Kamis, 26 Juni 2008

Komentar di Media: Padat Karya Lebih Bermanfaat

Program Padat Karya Lebih Bermartabat
oleh ant pada 13-05-2008

SEMARANG (Joglosemar): Program pengurangan dampak terhadap kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) kepada keluarga miskin sebaiknya tidak diwujudkan dalam bentuk bantuan langsung tunai (BLT), tetapi berupa padat karya yang lebih bermartabat.
”Pemberian BLT tidak mendidik. Orang merasa terhormat mendapatkan uang karena bekerja, tidak menerima begitu saja,” kata pengamat ekonomi Universitas Diponegoro Semarang Nugroho SBM ketika diminta tanggapan rencana pemerintah menaikkan harga BBM, di Semarang, Minggu (11/5).
Menurut dia, pemerintah saat ini memang menghadapi dilema. Di satu sisi kenaikan harga minyak dunia bakal membengkakkan anggaran subsidi APBN 2008, sementara di sisi lain beban rakyat bertambah berat bila pemerintah mengurangi subsidi dengan konsekuensi menaikkan harga BBM.
Kelompok masyarakat bawah, kata Nugroho, memang harus diselamatkan dengan program jaring pengaman sosial, misalnya berupa program padat karya yang pernah ditempuh pada awal krisis tahun 1998.
“Program padat karya memberi efek ganda, yakni menambah pendapatan keluarga miskin dan membaiknya sarana serta prasarana lingkungan peserta program padat karya itu berada,” katanya.
Selain itu, kata dia, program padat karya juga memperkecil kecemburuan orang lain yang kondisi ekonominya pas-pasan namun tidak dijangkau program jaring pengaman sosial tersebut.
Menurut dia, BLT hanya cocok diberikan kepada orang-orang yang secara fisik tidak lagi kuat bekerja, seperti manula atau mereka yang mengalami cacat fisik sehingga tidak mampu mengikuti program padat karya.
Bila pemerintah nantinya memberikan BLT Rp 100.000 per bulan, kata Nugroho, itu berarti sebulan mereka hanya terikat mengikuti program padat karya empat hari dengan asumsi sehari dibayar Rp25.000. ”Sisa waktu lainnya digunakan bekerja seperti biasa,” katanya.

Kamis, 05 Juni 2008

Ekonomi 2008: Harap-Harap Cemas

Ekonomi 2008: Harap-harap Cemas

* Oleh Nugroho SBM

MENEBAK perekonomian Indonesia di tahun 2008, menerbitkan semacam harap-harap cemas di hati. Betapa tidak? Di satu sisi bisa dipastikan bahwa harga minyak dunia bisa dipastikan akan terus naik sampai menembus 100 dolar AS per barel (ingat pada akhir November 2007 sudah mencapai 99 dolar AS per barel).

Di sisi yang lain, dalam cetak biru (blueprint) Pengelolaan Energi Nasional tahun 2005-2025, disebutkan bahwa setelah tahun 2007 pemerintah tidak akan memberikan subsidi lagi pada semua jenis bahan bakar minyak apakah itu minyak tanah, solar, ataupun premium.

Apa arti dua hal itu? Artinya adalah harga semua jenis energi di tahun 2008 mungkin akan dinaikkan oleh pemerintah. Alasannya jelas pertama karena ada landasan cetak birunya dan kedua ada legitimasi yang secara tidak sengaja datang dari kenaikan harga minyak dunia.

Memang pemerintah belum menegaskan apakah cetak biru Pengelolaan Energi Nasional 2005-2025 akan dilaksanakan atau tidak. Karena sampai saat ini Peraturan Presiden No 9/ 2006 tentang Perubahan atas Perpres No 55/2005 tentang Harga Jual Eceran Bahan Bakar dalam Negeri masih berlaku. Dalam Perpres itu harga jual eceran bahan bakar masih disubsidi.

Tetapi siapa bisa memegang arah kebijakan pemerintah yang biasanya penuh kejutan? Langkah-langkah kebijakan pemerintah akhir-akhir inipun bisa dibaca sebagai arah pencabutan subsidi itu. Ada program konversi minyak tanah ke elpiji yang amburadul. Ada kenaikan harga solar untuk industri. Ada juga desas-desus tentang kenaikan harga premium. Di tengah masyarakat pun suara-suara cemas akan kenaikan harga bahan bakar ini sudah mulai tersebar dan menimbulkan apatisme tentang sikap mereka dalam memilih di Pemilu 2009.

Dampak Kenaikan Bahan Bakar

Jika seandainya memang harga bahan bakar memang dinaikkan di tahun 2008, maka dampaknya bagi ekonomi sangatlah buruk. Kita masih ingat bagaimana kenaikan harga BBM di bulan Oktober 2006 masih dirasakan dampaknya sampai sekarang khususnya bagi masyarakat miskin.

Simulasi yang dilakukan oleh Indef (Insitute Development of Economics and Finance) atas dasar data Statistik Industri 2000-2004 terbitan BPS terhadap dampak kenaikan harga BBM terhadap sektor industri menunjukkan hal berikut (Kompas, 22 Desember 2007). Dengan asumsi kenaikan rata-rata harga BBM 30 persen per tahun maka dampaknya: pertama, harga barang jadi atau ouput akan naik rata-rata 4,6 persen. Kedua, jumlah atau unit barang jadi atau output yang diproduksi rata-rata akan berkurang 2 persen.

Dua dampak tersebut tentu membawa ikutan. Kenaikan harga barang akan membawa dampak ikutan berupa penurunan daya beli masyarakat yang pada akhirnya akan menambah jumlah penduduk miskin.

Sementara itu dampak kedua yaitu pengurangan produksi oleh perusahaan akan membawa dampak ikutan berupa naiknya pengangguran sebab pengurangan dalam produksi akan diikuti dengan pengurangan tenaga kerja. Padahal saat ini saja pengangguran mencapai 16 sampai 17 persen dari penduduk usia kerja. Bandingkan tingkat pengangguran normal yang di teks-teks buku ekonomi makro biasanya hanya sekitar 5 sampai 10 persen.

Dilihat dari dampak yang berat dari kenaikan harga bahan bakar maka hendaknya pemerintah mempertimbangkan benar jika akan menaikkan harga seluruh bahan bakar di tahun 2008 seperti yang tercantum dalam cetak biru Pengelolaan Energi Nasianal 2005 2025.

Masih banyak alternatif kebijakan yang bisa ditempuh. Pertama, mengejar wajib pajak nakal khususnya para pengusaha besar (konglomerat) yang selama ini lari dari kewajiban membayar pajak dalam jumlah yang benar. Penerimaan dari pajak ini bisa digunakan untuk mensubsidi bahan bakar yang bagaimanapun sampai saat ini masih strategis dalam perekonomian Indonesia. Ingat, subsidi bukanlah suatu "kejahatan" dalam kebijakan ekonomi. Di mana pun termasuk di negara-negara maju, pemberian subsidi masih tetap dilakukan.

Kedua, di samping penerimaan pajak yang digenjot lewat pengejaran wajib pajak yang nakal, pemerintah dapat menggali penerimaan alternatif dengan memakai kreativitas. Misalnya saja dengan menaikkan biaya naik banding. Selama ini penjahat kelas kakap yaitu para koruptor kelas kakap dengan mudah melakukan naik banding dalam proses pengadilan karena biayanya sangat murah.

Dengan biaya naik banding yang tinggi akan ada dua keuntungan sekaligus. Pertama, biaya naik banding yang tinggi itu merupakan penerimaan pemerintah yang besar. Kedua, para penjahat kelas kakap akan jera dan tidak mudah melakukan naik banding.

Ketiga, perlunya semua rekening non-budgeter dimasukkan ke dalam APBN secara resmi. Selama ini banyak sekali penerimaan di rekening "liar" di luar APBN. Jika semua penerimaan "liar" itu dimasukkan dalam APBN maka akan menambah kemampuan pemerintah untuk melakukan subsidi. Semoga saja pemerintah dengan kebijakan alternatif ini tidak menaikkan harga BBM, sehingga terjawablah harap-harap cemas masyarakat.

Persiapan Pemilu 2009

Harap-harap cemas yang lain adalah ekonomi di tahun 2008, akan dipengaruhi oleh suhu politik yang memanas karena antarpara pelaku politik sudah memulai ancang-ancang untuk bisa merebut posisi pada pemilihan umum di tahun 2009. Masalah ini sebagian sudah disinggung dalam tulisan Didik J Rachbini "Ekonomi Politik 2008" (Suara Merdeka, 22 Desember 2007).

Tetapi tulisan Didik J Rachbini tersebut hanya menyinggung aspek politik menjelang Pemilu 2009 yang akan mempengaruhi ekonomi Indonesia 2008 hanya dari sisi gesekan antarelite politik. Menurut Didik pandangan optimistis menyatakan bahwa kondisi akan aman-aman saja karena kita sudah punya pengalaman reformasi dan gejolak pilkada di berbagai daerah, yang ternyata membuat para pelaku bisnis sudah mulai biasa dengan gejolak politik.

Sedangkan pandangan pesimistis menyatakan bahwa akumulasi kekecewaan publik pada kinerja pemerintah yang lamban dalam kebijakan ekonomi akan benar-benar membuat suhu politik memanas, dan akan mempengaruhi lingkungan dunia usaha di tahun 2008.

Satu haI yang tidak disinggung dalam tulisan Didik tersebut adalah bahwa para pelaku politik khususnya yang sekarang sedang berkuasa akan tetap berusaha berkuasa kembali dengan memenangkan pemilu tahun 2009. Berbagai teori ekonomi politik dengan mudah menjelaskan hal itu.

Pertama,teori Pilihan Rasional James Buchanan yang menyatakan bahwa seseorang terjun ke dunia politik karena ia seorang rasional yang memperjuangkan kepentingan pribadinya. Kepentingan pribadi tersebut tidak selalu bertentangan dengan kepentingan umum.

Misalnya jika seorang anggota DPRD menyetir mobil melewati jalan yang rusak kemudian ia mengusulkan kepada walikota supaya jalan itu diperbaiki maka perbaikan jalan itu juga menguntungkan masyarakat umum.

Kedua, teori Rasionalitas Terbatas Herbert Simon. Teori ini menyatakan, kepentingan pribadi seorang politikus dalam perjuangan politiknya akan dibatasi oleh penilaian masyarakat akan kinerjanya. Kinerja yang dimaksud adalah apakah ia cukup memperjuangkan kepentingan masyarakat yang diwakilinya atau tidak.

Namun, yang penting kedua teori tersebut menjelaskan bahwa kepentingan pribadi para politikus yang sekarang berkuasa untuk memenangkan kembali Pemilu 2009 akan membuat arah kebijakan makro ekonomi 2008 menjadi tidak on the track. Yang dimaksud tidak on the track adalah kebijakan ekonomi akan memihak kepada rakyat (populis) dalam rangka menarik simpati masyarakat. Tetapi kebijakan itu sifatnya instan dan keluar dari jalur perencanaan ekonomi jangka panjang. Akibatnya stabilitas ekonomi makro yang mulai terjaga bisa terganggu. Kebijakan struktural jangka panjang seperti penanggulangan kemiskinan dan pengangguran juga bisa terganggu. Kalau hal itu terjadi maka kepastian bagi dunia usaha dan pemulihan ekonomi Indonesia yang mendasar iuga akan terganggu. Ini yang perlu diawasi dan diwaspadai di tahun 2008.(11)

-- Nugroho SBM, staf pengajar FE Undip Semarang
(pernah dimuat Harian Suara Merdeka 28 Desember 2007)

Selasa, 03 Juni 2008

Solusi Kenaikan Harga Kedelai

Solusi Kenaikan Harga Kedelai

Oleh Nugroho SBM

Kenaikan harga kedelai dari Rp 5.500,- menjadi Rp 7.330,- telah membuat banyak perajin tempe dan tahu menjerit, antara lain yang dialami oleh perajin di Kabupaten Boyolali. Ada empat siasat yang ditempuh oleh para perajin yaitu: pertama, mengurangi kapasitas produksi; kedua, memperkecil ukuran tempe atau tahu; ketiga, mencampur bahan baku dengan pepaya, jagung atau singkong; dan keempat, menaikkan harga jual tempe atau tahu. Dan banyak perajin setelah menerapkan keempat strategi ini memilih untuk menutup usahanya (Joglosemar, 15 /1).
Menanggapi hal tersebut kebijakan jangka pendek yang diambil pemerintah adalahdengan membebaskan bea masuk (bea impor) kedelai. Diharapkan dengan pembebasan bea-masuk tersebut maka pasokan kedelai di dalam negeri akan bertambah sehingga akan menurunkan harga di dalam negeri. Langkah ini menurut penulis sudah benar dan strategis karena selama ini 70 sampai 80 persen kedelai untuk bahan baku produksi tahu dan tempe masih diimpor. Amerika menjadi pengimpor terbesar kedelai ke Indonesia sebanyak 60 % dari total kebutuhan.
Langkah lain yang ditempuh pemerintah adalah jika perlu mensubsidi harga kedelai yang dijual di dalam negeri. Kebijakan subsidi dalam jangka pendek untuk meredam kenaikan harga ini, menurut penulis juga tepat. Hal tersebut tidak melanggar kesepakatan perdagangan bebas dalam WTO (World Trade Organization) yang telah ditandatangani oleh Indonesia karena kedelai termasuk komoditi yang bisa disubsidi. Diperbolehkannya kedelai disubsidi karena di banyak negara, kedelai masih merupakan komoditas yang strategis atau menguasai hajat hidup orang banyak. Dari kedelai bisa dihasilkan berbagai macam komoditi seperti susu, kecap, berbagai makanan, dan bahkan di negara-negara maju sudah bisa sebagai bahan baku minyak nabati yang dapat dikonsumsi oleh banyak orang.

Kebijakan Lain

Namun hendaknya diingat bahwa kebijakan pembebasan bea masuk dan subsidi harga yang ditempuh pemerintah merupakan kebijakan pragmatis dalam jangka pendek. Diperlukan kebijakan-kebijakan lain untuk melengkapinya baik dalam jangka pendek, menengah, maupun jangka panjang. Pertama, penertiban para distributor maupun produsen tahu dan tempe yang berspekulasi. Dari berbagai liputan media massa, ternyata terungkap bahwa banyak distributor atau pedagang besar kedelai dan juga pengusaha tahu dan tempe yang diindikasikan melakukan spekulasi dengan cara menimbun kedelai. Untuk mengatasi spekulasi dengan cara menimbun ini, sudah ada berbagai aturan misalnya ada Undang-Undang Pergudangan, ada aturan jumlah stok atau persediaan yang tidak boleh melebihi 30 persen dari omzet penjualan, dan aturan-aturan lain. Masalahnya memang tinggal bagaimana pemerintah dan aparat kepolisian menegakkan aturan-aturan tersebut secara konsisten.
Kedua, perlu didefinisikan kembali atau diredefinisi tentang apa yang termasuk ke dalam barang-barang kebutuhan pokok. Sebagaimana diketahui, barang-barang yang termasuk ke dalam barang-barang kebutuhan pokok harganya selalu dipantau dan diawasi oleh pemerintah. Jika terjadi kenaikan harga barang-barang kebutuhan pokok ini maka pemerintah akan menstabilkannya kembali dengan melakukan operasi pasar yaitu menjual stok ke pasaran.
Kedelai sampai saat ini belum masuk ke dalam kategori barang kebutuhan pokok. Tetapi dengan mengamati dampak yang ditimbulkan antara lain adalah kenaikan harga tahu dan tempe – padahal tahu dan tempe dikonumsi masyarakat banyak khususnya kelas menengah ke bawah – maka sudah sepantasnya kalau pemerintah memasukkan kedelai ini sebagai barang kebutuhan pokok atau kalau tidak boleh disebut barang kebutuhan pokok disebut saja sebagai barang strategis. Barang strategis ini hendaknya juga dikendalikan harganya.

Jangka Panjang

Dalam jangka panjang, perlu dilakukan kebijakan strategis. Pertama, mendorong kenaikan produksi di dalam negeri dengan cara memberikan insentif bagi petani yang mau menanam kedelai. Sebenarnya insentif paling sederhana bagi petani adalah harga yang menarik. Momentum sekarang ini dimana harga kedelai sangat tinggi, sebenarnya merupakan saat yang tepat bagi pemerintah untuk mengkampanyekan gerakan menanam kedelai. Hanya masalah yang timbul adalah kedelai merupakan tanaman sub tropis yang butuh udara dingin. Jadi tidak semua daerah di Indonesia bisa ditanami kedelai. Oleh karena itu menjadi tugas Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Departemen Pertanian untuk melakukan penelitian agar kedelai bisa ditanam di udara panas di seluruh wilayah Indonesia. Apakah hal ini bisa dilakukan? Penulis yakin bisa. Ada contoh yang pernah terjadi, meskipun bukan dalam hal tanaman dan pelakunya pun bukan pemerintah melainkan petani biasa. Contoh tersebut adalah kesuksesan Pak Mujahir untuk melakukan adaptasi terhadap ikan – yang kemudian dikenal dengan ikan mujahir – dari ikan laut menjadi ikan air payau dan akhirnya menjadi ikan air tawar.
Kebijakan kedua, mencari pengganti bahan baku untuk tahu dan tempe selain kedelai yang harganya lebih murah. Lagi-lagi kita bisa mencontoh kreatifitas para produsen makanan misalnya bisa menciptakan keripik rasa gadung dari keripik singkong. Inovasi tersebut lahir karena gadung harganya lebih mahal, pengolahannya lebih sulit, dan bila tidak hati-hati mengolah maka gadung bisa beracun.

Penulis adalah Staf Pengajar
Jurusan IESP FE Undip Semarang
(Tulisan ini pernah dimuat di Harian Joglosemar tanggal 17-1-2008)
atau silahkan link ke http://harianjoglosemar.com/index.php?option=com_content&task=view&id=4023&Itemid=1

Senin, 02 Juni 2008

Penganggur Terdidik, Siapa yang salah?

PENGANGGUR TERDIDIK, SIAPA YANG SALAH?

Oleh: Nugroho SBM

Kenaikan harga BBM yang sudah direncanakan oleh pemerintah bisa dipastikan akan memperburuk situasi eknomi Indonesia. Salah satunya adalah pabrik dan lapangan usaha lain akan banyak mengalami kesulitan. Karena kesulitan maka diperkirakan mereka akan mengurangi tenaga kerjanya. Bila benar-benar terjadi maka hal itu akan menambah jumlah pengangguran Indonesia yang saat ini diperkirakan lebih dari 26 juta orang.
Bicara tentang pengangguran maka ada sebuah fenomena menarik yang perlu direnungkan yaitu masalah pengangguran terdidik di Indonesia. Berdasarkan Sakernas (Survai Angkatan Kerja Nasional 2006) penganggur terbuka di Indonesia (mereka yang sama sekali tidak bekerja) menurut tingkat pendidikannya sebagian besar adalah lulusan SMU sebesar 36 persen dan “mengalahkan” mereka yang lulusan SD sebesar 32,74 persen. Artinya ini memecahkan fakta selama ini bahwa penganggur di Indonesia sebagian besar adalah karena faktor pendidikan yang rendah yaitu mereka yang hanya maksimal lulusan SD.
Fakta yang lain, pernah menjadi polemik besar-besaran di tahun 2007 lalu dan sampai sekarang masih relevan yaitu adanya pengangguran dengan pendidikan yang cukup tinggi yaitu sarjana sebesar 400.000 orang (posisi tahun 2007). Meskipun secara absolut jumlahnya cukup kecil tetapi penganggur sarjana ini merupakan fenomena yang cukup mencengangkan sebab selama ini ada anggapan di masyarakat bahwa karena merupakan “mahluk langka” maka sarjana akan gampang mencari kerja. Tetapi kenyataannya ternyata tidak. Melihat 2 (dua) fenomena pengangguran terdidik seperti itu, timbul pertanyaan: adakah sistem pendidikan kita yang salah atau faktor yang lain?

Lulusan SMU
Jawab dari pertanyaan siapa yang salah tersebut tidak bisa digeneralisasikan. Untuk yang penganggur terdidik lulusan SMU memang ada sebagian kesalahan dari sitem pendidikan di Indonesia. Selama ini memang lulusan SMU tidak punya banyak pilihan artinya mereka harus meneruskan ke perguruan tinggi. Bagi mereka yang tidak bisa meneruskan ke perguruan tinggi , tidak bisa langsung bekerja karena memang tidak dibekali oleh ketrampilan prkatis untuk bekerja.
Untuk mengatasi masalah ini barangkali bisa dicontoh, misalnya, sistem pendidikan yang ada di Australia. Di Australia, SMU ditempuh selama 4 tahun (artinya ada kelas 1 sampai dengan kelas 4). Setelah 3 tahun atau pada akhir kelas 3 dilakukan evaluasi siapa siswa yang tidak boleh meneruskan ke kelas 4 dan siapa yang boleh meneruskan ke kelas 4. Mereka yang tidak boleh melanjutkan ke kelas 3 dianggap tidak punya bekal intelektual dan kemampuan analitik yang cukup untuk melanjutkan ke universitas sehingga disarankan masuk ke semacam politeknik yang memberikan bekal ketrampilan praktis. Sedangkan mereka yang boleh naik ke kelas 4 dianggap punya bekal intelektual dan kemampuan analitik yang cukup untuk melanjutkan ke universitas. Meskipun boleh melanjutkan ke universitas, lulusan kelas 4 SMU ini boleh juga memilih melanjutkan ke politeknik yang memberikan ketrampilan praktis. Saya kira Indonesia bisa menerapkan sistem pendidikan seperti ini untuk mengatasi pengangguran lulusan SMU.
Sebenarnya, banyaknya lulusan SMU yang menganggur mengindikasikan adanya faktor gengsi di situ. Maksudnya, banyak murid SLTP yang cukup tahu bahwa sekarang ini mencari kerja cukup sulit dan oleh karenanya mereka sebenarnya cukup aman untuk melanjutkan di SMK (Sekolah Menengah Kejuruan) yang menjamin dia mendapatkan pekerjaan. Misalnya bidang-bidang SMK yang masih banyak dibutuhkan adalah permesinan, elektronika, kelistrikan, farmasi, perpajakan, komputer, dan masih banyak lagi. Tetapi toh mereka nekad tetap melanjutkan ke SMU karena SMU dianggap lebih bergengsi daripada SMK. Memang akhir-akhir ini di televisi sering ditayangkan iklan yang mengajak supaya lulusan SLTP meneruskan ke SMK karena SMK tak kalah bergengsi dari SMU dan menjamin mendapatkan pekerjaan secara lebih pasti. Tetapi langkah itu perlu diikuti dengan upaya propaganda lain misal lewat penanaman nilai-nilai di keluarga.
Sisi lain lagi dari banyaknya penganggur lulusan SMU ini adalah kenyataan banyak dari lulusan SMU yang tidak bisa melanjutkan ke universitas. Sebab utama mereka tak bisa melanjutkan pendidikan ke universitas adalah faktor biaya. Sebab kalau faktor keterbatasan daya tampung yang berimplikasi pada syarat kemampuan intelektual rasanya kemungkinannya kecil. Hal ini terbukti dari banyak universitas swasta yang mengeluhkan kekurangan mahasiswa sehingga sebenarnya tanpa tespun calon mahasiswa akan diterima.
Faktor biaya mahal sebagai faktor utama lulusan SMU tak bisa melanjutkan ke universitas ini menjadi makin diperparah setelah perguruan tinggi negeri yang sebelumnya dianggap universitas rakyat dimana biaya pendidikannya murah sekarang inipun menjadi ”swasta”. Menjadi ”Swasta” yang dimaaksud di sini adalah subsidi SPP dari pemerintah dicabut sehingga universitas negeri menjadi mandiri atau dengan kata lain seperti universitas swasta. Kita tidak tahu apa sebenarnya ide di balik swastanisasi universitas negeri ini. Sebab bapak ilmu ekonomi yaitu Adam Smith yang dianggap mengajarkan liberalisme ekonomi atau ekonomi yang bertumpu pada mekanisme pasar sebagai pengatur utamapun jelas-jelas menunjuk bahwa pendidikan merupakan salah satu urusan yang harus dipegang oleh negara. Ataukah kekhawatiran banyak pihak dahulu ketika menteri pendidikan sekarang baru pertama kali diangkat karena beliau seorang ahli ekonomi akan ”mengekonomikan” pendidikan sekarang ini ternyata terbukti? Saya benar-benar tidak tahu.

Penganggur Sarjana
Bagaimana halnya dengan penganggur sarjana? Apakah sistem pendidikan ikut bersalah dalam hal ini? Menurut saya tidak. Bandingkan kondisi sekarang ini dengan kondisi tahun 70 an sampai 80 an ketika Indonesia menikmati Booming Minyak bumi. Pada waktu itu seorang mahasiswa S1 yang belum selesai kuliahnya sudah ditawari kerja. Agar mereka mau bekerja di instansi yang menawari kerja tersebut, instansi tersebut melakukan ”Ijon” yaitu dengan memberikan bea –siswa atau uang muka gaji. Hal ini menunjukkan bahwa para sarjana itu belum luluspun sudah ditawari pekerjaaan karena memang ada lapangan kerjanya.
Berbeda dengan sekarang. Sekarang ini tidak ada atau jarang ada investasi baru di Indonesia. Maka bila ada pengangguran sarjana bukan karena universitasnya yang tidak bisa mendidik tetapi kesalahan pemerintah yang tidak bisa menyediakan lapangan kerja bagi rakyatnya termasuk mereka yang lulus sarjana.
Persoalannnya: mengapa tidak ada investasi baru di Indonesia? Faktornya banyak tetapi beberapa di antaranya: pertama, ekonomi biaya tinggi dalam berinvestasi masih berlangsung sampai sekarang baik dengan adanya pungutan resmi maupun tidak resmi terlebih di era otonomi daerah sekarang ini. Kedua, tidak adanya arah pembangunan ekonomi jangka panjang di Indonesia. Memang ada Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) sampai tahun 2025. Tetapi bila dibaca dengan teliti maka tidak ada arah yang jelas tentang bagaimana arah perekonomian Indonesia jangka panjang. Padahal arah jangka panjang itu sangat penting karena investasi perspektif waktunya adalah jangka panjang. Ketiga, inkonsistensi kebijakan masih terjadi. Makusudnya antara peraturannya dengan pelaksanaannya bisa jauh berbeda atau penerapannya di berbagai tingkat pemerintahan bisa berbeda-beda. Contohnya pelayanan satu atap dalam ijin investasi atau OSS (One Stop Service) interpretasinya bisa berbeda-beda untuk tiap daerah. Ada yang sekedar kantor humas tetapi memang ada yang sudah benar-benar kantor pelayanan satu atap. Jika ingin penganggur sarja hilang maka pemerintah harus mendorong investasi dan untuk mendorong investasi maka hambatan-hambatan untuk melakukan investasi harus dihapuskan.

(Nugroho SBM, SE, MSP, Staf Pengajar FE Undip Semarang)
* Artikel pernah dimuat di Harian Sore Wawasan Sabtu 17 Mei 2008, atau link di
http://www.wawasandigital.com/index.php?option=com_content&task=view&id=22705&Itemid=62

Perkenalan

Selamat Datang

Nama saya Nugroho SBM, nama beken saya Nugie. Saya adalah staf pengajar di jurusan ilmu ekonomi Universitas Diponegoro Semarang. Senang bisa berbagi pengetahuan ekonomi ke anda semua pengunjung blog saya. Kritik baik yang membangun atau merusak sekalipun akan saya terima untuk penyempurnaan baik blog saya maupun tulisan-tulisan saya.

Salam Merdeka

Nugroho SBM