar.
Dengan keluhannya itu SMI barangkali hendak menyampaikan pesan sekaligus kepada dua pihak yaitu Menkeu yang baru dan para anggota DPR. Bagi Menkeu baru penggantinya. Bagi Menkeu baru ia hendak menyatakan bahwa menjadi seorang Menkeu haruslah sabar menghadapi anggota DPR. Demikian pula mental dan fisik haruslah kuat. Bagi anggota DPR, ia hendak menunjukkan bahwa sebenarnya rapat-rapat antara Menkeu dan DPR bisa berjalan lebih singkat dan efisien jika anggota DPR mempersiapkan pertanyaan dan sanggahan secara lebih matang, sistematis dan kalau perlu diadakan rekapitulasi pertanyaan secara intern dulu di DPR supaya tidak terjadi pertanyaan yang diulang-ulang.
Keluhan kedua SMI masih menyangkut perilaku anggota DPR yang menurutnya tidak punya etika. Perilaku yang dimaksud adalah banyak anggota DPR yang bertanya kepadanya dengan nada marah dan berapi-api dalam waktu yang lama. Tetapi ketika giliran pertanyaan itu dijawabnya, anggota DPR itu sudah ke luar dari ruang sidang. Peristiwa demikian dapat dilihat pula saat sidang pansus Kasus Century ketika para anggota DPR bertatap muka dengan berbagai pihak sebagai nara sumber. Dengan keluhannya ini, SMI hendak menegaskan bahwa sebaagai pejabat publik termasuk anggota DPR mestinya juga punya sopan-santun dan etika. Di masyarakat yang masih paternalistik seperti Indonesia, perilaku pemimpin dan panutan publik masih menjadi acuan. Jika pemimpinnya tidak punya etika bagaimana dengan rakyatnya?

Demi Kepentingan Pribadi
Keluhan ketiga SMI adalah menyangkut perilaku para anggota DPR dan pejabat tinggi yang lain yang lebih mementingkan kepentingan pribadi daripada kepentingan rakyat banyak. Ada paling tidak dua pengalaman SMI dalam hal ini. Pertama, saat ia dan anggota DPr melakukan pembahasan RAPBN. Di situ terlihat sekali bagaimana kepentingan pribadi para anggota berebut ingin dimasukkan. Misalnya dalam bentuk perdebatan alokasi dana untuk berbagai kegiatan dengan tujuan bisnis pribadinya bisa mendapatkan order.
Kedua, dalam pembahasan berbagai peraturan dan undang-undang seringkali SMI juga secara jelas maupun samar-samar melihat kepentingan pejabat lain yang dititipkan ke anggota DPR maupun kepentingan pribadi anggota DPR dicoba dimasukkan. Pada suatu ketika ada pembahasan tentang perlunya impor suatu produk tertentu. Setelah kebijakan itu disetujui bersama ternyata perusahaan importir terbesarnya adalah milik seorang pejabat tinggi yang satu partai dengan anggota DPR yang begitu ngotot dalam pembahasan tentang peraturan atau kebijakan impor tersebut.
Perilaku mencari keuntungan pribadi di balik sebuah kebijakan publik bagaimanapun bisa dikategorikan ke dalam rindak pidana korupsi. Hal tersebut sesuai dengan definisi korupsi menurut Konperensi Malta 1994. Konferensi Malta 1994 , mendefinisikan korupsi dengan sangat luas yaitu tindakan yang berbau kecurangan. Dengan definisi tersebut maka tindakan yang dikategorikan sebagai korupsi tidak hanya yang secara yuridis formal melanggar hukum tetapi juga tindakan yang secara moral kurang patut.
Dengan fenomena tersebut tidak heran jika peringkat Indonesia sebagai negara korups masih tetap tinggi. Survai Transparency International terbaru tahun 2009 mendudukkan Indonesia di peringkat 111 dari 180 negara terbersih. Artinya tingkat korupsi di Indonesia masih tetap tinggi.
Dengan keluhannya soal perilaku korup pejabat ini, SMI hendak memperingatkan bahwa perilaku korup masih ada dalam berbagai bentuk. Menkeu yang baru mesti waspada terhadap perilaku tersebut.

Jangan Sendirian
Keempat, bukan merupakan keluhan tetapi pesan, SMI mengatakan bahwa untuk membangun Indonesia yang lebih baik jangalha sendirian. Ia menyatakan bahwa ternyata ia memang tidak sendirian karena masih ada banyak orang baik yang punya cita-cita sama membangun Indonesia lebih baik.
Dalam konteks kebijakan ekonomi, pernyataan SMI tersebut bisa diterjemahkan bahwa untuk mencapai perekonomian Indonesia yang maju dibutuhkan koordinasi antar kebijakan dan antar semua pihak. Kementrian Keuangan punya kewenangan dalam kebijakan fiskal. Tetapi Kebijakan fiskal saja tidak cukup, dibutuhkan kebijakan lain terutama kebijakan moneter yang menjadi wilayah kewenangan BI. Akhir-akhir ini memang ada ketidakselarasan antara kebijakan moneter dan fiskal. Contoh: BI telah melonggarkan likuiditas dengan melonggarkan BI rate sampai 6,25 persen. Tetapi kebijakan fiskal lewat penerbitan Surat Utang Negara (SUN) malah mengetatkan kembali likuiditas itu dengan mematok bunga SUN 10 sampai 15 persen. Akibatnya suku bunga kredit juga masih tinggi yaitu sekitar 13 sampai 16 persen.
Pesan lain tak terucapkan secara lisan oleh SMI tetapi ditunjukkannya lewat perilaku dan sikapnya. Pesan tersebut adalah perlunya Menkeu mempunyai sikap yang tegas, penuh integritas dan profesional. Barangkali yang masih diragukan banyak pihak adalah profesionalitas Agus Martowardoyo dalam menguasai seluk beluk kebijakan fiskal dan juga pemahamannya terhadap perekonomian secara makro. Tetapi mudah-mudahan kekurangan tersebut dapat ditutupi oleh Wakil Menkeu Anny Ratnawati yang merupakan birokrat karir di Kementrian Keuangan.

(Nugroho SBM, SE, MSP, Peneliti pada Regulatory Impact Assesment (RIA) Center atau Pusat Studi Dampak Kebijakan Undip dan Dosen FE Undip Semarang)

Tidak ada komentar: