Selasa, 21 April 2009

PEMILU DAN PERUBAHAN EKONOMI

* Oleh Nugroho SBM


KONDISI Amerika Serikat (AS) dan Indonesia memang berbeda. Di AS, pemilu di tengah krisis ekonomi dunia yang dipicu oleh krisis telah melahirkan perubahan dalam kepemimpinan dari George Bush ke Barack Obama. Peralihan kepemimpinan tersebut telah melahirkan perubahan yang cukup berarti dalam kebijakan ekonomi.

Kalau George Bush dari Partai Republik lebih banyak pro kepada pasar dan pengusaha yang akhirnya memicu krisis, maka Barack Obama lebih pro kepada masyarakat dan peran pemerintah untuk mengendalikan ekonomi.
Sementara di Indonesia, di tengah dampak krisis ekonomi dunia yang mulai terasa, pemilu legislatif tidak melahirkan pembaharuan yang berarti. Malah Partai Demokrat sebagai partai yang mencalonkan SBY sebagai presiden perolehan suaranya melejit menjadi nomor satu.

Padahal dahulu ketika mencalonkan SBY sebagai presiden pada 2004, Partai Demokrat hanya menduduki urutan ke-7 dalam perolehan suara. Banyak faktor bisa disebut sebagai kunci kemenangan Partai Demokrat, terutama yang berkait dengan bidang ekonomi.

Pertama, banyak kebijakan ekonomi populis (prorakyat) dari SBY yang menarik simpati rakyat yang lahir karena didukung oleh faktor keberuntungan. Contoh yang paling jelas adalah kebijakan penurunan harga bahan bakar minyak (BBM).

Kebijakan tersebut bisa dilakukan setelah harga minyak di pasar dunia turun cukup drastis sehingga mengurangi beban subsidi BBM di APBN dan dengan demikian harga BBM bisa diturunkan. Kebijakan penurunan harga BBM ini cukup ampuh mendongkrak popularitas SBY dan Partai Demokrat sehingga akhirnya Partai Demokrat bisa menangguk suara terbesar dalam Pemilu Legislatif 2009 yang baru lalu.

Kedua, banyak pihak terutama rakyat kecil yang takut terhadap perubahan. Saya melakukan wawancara kecil dengan rakyat kecil sesaat setelah pencoblosan. Mereka umumnya memilih Partai Demokrat karena jika memilih partai lain takut bantuan langsung tunai (BLT) tidak akan diterima lagi. Menurut mereka, jika yang menang bukan Partai Demokrat maka program BLT akan dihapuskan. Padahal Program BLT sudah ada sejak pemerintahan Megawati.

Ketiga, di samping dari rakyat kecil, ketakutan juga datang dari para guru. Mereka takut jika partai yang menang selain Partai Demokrat maka program sertifikasi dan pemberian tunjangan akan dihentikan.

Keempat, penyebab yang sesungguhnya merupakan ironi dari kemenangan Partai Demokrat adalah karena lawan-lawan SBY dan Partai Demokrat mengecam berbagai program dan kebijakan ekonomi yang dilaksanakan oleh SBY. Kecaman tersebut justru menimbulkan simpati calon pemilih pada SBY dan Partai Demokrat.

Beberapa contoh kecaman tersebut antara lain kecaman Megawati terhadap kebijakan SBY yang menaikkan harga BBM kemudian setelah beberapa saat menurunkan. Megawati menyebut hal tersebut sebagai mengatur negara seperti bermain ”yo-yo”.

Kecaman Megawati yang lain adalah terhadap kebijakan pemberian BLT yang dianggapnya kurang mendidik dan lebih mendidik misalnya dalam bentuk program padat karya. Meskipun kecaman itu benar tetapi masyarakat awam yang tidak ingin berpikir terlalu rumit menganggap bahwa Megawati menyerang SBY.

Padahal secara sosiologis orang Indonesia akan bersimpati dan membela mereka yang ”teraniaya”. Megawati barangkali lupa ketika naik menjadi presiden juga karena simpati rakyat karena ia dalam posisi ”teraniaya”.
Tak Berubah
Lalu bagaimana kaitannya hasil pemilu legislatif dengan arah kebijakan ekonomi? Arah kebijakan ekonomi akan tetap sama seperti sekarang karena partai yang menang adalah yang mendukung kebijakan-kebijakan ekonomi yang sekarang. Lalu apa yang salah dengan kebijakan ekonomi yang sekarang? Ada beberapa.

Pertama, kebijakan-kebijakan ekonomi karitatif seperti pemberian BLT untuk penduduk miskin akan terus berlangsung. Kebijakan semacam itu memang perlu dalam kondisi darurat misal: terjadinya kekurangan pangan atau kelaparan hebat. Tetapi dalam jangka panjang kebijakan demikian tidak mengatasi masalah mendasar kemiskinan.

Kebijakan demikian juga tidak mendidik. Kebijakan yang lebih baik, meskipun masih pada tataran karitatif, adalah dengan proyek padat karya. Dengan proyek padat karya, di samping penduduk miskin menerima bantuan uang juga harga dirinya akan lebih terangkat karena uang yang diterima tidak cuma-cuma seperti halnya dalam pemberian BLT.

Kebijakan yang lebih mendasar lagi untuk memerangi kemiskinan mestinya adalah lewat berbagai undang-undang yang memberi peluang bagi masyarakat miskin untuk bisa mengakses berbagai hal agar dia bisa hidup lebih baik. Misalnya: UU tentang penjaminan kredit bagi usaha kecil menengah, dan koperasi.

Selama ini pengusaha kecil tidak punya akses untuk meminjam di bank karena tidak punya agunan. Dengan UU penjaminan terhadap usaha kecil, menengah, dan koperasi maka menjadi tugas pemerintah --misal lewat Badan Penjaminan Kredit Usaha Kecil-- untuk menjamin kredit bagi usaha kecil, menengah, dan koperasi.

Kecenderungan kedua dalam kebijakan ekonomi yang masih tetap akan bertahan adalah berjalannya sistem ekonomi neoliberal. Ciri sistem ini adalah sangat mendewakan mekanisme pasar sebagai alat untuk memecahkan berbagai persoalan ekonomi serta pelemparan tanggung jawab sosial perusahaan kepada pemerintah atau negara.

Tentang pendewaan mekanisme pasar dapat kita lihat pada kebijakan pencabutan berbagai subsidi seperti subsidi BBM, subsidi pupuk, dan yang terbaru adalah subsidi bagi pendidikan tinggi dengan dijadikannya universitas-universitas negeri menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Adapun pelemparan tanggung jawab sosial perusahaan kepada negara atau pemerintah tampak pada kasus Lapindo, Newmont, maupun Freeport.
Semestinya intervensi pemerintah terhadap perekonomian tetap diperlukan karena tidak selamanya pasar bisa menyelesaikan masalah.

Tanggung jawab sosial perusahaan sebenarnya sudah diatur dalam UU tentang Perseroan Terbatas. Hanya dalam pelaksanaan pemerintah perlu tegas dan masalah yang menjadi tanggung jawab sosial perusahaan diperluas. Betapa tidak tegas pemerintah dan betapa kecil lingkup tanggung jawab sosial perusahaan sangat tampak pada kasus kemeluapan lumpur karena kesalahan yang dilakukan pengeboran yang kemudian dialihkan menjadi karena kecelakaan dan karenanya pemerintah yang harus menanggung kesalahan itu.

Arah yang ketiga dari kebijakan ekonomi yang tidak berubah adalah tetap dikembangkannya pasar uang dan pasar modal sementara sektor riil jauh ketinggalan. Hal ini tampak dari ”kemalasan” perbankan untuk menyalurkan kredit dan malah menempatkan dananya di SBI dan spekulasi valuta asing. Mestinya BI bisa lebih mendorong penurunan bunga kredit dan memberi insentif agar bank mau memberikan kredit dengan, misalnya, mengkaitkan ketentuan Giro Wajib Minimum (GWM) dengan nisbah dana pihak ketiga terhadap pinjaman atau Loan To Deposit Ratio (LDR). Makin tinggi LDR makin kecil GWM-nya.

Namun, harapan masih terbentang jika PDI-P sebagai partai oposisi berkoalisi dengan partai-partai lain yang setujuan, yaitu mereka yang peduli terhadap masalah-masalah kronis ekonomi Indonesia yang tak kunjung terselesaikan seperti telah disebut di tulisan ini. (35)

–– Nugroho SBM SE MSP, staf pengajar Fakultas Ekonomi Undip, tinggal di Semarang
Artikel dimuat di Wacana Suara Merdeka 20 April 2009, bisa diakses juga di
http://suaramerdeka.com/smcetak/index.php?fuseaction=beritacetak.detailberitacetak&id_beritacetak=60211

Senin, 13 April 2009

KEMUNDURAN ILMU PENGETAHUAN DAN UNIVERSITAS DI INDONESIA

Oleh: Nugroho SBM

Saya sepenuhnya setuju dengan pendapat Saratri Wilonoyudho dalam tulisannya di rubrik wacana Suara Merdeka berjudul “ Perguruan Tinggi dan Orang Tuli” (Suara Merdeka , 14 Maret 2009). Dalam tulisannya tersebut ia mengemukakan beberapa kritik pedas soal perkembangan ilmu pengetahuan di Indonesia pada umumnya dan universitas pada khususnya. Tulisan ini hanya bermaksud mempertegas tulisan Saratri Wilonoyudho tersebut dengan menambahkan dan mengemukakan beberapa contoh kongkrit.
Pertama, Saratri mengkritik bahwa sekarang ini ilmu pengetahuan di Indonesia makin “egois”, dalam arti tidak mau “bertegur sapa” atau bekerjasama dengan ilmu yang lain. Ilmu makin spesialistik. Padahal persoalan di masyarakat makin kompleks sehingga menuntut pemecahan yang makin komprehensif. Pemecahan komprehensif tersebut hanya bisa dicapai kalau berbagai disiplin ilmu saling bekerjasama. Berbagai contoh persoalan kompleks yang dihadapi masyarakat Indonesia itu misalnya adalah krisis ekonomi yang kemudian menjadi krisis multidimensi yang sampai sekarang belum juga berlalu sepenuhnya. Mestinya butuh kerjasama antar disiplin ilmu. Tidak hanya tugas ilmu ekonomi saja untuk menyelesaikannya tetapi ilmu-ilmu yang lain seperti psikologi, sosiologi, antrophologi, dan lain-lain.
Contoh persoalan kompleks di masyarakat yang menuntut kerjasama antar disiplin ilmu adalah masalah lingkungan hidup seperti banjir yang sekarang ini makin sering dialami masyarakat dan juga wilayahnya makin meluas. Untuk mengatasi masalah banjir tidak hanya tugas ilmu planologi (perencanaan kota) saja, melainkan juga ilmu-ilmu yang lain seperti teknik sipil, teknik arsitektur, sosiologi dan antrophologi (karena terkait dengan perilaku masyarakat), dan bahkan ilmu ekonomi (karena sering daerah konservasi diubah menjadi daerah industri atau perumahan dengan motif ekonomi). Dan masih banyak contoh yang lain.
Namun, dalam perkembangannya – seperti ditulis oleh Saratri – ilmu pengetahuan di Indonesia justru makin “egois” dan spesialistik. Menurut Saratri, jangankan dengan ilmu lain rumpun, misal antara ilmu sosial dengan ilmu pasti. Dalam satu rumpunpun, misalnya sama-sama ilmu sosial, jarang ada dialog atau tegur sapa.
Saya sendiri punya pengalaman di program Magister Manajemen (MM) Undip. Kebetulan saya mengampu mata kuliah “Analisis Lingkungan Bisnis” di program MM Undip. Mata kuliah ini memang berbasis pada mata kuliah ilmu ekonomi makro yang berasal dari jurusan saya yaitu jurusan ilmu ekonomi dan studi Pembangunan (IESP) atau kalau dulu disebut sebagai ilmu ekonomi umum. Sebagaimana diketahui ada 3 jurusan di Fakultas Ekonomi yaitu jurusan manajemen, jurusan akuntansi, dan jurusan IESP. Keberadaan mata kuliah “Analisis Lingkungan Bisnis” sebenarnya bisa dipandang sebagai “dialog” – atau “tegur sapa” menurut istilah Saratri – antara jurusan manajemen dengan jurusan IESP.
Adapun tujuan diberikannya mata kuliah “Analisis Lingkungan Bisnis” adalah memberi bekal kepada mahasiswa MM tentang pentingnya lingkungan bisnis yang sifatnya makro sehingga mereka tidak hanya terkungkung pada masalah-masalah manajemen dalam lingkup perusahaan saja seperti manajemen sumberdaya manusia, manajemen operasi, manajemen keuangan, dan lain-lain. Pengalaman krisis ekonomi 1997 dan juga 2008 membuktikan betapa fenomena ekonomi makro berupa krisis nilai tukar rupiah terhadap dolar AS bisa punya dampak besar terhadap manajemen perusahaan yaitu pada manajemen keuangan (karena utang Luar Negeri perusahaan menjadi makin besar), manajemen pemasaran (karena daya beli masyarakat merosot akibat krisis sehingga perusahaan harus melakukan segmentasi ulang pasarnya), maupun manajemen sumberdaya manusia (karena perusahaan terpaksa harus melakukan efisiensi di bidang kepegawaian). Ada pendapat bahwa jika perusahaan peka terhadap indikator ekonomi makro sebelum krisis 1997 maka perusahaan bisa melakukan “Hedging” (lindung nilai tukar) sehingga beban utang Luar Negeri tidak bertambah berat akibat depresiasi rupiah terhadap dolar AS waktu itu.
Contoh fenomena ekonomi makro lain yang mempengaruhi dunia usaha adalah inflasi. Jika terjadi inflasi maka hal tersebut akan mempengaruhi manajemen operasi (misalnya perusahaan harus memilih metode persediaan yang tepat supaya tidak mengalami kerugian), manajemen sumberdaya manusia (karena perusahaan harus menyesuaikan upah karyawannya), dan aspek manajemen yang lain.
Namun, dalam kurikulum program MM yang baru (mulai tahun 2009), ternyata mata kuliah Analisis Lingkungan Bisnis tersebut dihapus. Mata-mata kuliah dalam program MM makin spesialistik dan teknis melulu soal manajemen dalam perusahaan. Ini merupakan salah satu bukti kecil seperti yang ditulis oleh Saratri bahwa ilmu di Indonesia makin “Egois”.

Menara Gading
Kritik kedua yang dilontarkan Saratri secara implisit adalah universitas dan ilmu pengetahuan sudah tidak bisa lagi memecahkan masalah kongkrit di masyarakat. Ia mengatakan dalam salah satu bagian tulisannya “... Ironisnya permasalahan banjir, kemacetan lalu lintas, sampah, lingkungan yang memburuk, dan seterusnya justru terjadi di kota-kota besar ketika di dalamnya banyak bertebaran para doktor lulusan luar negeri atau profesor yang dianggap ahli dalam bidangnya masing-masing ...”. Saya setuju dan melihat fenomena yang sama.
Sebenarnya peringatan berbagai pihak atas sterilnya perkembangan ilmu terhadap fenomena masyarakat sudah cukup lama. Dulu ada istilah bahwa universitas telah menjadi menara gading, yang meskipun indah dan mahal tetapi tidak ada gunanya bagi masyarakat. Demikian pula halnya saat ini. Benar kata Saratri bahwa banyak penelitian di universitas yang dibiayai oleh Dirjen Dikti sekalipun hanya menghasilkan model kuantitatif yang canggih tetapi tidak menjawab persoalan nyata di masyarakat. Sementara itu, para dosen atau pengajar yang sering melakukan kerjasama dengan instansi pemerintah seperti departemen dan pemerintah kabupaten/kota sering “diejek” sebagai peneliti “kelas dua”. Padahal penelitian kerjasama tersebut lebih praktis dan menjawab permasalahan nyata dalam masyarakat dan sering diimplementasikan lewat berbagai kebijakan.

Daya Saing Individu
Pada akhir tulisannya, Saratri memperingatkan bahwa sekarang ini globalisasi sudah memasuki gelombang III. Pada globalisasi gelombang III ini persaingan tidak lagi antar negara tetapi sudah antar individu sehingga dibutuhkan individu yang tangguh, brilyan, dan tahan uji menghadapi persaingan demikian. Dalam tulisannya, Saratri memang tidak mengemukakan kritik terhadap apakah universitas kita mampu menghasilkan individu yang demikian, tetapi secara implisit barangkali ia bermaksud demikian.
Bila saya mengamati kecenderungan dalam penerimaan mahasiswa baru di berbagai universitas – akhir-akhir ini – maka ada semacam kekhawatiran dalam diri saya apakah proses seleksi yang demikian menjamin input yang baik sehingga output yang dihasilkannyapun baik. Kecenderungan itu adalah dibukanya berbagai jalur penerimaan mahasiswa baru yang orientasinya mendapatkan dana sebanyak-banyaknya dari calon mahasiswa baru tersebut. Hal ini dilakukan lebih-lebih setelah disahkannya UU tentang Badan Hukum Milik Negara (BHMN) untuk Perguruan Tinggi Negeri. Sementara itu, jatah bagi penerimaan mahasiswa baru dari jalur persaingan murni lewat tes porsinya makin kecil. Meskipun proses belajar mengajar juga penting untuk menghasilkan output (sarjana) yang baik, tetapi input yang dihasilkan dengan cara demikian kurang mendukung dihasilkannya ouput yang baik yang mampu bersaing pada globalisasi gelombang III ini.

(Nugroho SBM, SE, MSP, Staf Pengajar FE Undip Semarang)