Rabu, 08 Juli 2009

PENSTABILAN NILAI TUKAR RUPIAH

PADA tiga bulan terakhir ini (April sampai Juni 2009), nilai tukar rupiah terhadap dolar AS cukup stabil dan relatif tinggi yaitu berkisar Rp 10.000 per dolar AS. Padahal pada Maret 2009 nilai tukar rupiah terhadap dolar AS menyentuh Rp 12.000 per dolar AS dan fluktuatif. Berdasarkan hal tersebut maka pemerintah berani mematok asumsi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dalam RAPBN pada kisaran Rp 9.500 sampai Rp 10.500 per dolar AS.

Mengapa nilai tukar rupiah terhadap dolar AS relatif stabil pada tingkat yang tinggi? Ada dua faktor yang bisa kita lihat. Pertama, ada di pasar uang dan modal yang disebut faktor teknikal. Faktor teknikal adalah penyebab-penyebab nonekonomi dan bersifat jangka pendek. Faktor teknikal yang membuat nilai tukar rupiah terhadap dolar AS stabil pada tingkat yang tinggi adalah politik, yaitu berlangsungnya pemilu legislatif secara aman.

Memang ada gejolak misalnya masalah kecurangan dalam pelaksanaan dan kisruh daftar pemilih tetap (DPT). Tetapi semua pihak yang berselisih tersebut tampaknya sekarang lebih dewasa dengan menyelesaikan semua permasalahan tersebut secara hukum di Mahkamah Konstitusi. Ini menimbulkan rasa aman bagi orang-orang khususnya orang asing yang menyimpan dolar AS di Indonesia sehingga mereka tidak menariknya ke luar negeri.

Penyebab kedua adalah faktor fundamental. Faktor fundamental adalah penyebab-penyebab ekonomi dan bersifat jangka panjang. Faktor fundamental yang membuat nilai tukar rupiah terhadap dolar AS stabil pada nilai yang tinggi adalah: pertumbuhan ekonomi Indonesia yang tetap positif di tengah krisis ekonomi global yang dipicu oleh krisis keuangan di AS. Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal pertama 2009 sebesar 4,4 persen.

Ini sangat mengesankan karena merupakan negara ketiga di Asia yang pertumbuhannya positif. Negara Asia lain yang pertumbuhan ekonominya masih positif adalah China (6,1 persen), dan India (5,8 persen). Sementara negara-negara lain justru tumbuh minus, yaitu: Singapura (minus 10,1 persen), Thailand (minus 7,1 persen), Malaysia (minus 6,1 persen), Hongkong (minus 7,8 persen), Taiwan (minus 10,2 persen), Korea Selatan (minus 4,3 persen), dan Jepang (minus 9,7 persen).

AS sendiri yang merupakan episentrum atau pusat penyebab krisis keuangan sebenarnya hanya mengalami pertumbuhan ekonomi minus 2,5 persen. Tetapi AS mengalami tingkat pengangguran yang cukup parah, yaitu 9 persen. Padahal pengangguran pada masa yang normal di AS hanya sekitar 4 persen.
Optimisme Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang positif ini telah menumbuhkan sikap optimisme di kalangan orang berduit untuk tetap menahan dolarnya di Indonesia. Maka tak mengherankan bila cadangan devisa Indonesia pada saat ini sekitar 58 miliar dolar AS yang cukup untuk kebutuhan lima sampai enam bulan impor. Jumlah yang cukup aman mengingat batas aman jumlah cadangan devisa berdasar konvensi internasional adalah ekuivalen dengan kebutuhan untuk tiga bulan impor.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang tetap positif di tengah krisis keuangan global sekarang ini disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, sebuah keberuntungan bahwa perekonomian Indonesia belum terseret terlalu jauh ke dalam kegiatan spekulasi di sektor keuangan baik itu di pasar valuta asing maupun pasar modal. Dengan demikian ketika sektor keuangan dunia mengalami krisis yang awalnya dipicu oleh krisis obligasi perumahan di AS (atau dikenal dengan Subprime Mortgage Crisis), Indonesia hanya sedikit terimbas oleh krisis tersebut.

Kedua, kegiatan ekspor Indonesia hanya menyumbang sekitar 30 persen dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB). Bandingkan dengan Singapura yang nilai ekspornya 234 persen terhadap PDB, Hongkong 212 persen terhadap PDB, Malaysia 103 persen terhadap PDB, dan Thailand 77 persen terhadap PDB. Kecilnya porsi kegiatan ekspor terhadap PDB membuat gejolak internasional tak banyak berpengaruh terhadap Indonesia.

Sementara itu, sebagian besar pembentukan PDB Indonesia berasal dari kegiatan konsumsi masyarakat. Kegiatan konsumsi masyarakat menyumbang 62 persen dalam pembentukan PDB Indonesia. Kegiatan konsumsi selama ini dipandang sebelah mata oleh para ahli ekonomi karena dampak yang ditimbulkannya terbatas dibanding kegiatan investasi. Atau dalam bahasa ilmu ekonomi dikatakan dampak multiplier konsumsi lebih kecil dari investasi.

Tetapi ternyata ketergantungan ekonomi Indonesia terhadap konsumsi dalam negeri justru menguntungkan karena menyelamatkan Indonesia dari krisis ekonomi jilid kedua. Bagaimanapun pasar dalam negeri masih tetap merupakan hal yang tak dapat disepelekan. Indonesia mempunyai penduduk berjumlah 230 juta orang dengan pendapatan per kapita sekitar 2.200 dolar AS.
Bisakah?

Pertanyaan berikutnya adalah bisakah nilai tukar rupiah terhadap dolar AS tetap stabil —syukur kalau bisa pada level yang tinggi? Tampaknya hal ini masih tanda tanya besar mengingat ada beberapa faktor yang bisa membuat nilai tukar rupiah terhadap dolar AS tidak stabil.

Pertama, bila dilihat dari komposisi arus devisa masuk yang tercermin dalam neraca modal di neraca pembayaran internasional Indonesia maka sebagian besar berasal dari investasi portofolio. Adapun yang berasal dari penanaman modal asing (PMA) lebih kecil proporsinya. Investasi portofolio adalah kegiatan menanamkan valuta asing dalam aset-aset keuangan jangka pendek misalnya deposito 1 bulan atau tabungan.

Besarnya valuta asing atau cadangan devisa yang berasal dari kegiatan investasi portofolio ini sifatnya sangat rentan terhadap gejolak atau isu-isu. Bila ada gejolak atau isu-isu negatif yang menggoyahkan kepercayaan pemegang dolar AS maka dalam sekejap dolar AS itu akan dilarikan ke luar negeri. Maka sebenarnya jumlah cadangan devisa yang secara kuantitatif besar —seperti telah disebut di depan— menjadi tidak berarti karena kualitasnya jelek dalam arti mudah dilarikan ke luar negeri.

Kedua, masih berlakunya rezim devisa bebas. Yang dimaksud rezim devisa bebas adalah aturan yang memperbolehkan seseorang membawa ke luar dan masuk valuta asing ke luar dan masuk Indonesia dalam jumlah berapa pun.
Hal ini berbeda dari ketentuan di negara-negara lain, di AS juga, yang membatasi valuta asing yang khususnya boleh ke luar dari suatu negara. Bila rezim devisa bebas ini tetap dipertahankan maka orang akan dengan mudah melarikan dolar ke luar negeri dan hal tersebut akan membuat nilai tukar rupiah terhadap dolar AS tidak stabil.

Ketiga, permintaan dolar AS yang tetap tinggi khususnya untuk membayar utang luar negeri. Sebagaimana diketahui utang luar negeri Indonesia saat ini berjumlah sekitar 170 triliun rupiah. 500 triliun rupiah di antaranya terjadi pada masa 5 tahun pemerintah yang sekarang ini berkuasa (2004-2009).

Lalu bagaimana supaya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS stabil? Antara lain menjaga hal-hal yang membuat nilai tukar rupiah terhadap dolar AS stabil yaitu
stabilitas politik dan kinerja pertumbuhan ekonomi yang tetap bagus.

Jadi sebenarnya sangat menipu kalau dikatakan bahwa rasio utang luar negeri terhadap PDB sekarang ini turun menjadi 30 persen dan merupakan prestasi pemerintah. Yang penting sebenarnya bukan rasio tetapi nilai absolutnya yang kenyataannya memang bertambah Rp 500 triliun selama periode 2004-2009. Besarnya utang LN dengan konsekuensi pembayaran yang juga besar sewaktu-waktu akan menjadi bom waktu sebab bila utang tersebut jatuh tempo secara bersamaan maka kebutuhan akan dolar AS meningkat tajam dan akhirnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS akan terdepresiasi secara tajam. Pengalaman krisis tahun 1997 membuktikan fenomena ini.
Rezim Devisa Bebas Lalu bagaimana supaya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS stabil? Pertama, menjaga hal-hal yang membuat nilai tukar rupiah terhadap dolar AS stabil yaitu stabilitas politik dan kinerja pertumbuhan ekonomi yang tetap bagus.

Kedua, bagaimana menarik devisa atau dolar AS bukan dari investasi portofolio melainkan dari investasi asing langsung atau PMA. Oleh karena itu beberapa kendala yang dihadapi investor asing seperti ekonomi biaya tinggi, peraturan ketenagakerjaan yang tidak kondusif, peraturan investasi yang tidak konsisten antardaerah, dan lain-lain harus segera diatasi.

Ketiga, rezim devisa bebas yang memberi kebebasan orang membawa ke luar masuk dolar —khususnya yang ke luar Indonesia— supaya dicabut dan diganti peraturan yang membatasi jumlah dolar AS yang boleh dibawa ke luar.

Keempat, mulai menjadwal dan membatasi utang luar negeri. Maksudnya dibuat jadwal dimana porsi utang luar negri dalam pembiayaan pembangunan makin kecil. Dengan demikian permintaan terhadap dolar AS akan makin bisa dikendalikan. (35)

—Nugroho SBM, staf pengajar Fakultas Ekonomi Undip Semarang
(tersedia di http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2009/07/03/70832/10/Penstabilan.Nilai.Tukar.Rupiah.)