Senin, 14 Mei 2012

MENGURAI FAKTOR EKONOMI PEMICU RUSUH

Oleh Nugroho SBM
MELALUI artikelnya ’’Mengurai Simpul Kerusuhan’’ (SM, 07/05/12), Chusmeru menguraikan penyebab dan pemicu kerusuhan di Indonesia, dengan pijakan konflik antara warga dan anggota ormas di Solo, 4 Mei lalu. Saya sependapat bahwa anarki timbul antara lain karena dipicu oleh kesenjangan ekonomi akibat monopoli sumber-sumber ekonomi oleh elite masyarakat dengan cara tidak fair, semisal lewat korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).

Saya mencoba lebih memperkaya memori intelektual pembaca dengan mendalihkan pada dua teori sosial. Teori pertama; penyebab struktural. Kerusuhan juga bisa terjadi karena faktor struktural di masyarakat, dengan beragam latar. Pertama; kesenjangan ekonomi, seperti disebut Chusmeru, yang antara lain karena penguasaan sumber-sumber ekonomi secara tidak fair oleh segelintir orang, yang mestinya juga hak banyak orang. Namun cara fair menguasai sumber ekonomi pun bisa menyulut konflik. Hal itu biasanya terjadi di daerah karena misalnya etnis pendatang bisa sukses secara ekonomi yang kemudian menimbulkan kecemburuan.

Kedua; ada tindakan sekelompok elite ingin mendapatkan kekuasaan di daerah, semisal pemekaran daerah baru atas dasar etnis. Pola ini lebih berisiko memicu konflik karena pasti ada etnis minoritas di daerah baru itu. Tahun 2006, saya bergabung dengan Depkeu meneliti pemekaran daerah. Di suatu daerah pemekaran baru ada bupati, yang merupakan pemrakarsa pemekaran itu, yang sebelumnya menjabat ketua DPRD di daerah induk.

Ketiga; ketidakharmonisan relasi antara pusat dan daerah (kabupaten dan kota). Banyak pemkab/ pemkot mengundangkan perda yang tak sesuai dengan perundang-undangan pusat sehingga menimbulkan rasa tidak aman.



Perda Bermasalah

Teori kedua; penyebab kultural. Kerusuhan dan kekerasan bisa terjadi karena tiap suku, agama, ras, dan aliran punya dogma berbeda, yang seringkali diterima tanpa reserve oleh komunitas/ penganutnya. Bila antarsuku, agama, ras, dan aliran itu bergesekan karena suatu kasus maka menimbulkan konflik yang bereskalasi anarki.

Pemerintah perlu merumuskan kebijakan guna mengantisipasi kerusuhan. Pertama; semua pihak harus mencegah ketimpangan ekonomi karena penguasaan sumber-sumber ekonomi secara tidak fair. Sebenarnya ada seperangkat regulasi untuk mencegah hal itu, di antaranya UU Antimonopoli dan UU Tindak Pidana Korupsi.

Namun UU Antimonopoli belum menjabarkan rinci pelaksanaannya, khususnya menyangkut ukuran kuantitatif ekonomis. Dalam praktik masih banyak lubang penyelewengan ke arah monopolisasi , misalnya kecenderungan kerja sama antarperusahaan dalam penjualan produk yang bisa mengarah ke monopoli.

Contohnya, pembelian minuman ringan berhadiah rokok yang merupakan produk perusahaan berbeda. Undang-undang hanya memuat larangan bagi perusahaan dalam satu kepemilikan melakukan integrasi secara horizontal (berbeda produknya) yang menyebabkan terjadinya monopoli di pasar dua produk itu.

Adapun UU Tindak Pidana Korupsi juga punya kelemahan, antara lain hukuman bagi koruptor yang relatif ringan. Studi Rimawan Pradipto (2010) menyebut uang yang dikorupsi tahun 2001-2009 mencapai Rp 73,07 triliun tetapi hukuman denda finansial yang kembali ke negara hanya Rp 5,32 triliun (7,29 persen).

Kedua; perlu ketegasan pelaksanaan terkait pembatasan pemekaran daerah baru, terutama yang mendasarkan pada kesamaan etnis. Termasuk rencana Kemendagri melikuidasi daerah pemekaran baru yang bangkrut (tidak mandiri secara finansial) guna membuat efek jera daerah pemekaran baru yang sebenarnya tidak layak karena PAD-nya terlalu kecil.

Ketiga; pemda harus membatalkan perda bermasalah yang berisiko memicu kerusuhan dan kekerasan, namun perlu dibarengi dengan tindakan preventif, berupa sosialisasi dari pemerintah pusat. (10)

— Nugroho SBM, dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis, serta Program Magister Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan (MIESP) Undip Semarang (/)





Senin, 07 Mei 2012

PERAN WANITA DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI

Oleh Nugroho SBM

Peran penting wanita dalam pemberantasan korupsi, bukanlah sesuatu yang mengada-ada. Berbagai riset di berbagai belahan dunia menunjukkan bahwa wanita cenderung lebih tidak korup dibandingkan lelaki. Beberapa penelitian menunjukkan hal tersebut. Pertama, penelitian yang dilakukan World Value Surveys di 18 negara tahun 1981 dan di 43 negara tahun 1991 menunjukkan bahwa penolakan wanita terhadap perbuatan tidak jujur dan bersifat ilegal seperti korupsi dan penyuapan lebih besar dibanding laki-laki. Kedua, penelitian Bank Dunia (1999) dengan judul Corruption and Women In Government menunjukkan bahwa wanita memiliki hasrat yang lebih rendah dalam menerima suap dan melakukan tindak pidana korupsi. Penelitian tersebut kemudian merekomendasikan agar wanita diberi kewenangan dan jatah dalam jumlah yang lebih besar di pemerintahan karena akan menjalankan pemerintahan yang lebih bersih dibanding bila dijalankan oleh laki-laki. Ketiga, penelitian Anand Swammy (2000) di negara bagian Georgia dengan mengambil sampel 1.717 manajer laki-laki dan 502 manajer wanita menghasilkan kesimpulan bahwa manajer wanita cenderung tidak suka menyuap untuk memperlancar bisnisnya dibanding manajer laki-laki. Keempat, senada dengan penelitian Anand Swammy, penelitian Hossain dan Musembi (2010) menunjukkan bahwa perusahaan yang dimiliki oleh wanita kurang suka melakukan penyuapan dibanding perusahaan yang dimiliki oleh laki-laki. Kelima, penelitian Dollar (2011) menunjukkan bahwa berdasarkan peneliian dengan menggunakan eksperimen wanita lebih tidak mementingkan diri sendiri serta memiliki standar moral dan etika yang lebih tinggi dibanding laki-laki. Dollar lalu mengkaitkan kesimpulannya itu dengan fenomena yang lebih luas dengan menunjukkan bahwa di negara-negara yang keterwakilan wanitanya tinggi dalam politik ternyata tingkat korupsinya lebih rendah dibanding negara yang keterwakilan wanitanya di politik rendah. Dari berbagai studi tersebut beberapa ahli lalu mencari tahu mengapa wanita lebih tidak korup dibanding laki-laki. Pertama, secara psikologis wanita cenderung memiliki rasa malu yang lebih tinggi serta perasaan yang lebih peka daripada laki-laki.. Rasa malu dan perasaan peka tersebut terlebih akan muncul ketika melakukan perbuatan yang tercela seperti korupsi dan suap. Kedua, secara sosiologis wanita lebih menonjol perannya di dalam rumah tangga (domestik) dibanding peran sosialnya di masyarakat. Akibatnya korupsi dan suap yang dianggap biasa dalam pergaulan sosial dianggap sebagai sesuatu yang tabu bagi wanita. Bagaimana di Indonesia? Peran wanita dalam memberantas maupun dalam melakukan korupsi sebenarnya ada yang menggembirakan tetapi juga ada yang kurang menggembirakan akhir-akhir ini. Yang menggembirakan adalah ketika keterwakilan wanita di DPR hanya 11 persen pada tahun 1999 ternyata telah lahir UU Nomer 31 tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi yang kemudian disempurnakan dengan UU Nomer 20 tahun 2001. Di UU tersebut telah dirinci ada 36 jenis tindakan yang dikategorikan sebagai korupsi. Namun akhir-akhir ini banyak pelaku korupsi yang berjenis kelamin wanita di Indonesia. Beberapa contoh bisa disebut. Pertama, Artalyta Suryani yang menyuap jaksa Urip Tri Gunawan senilai Rp 6 miliar. Dia juga membikin heboh dengan menikmati fasilitas istimewa di penjara yang tentunya diperolehnya dengan menyuap petugas penjara. Kedua, Inong Melinda Dee yang terlibat kasus penggelapan dana nasabah Citibank sebesar Rp 17 miliar. Ketiga, Mindo Rosalina Manulang yang terlibat kasus suap Wisma Atlet yang sekaligus menyeret politikus wanita dari Partai Demokrat Angelina Sondakh. Keempat, Imas Diansari seorang hakim ad hoc Pengadilan Hubungan Industrial PN Bandung yang menerima suap Rp 500 juta dari Manajer PT Onamba Indonesia Odi Juanda. Kelima, dua wanita anggota DPR Ni Luh Mariani Tirtasari dan Engelina Pattiasina yang menerima suap dalam pemlihan Deputi Senior Gubernur BI yang juga seorang wanita yaitu Miranda Goeltom. Kasus tersebut juga telah menyeret seorang wanita bernama Nunun Nurbaitie isteri mantan Wakapolri Adang Daradjatun. Keenam, Wa Ode Nurhayati yang diduga melakukan suap dana Percepatan Pembangunan Infrastruktur Daerah (PPID). Mengapa bisa terjadi seperti itu? Pertama, korupsi dan suap di Indonesia ternyata sifatnya sistemik atau sudah merupakan sebuah sistem atau jaringan. Siapapun yang masuk ke dalam sistem atau jaringan tersebut pastilah ikut terseret dalam tindakan korupsi dan suap dan tidak membedakan apakah dia laki-laki atau wanita. Seseorang yang sudah masuk ke daam sistem itu tentulah tak bisa menolak melakukan korupsi karena ia akan dicap tidak solider. Kedua, dahulu banyak jabatan publik seperti jabatan di eksekutif, legislatif, dan judikatif dijabat oleh laki-laki. Demikian pula jabatan tinggi di perusahaan-perusahaan swasta juga lebih banyak dijabat oleh laki-laki Dengan demikian secara proporsional korupsi yang dilakukan oleh laki-laki lebih banyak. Kini dengan majunya emansipasi wanita banyak jabatan publik baik di pemerintahan maupun di swasta dijabat oleh wanita. Dan dengan begitu jumlah koruptor wanita juga akan bertambah. Ketiga, barangkali perasaan malu dan sensitif kaum wanita saat ini telah luntur di Indonesia. Tuntutan gaya hidup hedonistik dan mewah telah melunturkan rasa malu dan sensitif tersebut sehingga wanita tidak malu lagi melakukan tindakan tercela seperti korupsi dan menyuap. Lalu Harus Bagaimana? Lalu harus bagaimana? Tentu kita harus tetap optimis bahwa peran wanita dalam memberantas korupsi di Indonesia masih bisa diharapkan. Penelitian saya (2011) dengan judul ”Korupsi dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya di Indonesia (Tahun 1998-2010)” menunjukkan bahwa jumlah penduduk wanita berpengaruh negatif terhadap tingkat korupsi yang didekati dengan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang diterbitkan oleh Transparency International. Meskipun dengan indikator yang sangat kasar, penelitian saya tersebut menunjukkan bahwa peran wanita masih tetap bisa diharapkan dalam memberantas korupsi di Indonesia. Untuk itu beberapa langkah bisa dilakukan. Pertama, para wanita dalam hal ini ibu rumahtangga hendaklah menanamkan nilai-nilai moral dan etika yang baik kepada anak-anaknya sejak dini. Tindakan melakukan korupsi dan menyuap harus ditekankan benar bahwa hal itu merupakan perbuatan tercela. Peran Ibu yang sangat besar terhadap pendidikan anak ini dapat dicontoh dari Jepang. Di Jepang ada istilah Kyoiku Mama atau Education Mama yaitu wanita ibu rumah tangga yang menanamkan nilai-nilai sosial, tradisi, budaya disiplin, dan etos kerja yang tinggi kepada anak-anaknya. Berkat peran ibu rumah tangga yang istimewa tersebut, Jepang bisa menjadi raksasa ekonomi dunia seperti sekarang ini. Kedua, sebagai isteri , wnita juga dapat memainkan peran untuk mencegah suaminya dari perbuatan tercela seperti korupsi dan menyuap. Caranya adalah dengan selalu mengingatkan sang suami agar mencari rejeki secara halal. Bahkan ada baiknya untuk selalu bertanya apakah uang yang diberikan oleh suaminya merupakan uang yang halal ataukah bukan. Jangan bertindak yang sebaliknya menuntut suami untuk memenuhi kebutuhan di luar kemampuan gaji suami karena hal itu justru akan mendorong suami melakukan korupsi. Ketiga, barangkali agak ”sadis” tetapi isteri sebanrnya justru bisa melaporkan suaminya bila sang suami melakukan korupsi. Hal ini sesuai dengan UU Nomer 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyebutkan bahwa suami dan isteri mempunyai hak yang sama dalam melakukan perbuatan hkum. Salah satu perbuatan hukum yang bisa dilakukan isteri adalah melaporkan suaminya bila ia melakukan tindak pidana korupsi. (Nugroho SBM, Staf Pengajar Fakultas Ekonomika dan Bisnis serta Magister Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan atau MIESP Undip dan sedang menyelesaikan disertasi doktor tentang korupsi di Program Doktor Ilmu Ekonomi Undip)