Senin, 23 Februari 2015

Nugroho SBM: DPR Semestinya Berjuang Untuk Rakyat



DPR menerima kucuran anggaran tambahan sangat besar. Dengan dalih untuk meningkatkan kapasitas, setiap anggota DPR menerima dana tambahan Rp 1,78 miliar per tahun. Itu untuk menggaji  tenaga ahli dan tenaga administrasi serta mendanai rumah aspirasi. Apa implikasinya? Berikut perbincangan dengan ekonom dari Universitas Diponegoro, Dr Nugroho SBM MSi.

Dari mana tambahan dana itu?
Saya memperkirakan diambilkan dari penurunan harga minyak dunia. Selisih harga minyak internasional yang lumayan membuat pemerintah memiliki cukup anggaran. Harga minyak  mentah memang terus anjlok, bahkan pernah menyentuh rekor terendah 60 dolar Amerika Serikat (AS) per barel.
Dengan harga bahan bakar minyak (BBM) yang sudah dinaikkan menjadi Rp 8.500, yang merupakan harga keekonomian (tanpa subsidi sama sekali), pemerintah bisa memperoleh penghematan subsidi antara Rp 110 triliun dan Rp 140 triliun. Penurunan harga minyak dunia menjadi 60 dolar AS per barel membuat harga keekonomian menjadi Rp 7.000/liter, sehingga penghematan subsidi BBM membesar menjadi sekitar Rp 250 triliun.
Pada mulanya anggaran itu bakal dikonsentrasikan di bidang infrastruktur.  Namun kenyataannya ada indikasi  dana dikucurkan untuk belanja pegawai dan belanja barang.

Mengapa bisa muncul dana tambahan untuk DPR?
Kalau itu jelas melalui mekanisme politik. DPR pasti bersikukuh untuk bisa meningkatkan kapasitas diri. Saya tak sepakat anggaran sebesar itu dipakai untuk alasan tersebut.

Maksud Anda?
Ya, saya melihat ada kebutuhan yang lebih luas. Nilai anggaran itu sangat besar bagi rakyat. Tentu lebih bermanfaat jika dialokasikan untuk bidang infrastruktur. Dengan dana itu bias membangun jalan, waduk, atau sebagainya yang bermanfaat langsung. Banyak daerah kebanjiran. Apakah tidak lebih bijak menyalurkan dana semacam itu secara tepat?

Apa dasar dan tujuan di balik penambahan anggaran besar itu?
Tujuannya jelas, ingin memenuhi keinginan DPR. Bukankah mereka menghendaki upaya peningkatan kapasitas diri? Namun, haruskah upaya itu disetujui tanpa mempertimbangkan kepentingan yang lebih bermanfaat? Ada semacam kesan menghamburkan anggaran bila alasannya hanya meningkatkan kualitas wakil rakyat di parlemen.

Menurut pendapat Anda seyogianya bagaimana?
Idealnya butuh pengkajian ulang penetapan anggaran semacam itu. Paling tidak tahun-tahun berikutnya harus tersusun skema anggaran yang lebih prorakyat. Jangan sampai anggaran  itu mengucur tanpa manfaat.

Apa implikasinya secara politik?
Berbicara soal implikasi politik sepertinya belum muncul persoalan. Hanya bila kita cermati lebih mendalam, masyarakat akan makin yakin dengan profil wakil mereka. Dari waktu ke waktu tetap saja para wakil rakyat belum bersedia mendahulukan kepentingan orang-orang yang diwakili.
Apabila alasan yang diajukan sekadar untuk memperkuat kapasitas, kenapa harus menggaji sebanyak 3.920 orang tenaga ahli dan staf administrasi? Saya menilai itu kurang rasional.

Bukankah DPR memang butuh meningkatkan kapasitas?
Alasan itu memang harus didukung. Rakyat butuh kepanjangan tangan yang memadai untuk menyalurkan aspirasi mereka di Senayan. Masyarakat sangat butuh terwakili DPR yang mempunyai kecakapan memadai.
Akan tetapi jika dengan alasan semacam itu malah meminta jatah anggaran besar, bagaimana nurani mereka melihat masih banyak penderitaan rakyat? Kelak bukan aspirasi yang akan mereka serap, melainkan justru keluh kesah masyarakat.

Apa saran Anda?
Anggaran senilai itu sebaiknya dihemat. Bisa juga dipangkas. Itu berarti pemberian tunjangan tak seyogianya semahal  itu. Perlu diperkecil demi empati atas kesadaran masyarakat yang telah rela menyalurkan suara untuk memilih wakil mereka.
Belum lagi rakyat harus membayar pajak untuk membiayai pembangunan negara. Apakah wakil rakyat harus memiliki staf ahli dan administrasi sebanyak itu? Kurangi jumlahnya, sehingga anggaran yang diperlukan tak membengkak. Syukur-syukur bisa gabungan, yakni beberapa anggota DPR memiliki satu staf ahli.

Apakah kebijakan itu akan berdampak ekonomi?
Kalau dikaitkan dengan ekonomi, dampaknya jelas. Betapa tidak? Jika anggaran itu disetujui dari tahun ke tahun, apalagi jumlahnya terus naik, akan berimbas. Yang jelas untuk tahun ini saja pemerintah mengalokasikan anggaran Rp 1,63 triliun.
Bagaimana dengan tahun-tahun anggaran berikutnya? Apakah kita yakin tak akan makin memberatkan asumsi APBN?  Saya mendengar, ada alokasi Rp 635 miliar juga untuk kebutuhan Sekretariat Jenderal DPR.
Kecilnya dana pembangunan untuk infrastruktur di Indonesia disebabkan oleh pengeluaran besar yang bersifat wajib dan kesalahan alokasi untuk pengeluaran tidak produktif, seperti gaji pegawai.

Apakah itu akan memperkuat posisi (tawar) di hadapan pemerintah (eksekutif)?
Posisi tawar seperti apa? Kalau dari sisi kepentingan mereka, jelas sudah tercapai. Pemerintah juga telah menyetujui alokasi anggaran untuk penguatan kapasitas DPR. Namun seharusnya tidak seperti itu yang mereka inginkan. Pada prinsipnya, justru bagaimana supaya posisi tawar DPR tinggi saat memperjuangkan aspirasi rakyat. Itu harapan kita.

Bagaimana pengaruhnya bagi pemerintahan secara sektoral dan keseluruhan? Kalau belanja pegawai selalu naik, terntu berpengaruh terhadap pembangunan. Keinginan membangun prasarana-sarana bakal terkendala. Sebab, anggarannya akan tersedot untuk kepentingan belanja itu.
Kenapa saya berkeinginan ada penyusunan anggaran yang lebih baik? Tentu supaya muncul keseimbangan di semua sektor. Pembangunan berjalan baik, kebutuhan belanja yang lain tercukupi. Sekarang, tinggal menunggu kiprah DPR dengan pemberian tambahan dana cukup fantastis itu. (51)

Rabu, 04 Februari 2015

DAMPAK EKONOMI KASUS BUDI GUNAWAN

Oleh Nugroho SBM



BANYAK pihak khawatir terhadap ’’keragu-raguan’’ langkah Presiden Jokowi menyelesaikan kasus pencalonan Komjen Budi Gunawan —yang ditetapkan sebagai tersangka gratifikasi oleh KPK— sebagai kapolri, yang bahkan sudah disetujui DPR.
Majalah terkemuka ekonomi, The Economist (edisi 24-30 Januari 2015) mengeluarkan komentar bernada pahit tentang hal ini,’’ Bagi para pendukungnya sekalipun, Jokowi kini mulai kehilangan sebagian kilau sinarnya yang sebelumnya berpendar-pendar…’’
Beberapa pengamat dan pelaku ekonomi itu mengaitkan keragu-raguan sikap Jokowi dengan tafsir ketidaktegasannya memberantas korupsi. Padahal korupsi merugikan dunia usaha karena akan menambah biaya yang akhirnya produsen harus memilih menaikkan harga barang. Padahal itu akan mengurangi daya saing produk dan jasa yang dihasilkan.
Memang, kasus Budi Gunawan belum menimbulkan sentimen negatif di pasar modal dan pasar uang. Artinya, pasar belum ’’menghukum’’ keragu-raguan Jokowi. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada akhir Januari 2015 masih bertahan di tingkat 5.289, bahkan seminggu sebelumnya menembus batas psikologis baru di tingkat 5.300.
Di pasar uang atau valuta asing, rupiah memang melemah ke tingkat Rp 12.600 per dolar AS. Namun kondisi itu lebih disebabkan oleh sentimen positif membaiknya ekonomi AS dan isu berakhirnya stimulus fiskal yang dilakukan Bank Sentral AS (The Fed).
Keragu-raguan Jokowi memutuskan kasus Budi, tampaknya masih bisa ditutup oleh ketegasannya untuk beberapa hal. Pertama; kebijakannya menaikkan harga BBM, setelah sekian lama tidak dinaikkan. Meskipun, harga BBM kembali diturunkan sampai dua kali karena harga minyak dunia terus menurun. Hal itu memberi respons positif terhadap pasar.
Kedua; tindakan berani Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, yang atas instruksi Jokowi, menenggelamkan kapal asing pencuri ikan. Tindakan itu menimbulkan efek jera dan menghindarkan kerugian negara yang mencapai Rp 300 triliun. Ketiga, penyanderaan di penjara bagi wajib pajak yang membandel. Hal ini bisa mendukung target penerimaan pajak di APBN 2015 yang dipatok cukup tinggi, yaitu Rp 1.221 triliun.
Keempat; beleid merealisasikan kebijakan satu atap perizinan investasi pada Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) juga patut diapresiasi. Kebijakan tegas di bidang hukum juga ditunjukkan melalui eksekusi mati bagi pengedar narkoba.
Sebenarnya, ketegasan Jokowi untuk tidak melantik Budi Gunawan bisa lebih menambah kepercayaan pasar. Selain itu, pemerintahan Jokowi-JK perlu melakukan beberapa langkah positif. Pertama; dengan tetap mempertahankan harga BBM, diperkirakan pemerintah punya dana tambahan Rp 217 triliun.Namun pemerintah harus segera menunjukkan bukti penggunaan dana itu, semisal untuk pembangunan waduk dan irigasi serta infrastruktur seperti jalan dan listrik.
Kedua; mempertahankan tingkat inflasi rendah. Inflasi Indonesia terus menurun, yakni tahun 2013 sebesar 8,38 persen dan tahun 2014 menurun menjadi 8,36 persen. Padahal selama 2 tahun itu pun ada kenaikan harga BBM. Dengan memperkirakan harga BBM 2015 tak dinaikkan, atau andai dinaikkan tidak drastis mengingat perkiraan kenaikan harga minyak dunia maksimal 60-70 dolar AS per barel maka inflasi 2015 diperkirakan hanya 4-5 persen.

Stabilisasi Harga
Inflasi sebesar itu bisa tercapai bila pemerintah bisa menstabilkan harga kebutuhan pokok setelah harga BBM turun. Inflasi rendah adalah modal bagus bagi dunia usaha yang tidak akan kehilangan konsumen potensialnya karena daya beli tak tergerus inflasi tinggi. Bagi perbankan, inflasi rendah juga jadi modal menurunkan suku bunga kredit, terutama kredit UKM dan koperasi yang merupakan bagian terbesar badan usaha di Indonesia.
Ketiga; mengubah aliran modal asing yang sebagian besar berbentuk investasi tidak langsung (pembelian surat-surat berharga) menjadi investasi asing langsung. Caranya dengan melaksanakan secara konsisten perizinan investasi satu atap dan memberantas segala bentuk korupsi dan pungutan liar sehingga biaya investasi bisa lebih murah.
Pemerintah perlu melakukan hal itu karena diperkirakan 2015 dana asing kembali menyerbu Indonesia. Sentimen positif kemembaikan perekonomian AS dan menjelang berakhirnya stimulus fiskal dari The Fed menjadikan dana asing dalam bentuk dolar AS
’’membanjiri’’ negara adidaya itu.
Kondisi itu menyebabkan indeks pasar modal AS, yaitu Dow Jones mencapai rekor baru di atas 18.000. Namun hal itu tak berlangsung lama karena indeks kembali terkoreksi tajam ke tingkat 17.164. Hal ini logis karena pemilik dana yang rasional tak akan menaruh semua dananya di AS mengingat mereka harus memecah risiko dan juga hasil.
Tiga kebijakan itu bisa meningkatkan kepercayaan pasar sehingga pertumbuhan ekonomi Indonesia 2015 bisa mencapai 5,5 persen, bahkan 5,8 persen. Pertumbuhan ekonomi setinggi itu bisa ikut mengatasi masalah kemiskinan dan pengangguran. (10)
Dr Nugroho SBM MSi, dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) Universitas Diponegoro (Undip) Semarang