Senin, 31 Januari 2011

DETERMINAN SUAP JADI KEJAHATAN

Oleh Nugroho SBM

DISERAHKANNYA berkas 151 perusahaan yang diduga terlibat memberikan suap dalam kasus mafia pajak dengan terdakwa Gayus Tambunan, merupakan fenomena menarik. Selama ini, hanya pegawai negeri yang terbukti menerima suap yang ditindak. Pertanyaannya adalah mengapa suap bisa dikategorikan kejahatan ekonomi?

Dalam teori ekonomi, penyuapan (bribery) yang biasanya dilakukan pengusaha nakal kepada pegawai pemerintah disebut sebagai korupsi dari sisi penawaran (supply side of corruption). Adapun tindakan pegawai yang menerima suap dikategorikan korupsi di sisi permintaan (demand side of corruption). Selama ini bila terjadi penyuapan maka yang diproses secara hukum adalah si penerima, yaitu pegawai pemerintah.

Padahal sisi si pemberi suap atau sisi penawaran mestinya juga mendapat hukuman setimpal. Dari sisi penelitian yang dilakukan, penelitian atau studi ternyata juga banyak yang lebih berat ke sisi permintaan, misalnya banyak penelitian menganalisis mengapa pegawai pemerintah suka menerima suap.

Dari definisinya, dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor maka penyuapan diartikan sebagai memberikan hadiah atau janji kepada: (1) pegawai negeri atau penyelenggaran negara agar pegawai berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu sesuai dengan kewenangannya, (2) kepada hakim untuk memengaruhi keputusannya, dan (3) kepada advokat untuk memengaruhi nasihatnya.

Dari tiga definisi yang dikemukakan tentang penyuapan terlihat ke mana titik berat hukum dalam melihat penyuapan. Definisi UU itu sebenarnya sudah mengarah pada si pemberi (sisi penawaran). Sementara UU di AS lebih berat definisinya kepada si penerima (sisi permintaan).

Analisis ekonomi atas hukum dalam hal penyuapan pada awalnya didasari oleh pemikiran Jeremy Bentham (1789) yang terkenal dengan paham utilitarianisme. Menurut Bentham, seseorang melakukan tindakan —termasuk tindak kejahatan seperti memberi atau menerima suap — didasarkan atas pertimbangan manfaat dibandingkan dengan kerugiannya.

Tindakan dilakukan bila manfaat sebuah tindakan lebih besar dibanding kerugiannya. Seseorang akan menyuap atau menerima suap jika keuntungan materi lebih kecil dari hukumannya.
Pemikiran Bentham mandek sampai tahun 1960-an, sampai muncul beberapa pemikir yang meneruskan, di antaranya Ronald Coase (1960) yang membahas eksternalitas dan tanggung jawab hukum, Garry Becker (1968) yang membahas tentang analisis benefit-cost ratio tindakan kriminal, dan Robert Posner (1972) dengan buku teksnya Economic Analysis of Law.

Harga Tinggi

Namun pemikiran Bentham sampai Robert Posner hanya menjelaskan bahwa seseorang melanggar hukum, termasuk memberi atau menerima suap, selama keuntungan materi dan nonmateri yang diterimanya lebih besar dari ”biaya”-nya, yaitu hukuman yang diterimanya. Tetapi pertanyaan tentang mengapa penyuapan merupakan tindakan kejahatan atau kriminal sehingga harus dihukum belumlah terjawab.

Dalam wawancara mendalam dengan beberapa pengusaha dalam rangka penyusunan disertasi saya, pengusaha pun tidak merasa bahwa menyuap adalah sebuah kesalahan atau tindakan melanggar hukum. Pembayaran suap oleh pengusaha dianggap sebagai biaya untuk memperlancar bisnisnya. Selama ”biaya” itu masih bisa ditanggung dan masih ada keuntungan yang didapat maka pengusaha akan terus melakukannya.

Menurut saya, penyuapan merupakan tindakan kriminal atau kejahatan karena dua dampak ekonomi yang ditimbulkannya. Pertama; beban suap biasanya akan diperlakukan sebagai biaya dan akan digeser kepada konsumen dalam bentuk harga yang lebih tinggi. Harga yang lebih tinggi tersebut akan mengurangi surplus konsumen yang mencerminkan kesejahteraan konsumen.

Kedua; pemberian suap menciptakan inefisiensi alokasi sumber daya (dalam hal ini dana) secara makro ekonomi. Seorang pegawai pemerintah tahu dengan gaji yang diterimanya harus mengerjakan tugas sesuai tugas pokok dan fungsi (tupoksi)-nya. Jika dia menjalankan tugas sesuai tupoksinya tetapi masih menerima suap berarti telah terjadi inefisiensi alokasi dana. (10)

— Nugroho SBM SE MSP, staf pengajar Jurusan IESP Fakultas Ekonomi Undip Semarang, sedang menulis disertasi tentang determinan penyuapan pada Program Doktor di Undip

Selasa, 04 Januari 2011

PERTUMBUHAN EKONOMI 2011:ANTARA PUJIAN DAN KENYATAAN

Oleh: Nugroho SBM

Beberapa lembaga internasional meuji kinerja ekonomi Indonesia dan meramalkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2011 akan lebih baik dari tahun 2010. Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank atau ADB) meramalkan pertumbuhan ekonomi di Negara-negara Asia Timur, termasuk Indonesia, pada tahun 2011 rata-rata akan mencapai 7,3 persen. Angka ini, meskipun lebih rendah dari prospek pertumbuhan ekonomi RRC tahun 2011 sebesar 9,1 persen menurut ADB, termasuk angka pertumbuhan ekonomi yang tinggi.
Beberapa lembaga pemeringkat utang dan investasi juga memuji kinerja ekonomi Indonesia dan membuat prakiraan optimis terhadap ekonomi Indonesia di tahun 2011. Standard Chartered Bank menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia mulai tahun 2011 akan terus membaik dibanding tahun 2010 dan jika terus dipertahankan akan bisa menyamai Jepang pada tahun 2030. Sementara Morgan Stanley mengatakan bahwa Indonesia mulai tahun 2011 sudah bisa disejajarkan dengan Negara yang ekonominya sedang membaik yang dikenal dengan BRIC (Brasil, Rusia, India, China).
Sebagai negara tujuan investasi, beberapa lembaga juga menyatakan bahwa Indonesia layak dijadikan negara tujuan investasi mulai tahun 2010 dan akan terus membaik di tahun 2011. Japan Credit Rating Agency menaikkan peringkat Indonesia ke tingkat investment grade (layak sebagai tujuan investasi). Moody’s menaikkan peringkat Indonesia sampai pada dua tingkat sebelum layak investasi (investment grade). Sedangkan Standrad and Poor (S & P) menaikkan peringkat Indonesia hanya satu tingkat menuju layak investasi (investment grade).
Pengertian Indonesia sebagai negara yang layak sebagai tujuan investasi oleh lembaga-lembaga internasional tersebut – harap diingat - adalah sebagai tujuan investasi tidak langsung atau investasi portofolio yaitu dalam bentuk tabaungan dan simpanan, deposito 1 bulanan, serta saham. Dan bukan dalam pengertian investasi langsung. Hal ini memang terbukti dari membanjirnya “uang panas” yang masuk ke iNdonesia akhir-akhir ini sehingga cadangan devisa Indonesia saat ini bias mencapai sekitar 92 milyar dolar AS.
Tetapi optimisme bahwa Indonesia layak dianggap sebagai negara tujuan investasi tidak langsung pada akhirnya bias juga mempengaruhi minat untuk berinvestasi langsung dari para investor asing. Hal tersebut didukung pula oleh naiknya peringkat daya saing Indonesia menurut World Competetiveness Report tahun 2009 menjadi peringkat 44 dari peringkat 54 di tahun sebelumnya. Kalau memang benar investasi asing langsung bias digaet maka memang benar pertumbuhan ekonomi 2011 bisa lebih baik.
Atas dasar opitimisme terhadap prospek pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2011 dari berbagai lembaga internasional tersebut maka pemerintah Indonesia juga ikut optimis. Hal tersebut terbukti dengan direvisinya pertumbuhan ekonomi tahun 2011 untuk asumsi makro dasar penysunan RAPBN 2011 dari 6, 3 persen menjadi 6,4 persen.

Benarkah Demikian?
Tetapi pertanyaannya: apakah pujian dan optimisme lembaga-lembaga internasional terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2011 yang diamini oleh pemerintah akan benar-benar terlaksana menjadi kenyataan? Menurut saya, sangatlah berat untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi di tahun 2011.
Pertama, pada tahun 2011 pemerintah akan memulai program pembatasan konsumsi BBM bersubsidi. Saya setuju bahwa memang selama ini BBM bersubsidi lebih banyak dinikmati oleh mereka yang tidak berhak yaitu pemilik mobil pribadi. Maka pembatasan BBM bersubsidi kepada yang benar-benar berhak merupakan kebijakan yang tepat.
Namun diperkirakan bahwa menentukan siapa yang berhak dan mekanisme supaya BBM bersubsidi jatuh ke tangan yang berhak di tahun 2011 akan menemui banyak kendala dan akan terjadi distorsi di sana-sini. Salah satu distorsi adalah tidak bisanya pelaku UMKM yang menggunakan mobil-mobil plat hitam (mobil pribadi) sebagai modal usaha untuk mendapatkan BBM bersubsidi. Distorsi yang lain adalah penggeseran beban kenaikan BBM akibat dibatasinya subsidi dari pengusaha kepada konsumen berupa kenaikan harga barang. Berbagai distorsi tersebut akan menyebabkan laju pertumbuhan ekonomi di tahun 2011 bagaimanapun akan lebih rendah dari berbagai perkiraan yang optimis.

Ekonomi Biaya Tinggi
Sebab kedua, ekonomi biaya tinggi yang akan dihadapi oleh investor di sektor riil yang disebabkan oleh infrastruktur dan birokrasi serta korupsi masih akan menjadi kendala bagi peningkatan investasi. Terkendalanya investasi- yang merupakan motor penggerak utama pertumbuhan ekonomi - tentu akan membuat laju pertumbuhan ekonomi juga lebih rendah dari perkiraan yang optimistis
Seperti telah dipaparkan di bagian awal tulisan ini, memang peringkat daya saing Indonesia naik ke peringkat 44 di tahun 2009 dibanding tahun 2008 yang berada di peringkat 54. Tetapi perlu diingat bahwa kenaikan peringkat daya saing Indonesia tersebut lebih disebabkan oleh stabilitas ekonomi makro dan bukan karena perbaikan dalam infrastruktur. Dari berbagai berita di media massa kita bias melihat betapa infrastruktur Indonesia sangat buruk. Kita bisa melihat bagaimana kondisi jalan-jalan , pelabuhan, sampai listrik yang sampai saat ini masih amburadul. Buruknya infrastruktur tersebut telah membuat investasi menjadi mahal atau berbiaya tinggi.
Sumber yang lain dari ekonomi biaya tinggi di Indonesia adalah pada birokrasi. Memang pemerintah telah menetapkan bahwa setiap kabupaten dan kota untuk pelayanan ijin investasi harus menerapkan pelayanan satu atap atau One Stop Service (OSS). Namun penerapan OSS ini masih beragam untuk tiap kabupaten dan kota. Ada Kabupaten yang telah secara benar menerapkan konsep OSS. Dalam penerapan konsep OSS secara benar ini calon investor tinggal datang ke kantor OSS menyerahkan semua berkas persyaratan, membayar biaya yang ditentukan dan ia sudah tahu kapan ijin tersebut jadi. Kabupaten yang sudah menerapkan konsep OSS secara benar ini antara lain Kabupaten Sragen. Sementara banyak kabupaten dan kota yang menerapkan OSS hanya sebatas sebagai kantor informasi. Artinya si calon investor hanya diberi tahu tentang prosedur mengurus ijin investasi tetapi si calon investor harus mondar-mandir mengurus sendiri ijin investasi tersebut. Masalah ini tampaknya belum akan selesai di tahun 2011 sehingga investasi belum akan naik secara signifikan di tahun 2011 dan dengan demikian pertumbuhan ekonomi juga tak bisa diharap mencapai angka pertumbuhan ekonomi yang optimis.
Sumber yang lain dari ekonomi biaya tinggi adalah dari korupsi dalam berbagai bentuk. Meskipun sudah dibentuk lembaga yang menangani korupsi secara khusus yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tetapi tampaknya kasus korupsi di Indonesia sampai saat ini tidak bisa menurun secara signifikan. Hal tersebut disebabkan pemerintah tampaknya masih setengah hati dalam pemberantasan korupsi. Pemerintah dengan kasat mata dibantu oleh beberapa pihak selalu berusaha mengkerdilkan peran KPK atau membuat KPK tak bisa berjalan optimal. Demikian juga dalam penegakkan hukum dalam memberantas korupsi, pemerintah melakukan “tebang pilih” Banyak kepala daerah yang aman-aman saja dari tuduhan korupsi karena ia anggota partai politik yang saat ini sedang berkuasa. Demikian pula kalau kasus korupsi akan menyeret banyak penguasa maka akan dialihkan ke perkara yang lain seperti dalam kasus Gayus Tambunan.
Bagaimanapun korupsi merupakan biaya tinggi bagi dunia usaha. Sehingga selama pemberantasan korupsi masih dilakukan setengah hati maka investasi tak bisa naik secara signifikan dan dengan demikian pertumbuhan ekonomi tinggi di tahun 2011 tak mungkin tercapai.
Sebab ketiga mengapa saya pesimis pertumbuhan ekonomi 2011 bisa setinggi ramalan yang optimis adalah ketiadaan arah yang jelas kemana ekonomi kita akan di bawa. Seorang penulis di sebuah majalah mengatakan bahwa ekonomi kita saat ini bagai kereta hantu yan berjalan sendiri tanpa masinis dan tanpa arah yang jelas. Dulu ada arah yang jelas berupa GBHN dan Repelita. Tetapi sekarang dokumen-dokumen itu tidak ada. Para pemipin di bidang ekonomi juga tak pernah menunjukkan kepemimpinannya. Ekonomi seolah-olah berjalan alamiah tanpa campurtangan pemimpin. Jika kondisi seperti ini dibiarkan maka jangan kaget bila investasi tak akan masuk ke Indonesia di tahun 2011 dan dengan demikian pertumbuhan ekonomi 2011 tak setinggi versi mereka yang optimis.

(Nugroho SBM, Staf Pengajar FE Undip Semarang)