Rabu, 17 Oktober 2012

PERLUNYA KEBIJAKAN KERUANGAN BAGI PERBANKAN



 
Oleh Nugroho SBM

Salah satu kegiatan usaha di Indonesia yang selamat dari  dampak krisis keuangan global tahun 2008/ 2009 yang dimulai dari krisis keuangan di Amerika Serikat (AS) adalah perbankan. Di sisi lain, kegiatan perbankan juga mampu menyelamatkan perekonomian Indonesia dari krisis tersebut berkat kredit yang dikucurkannya..
 Kinerja perbankan Indonesia sampai saat ini baik-baik saja. Asset total perbankan Indonesia sampai saat ini mencapai Rp. 3.900 triliun, dana pihak ketiga Rp 2.900 triliun, kredit total Rp 2.400 triliun, kredit macet (non-performing loan) bruto 2,18 persen dari total kredit yang disalurkan, dan laba atau net interest margin rata-rata 5,38 persen. Pertumbuhan kredit selama semester pertama tahun 2012 dibanding semester tahun sebelumnya mencapai 25,8 persen. Dengan kinerja yang bagus seperti itu maka banyak ahli ekonomi yang sepakat bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam tahun 2012 ini bisa mencapai 6,3 persen.
Namun, pertumbuhan ekonomi Indonesia yang tinggi yang difasilitasi oleh kredit perbankan (baik kredit konsumsi maupun kredit investasi dan modal kerja) membuat justru neraca perdagangan Indonesia mengalami defisit untuk pertama kalinya dalam sejarah di tahun 2012 ini. Sebabnya jelas karena struktur industri Indonesia yang rapuh yaitu masih diimpornya bahan baku dan barang modalnya (sekitar 30 sampai 40 persen bahan baku dan barang modal industri Indonesia sampai saat ini masih harus diimpor). Melihat gejala tersebut, Bank Indonesia (BI) dalam waktu dekat akan mengeluarkan kebijakan perijinan berlapis (multiple license). Dalam kebijakan tersebut  BI akan membedakan strata bank berdasarkan besarnya modal. Semakin besar modal suatu bank akan semakin leluasa bank tersebut mengembangkan bisnisnya termasuk membuka cabangnya di daerah-daerah. Implikasinya, hanya bank-bank yang berkualitas lah yang berhak membuka cabangnya di daerah-daerah.



Bank Asing dan Bank Lokal
Implikasi kebijakan perijinan berlapis ini juga mengena pada bank-bank asing. Selama ini bank-bank asing yang beroperasi di Indonesia statusnya adalah cabang dari perusahaan induknya di luar negeri. Modalnya berada di kantor pusatnya di luar negeri. Dengan demikian struktur modal bank-bank asing tersebut di Indonesia sangatlah lemah atau kecil. Konsekuensi berikutnya mereka tidak akan diijinkan membuka cabang di daerah-daerah karena modalnya tidak cukup. Untuk dapat membuka cabangnya di daerah, bank-bank asing tersebut harus mengubah statusnya dari caabang (branch) menjadi anak perusahaan (subsidiary) dan harus berbadan hukum Perseroan Terbatas (PT) Indonesia.
Dengan status anak perusahaan dan berbadan hukum PT maka akan ada suntikan modal dari perusahaan induk di luar negeri. Hal ini akan menambah cadangan devisa Indonesia yang saat ini sekitar 109 miliar dolar AS. Jadi akan mempunyai dampak positif memperkuat cadangan devisa.
Implikasi lain dari kebijakan perijinan berlapis ini juga akan mengena pada bank-bank lokal yang operasinya pada skala daerah (provinsi, kabupaten, dan kota) seperti Bank Pembangunan Daerah (BPD), Bank Perkreditn Rakyat (BPR), maupun bank-bank yang hanya punya kantor di suatu daerah. Bagi bank-bank lokal kebijakan ini akan mempunyai dampak cukup berat karena di samping harus memenuhi ketentuan modal minimal yang besar juga harus menghadapi cabang bank-bank besar di daerah mereka. Maka bank-bank lokal punya pilihan untuk melakukan merger dengan bank-bank besar atau mencari investor baru untuk memperkuat modal. Soal merger memang tidak mudah karena berbagai kebijakan yang mencoba mengurangi jumlah bank tetap saja tidak mempengaruhi jumlah bank yang saat ini jumlahnya cukup besar yaitu 120 bank.

Kebijakan Keruangan
            Namun, kebijakan perijinan berlapis (multiple license) perbankan yang akan diterapkan oleh BI perlu diimbangi dengan kebijakan keruangan (spatial). Maksudnya kebijakan BI tersebut perlu melihat di mana bank berlokasi di suatu daerah. Tesis pasca sarjana (S2) saya di ITB tahun 1994 tentang dampak kebijakan Pakto 1988 (kebijakan liberalisasi perbankan yang sangat liberal) terhadap lokasi bank di Kota Semarang jelas menunjukkan bahwa ada interaksi antara kebijakan tata ruang wilayah dengan kebijakan ekonomi dalam hal ini kebijakan perbankan. Kebijakan tata ruang wilayah sering tidak memperhatikan secara khusus alokasi untuk kegiatan perbankan sehingga timbul dampak negatif berupa kemacetan lalu lintas, ketidaknyamanan nasabah, dan alih fungsi lahan yang sangat masif.. Di lain pihak kebijakan Bi tentang perbankan juga tidak memperhatikan aspek keruangan (spatial) misalnya aspek kejenuhan usaha perbankan di suatu ruang atau wilayah tertentu.
            Salah satu analisis yang menarik tentang aspek keruangan (spatial) kegiatan perbankan adalah yang dilakukan oleh Pungky P Wibowo (Kompas, 28/9/2012). Dengan menggabungkan alat analisis matriks Boston Consulting Group (BCG) dan teori Tempat Sentral yang dikemukan oleh Walter Christaller (Central Place Theory), Pungky P Wibowo berhasil mengklasifikasikan tingkat kejenuhan usaha perbankan di daerah. Matriks BCG merupakan matriks yang digunakan dalam analisis SWOT (Strenght, Weakness, Opportunity, dan Threat), sedangkan  teori Tempat Sentral dari Walter Christaller  menyangkut pengaturan suatu kegiatan jasa pelayanan termasuk perbankan. Jasa pelayanan diatur berdasarkan jarak pelayanan dan jumlah minimum konsumen agar kegiatan tersebut bisa hidup.
            Berdasarkan BCG dan Teori Walter Christaller tersebut, Pungky P wibowo berhasil mengidentifikasikan provinsi-provinsi di Indonesia dikaitkan dengan kegiatan perbankannya menjadi empat kategori. Pertama, provinsi yang masih kekurangan pelayanan bank (underbanked). Yang termasuk dalam kategori ini adalah: Lampung, Jambi, Papua Barat, Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan, NTB, Maluku Utara, NTT, Gorontalo, Sulawesi Tengah, Sumatera Selatan, Maluku, dan Sumatera Barat. Kedua, provinsi yang pelayanan banknya mendekati optimum tetapi masih dalam tingkatan rendah (low equlibrium banked). Yang termasuk dalam kategori ini ada lima provinsi di: Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Ketiga, provinsi yang mendekati optimum pelayanan banknya dalam tingkatan medium (medium eqilibrium banked). Yang termasuk dalam kategori ini  adalah lima provinsi di:  Papua, Sumatera, dan Riau. Keempat, provinsi yang sudah jenuh pelayanan perbankannya (overbanked). Yang termasuk dalam kategori ini adalah  sepuluh provinsi di: Jawa, Bali, Kalimantan, dan Sulawesi.
            Kebijakan perijinan berlapis yang akan dikeluarkan BI tentunya harus mempertimbangkan juga tingkat kejenuhan bank di suatu daerah atau wilayah. Bagi wilayah yang sudah jenuh (overbanked) kebijakan perijinan berlapis dengan mempertimbangkan modal bank yang besar tentu akan berdampak positif karena akan membuat persaingan ketat antar bank yang pada gilirannya nasabah akan diuntungkan (berupa pelayanan lebih baik, bunga simpanan yang tinggi, dan bunga kredit yang rendah). Tetapi di daerah yang masih kurang pelayanan perbankannya (underbanked) tentulah tidak bijaksana menerapkan kebijakan perijinan perbankan berlapis (multiple license) dengan persyaratan besarnya modal di daerah yang sudah jenuh karena akan membuat jumlah bank-bank di daerah berkurang dan semakin memperparah situasi underbanked di sana.

(Dr. Nugroho SBM, MSP, Staf Pengajar Fakultas Ekonomika dan Bisnis serta Magister Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan atau MIESP Undip Semarang)