Senin, 13 April 2009

KEMUNDURAN ILMU PENGETAHUAN DAN UNIVERSITAS DI INDONESIA

Oleh: Nugroho SBM

Saya sepenuhnya setuju dengan pendapat Saratri Wilonoyudho dalam tulisannya di rubrik wacana Suara Merdeka berjudul “ Perguruan Tinggi dan Orang Tuli” (Suara Merdeka , 14 Maret 2009). Dalam tulisannya tersebut ia mengemukakan beberapa kritik pedas soal perkembangan ilmu pengetahuan di Indonesia pada umumnya dan universitas pada khususnya. Tulisan ini hanya bermaksud mempertegas tulisan Saratri Wilonoyudho tersebut dengan menambahkan dan mengemukakan beberapa contoh kongkrit.
Pertama, Saratri mengkritik bahwa sekarang ini ilmu pengetahuan di Indonesia makin “egois”, dalam arti tidak mau “bertegur sapa” atau bekerjasama dengan ilmu yang lain. Ilmu makin spesialistik. Padahal persoalan di masyarakat makin kompleks sehingga menuntut pemecahan yang makin komprehensif. Pemecahan komprehensif tersebut hanya bisa dicapai kalau berbagai disiplin ilmu saling bekerjasama. Berbagai contoh persoalan kompleks yang dihadapi masyarakat Indonesia itu misalnya adalah krisis ekonomi yang kemudian menjadi krisis multidimensi yang sampai sekarang belum juga berlalu sepenuhnya. Mestinya butuh kerjasama antar disiplin ilmu. Tidak hanya tugas ilmu ekonomi saja untuk menyelesaikannya tetapi ilmu-ilmu yang lain seperti psikologi, sosiologi, antrophologi, dan lain-lain.
Contoh persoalan kompleks di masyarakat yang menuntut kerjasama antar disiplin ilmu adalah masalah lingkungan hidup seperti banjir yang sekarang ini makin sering dialami masyarakat dan juga wilayahnya makin meluas. Untuk mengatasi masalah banjir tidak hanya tugas ilmu planologi (perencanaan kota) saja, melainkan juga ilmu-ilmu yang lain seperti teknik sipil, teknik arsitektur, sosiologi dan antrophologi (karena terkait dengan perilaku masyarakat), dan bahkan ilmu ekonomi (karena sering daerah konservasi diubah menjadi daerah industri atau perumahan dengan motif ekonomi). Dan masih banyak contoh yang lain.
Namun, dalam perkembangannya – seperti ditulis oleh Saratri – ilmu pengetahuan di Indonesia justru makin “egois” dan spesialistik. Menurut Saratri, jangankan dengan ilmu lain rumpun, misal antara ilmu sosial dengan ilmu pasti. Dalam satu rumpunpun, misalnya sama-sama ilmu sosial, jarang ada dialog atau tegur sapa.
Saya sendiri punya pengalaman di program Magister Manajemen (MM) Undip. Kebetulan saya mengampu mata kuliah “Analisis Lingkungan Bisnis” di program MM Undip. Mata kuliah ini memang berbasis pada mata kuliah ilmu ekonomi makro yang berasal dari jurusan saya yaitu jurusan ilmu ekonomi dan studi Pembangunan (IESP) atau kalau dulu disebut sebagai ilmu ekonomi umum. Sebagaimana diketahui ada 3 jurusan di Fakultas Ekonomi yaitu jurusan manajemen, jurusan akuntansi, dan jurusan IESP. Keberadaan mata kuliah “Analisis Lingkungan Bisnis” sebenarnya bisa dipandang sebagai “dialog” – atau “tegur sapa” menurut istilah Saratri – antara jurusan manajemen dengan jurusan IESP.
Adapun tujuan diberikannya mata kuliah “Analisis Lingkungan Bisnis” adalah memberi bekal kepada mahasiswa MM tentang pentingnya lingkungan bisnis yang sifatnya makro sehingga mereka tidak hanya terkungkung pada masalah-masalah manajemen dalam lingkup perusahaan saja seperti manajemen sumberdaya manusia, manajemen operasi, manajemen keuangan, dan lain-lain. Pengalaman krisis ekonomi 1997 dan juga 2008 membuktikan betapa fenomena ekonomi makro berupa krisis nilai tukar rupiah terhadap dolar AS bisa punya dampak besar terhadap manajemen perusahaan yaitu pada manajemen keuangan (karena utang Luar Negeri perusahaan menjadi makin besar), manajemen pemasaran (karena daya beli masyarakat merosot akibat krisis sehingga perusahaan harus melakukan segmentasi ulang pasarnya), maupun manajemen sumberdaya manusia (karena perusahaan terpaksa harus melakukan efisiensi di bidang kepegawaian). Ada pendapat bahwa jika perusahaan peka terhadap indikator ekonomi makro sebelum krisis 1997 maka perusahaan bisa melakukan “Hedging” (lindung nilai tukar) sehingga beban utang Luar Negeri tidak bertambah berat akibat depresiasi rupiah terhadap dolar AS waktu itu.
Contoh fenomena ekonomi makro lain yang mempengaruhi dunia usaha adalah inflasi. Jika terjadi inflasi maka hal tersebut akan mempengaruhi manajemen operasi (misalnya perusahaan harus memilih metode persediaan yang tepat supaya tidak mengalami kerugian), manajemen sumberdaya manusia (karena perusahaan harus menyesuaikan upah karyawannya), dan aspek manajemen yang lain.
Namun, dalam kurikulum program MM yang baru (mulai tahun 2009), ternyata mata kuliah Analisis Lingkungan Bisnis tersebut dihapus. Mata-mata kuliah dalam program MM makin spesialistik dan teknis melulu soal manajemen dalam perusahaan. Ini merupakan salah satu bukti kecil seperti yang ditulis oleh Saratri bahwa ilmu di Indonesia makin “Egois”.

Menara Gading
Kritik kedua yang dilontarkan Saratri secara implisit adalah universitas dan ilmu pengetahuan sudah tidak bisa lagi memecahkan masalah kongkrit di masyarakat. Ia mengatakan dalam salah satu bagian tulisannya “... Ironisnya permasalahan banjir, kemacetan lalu lintas, sampah, lingkungan yang memburuk, dan seterusnya justru terjadi di kota-kota besar ketika di dalamnya banyak bertebaran para doktor lulusan luar negeri atau profesor yang dianggap ahli dalam bidangnya masing-masing ...”. Saya setuju dan melihat fenomena yang sama.
Sebenarnya peringatan berbagai pihak atas sterilnya perkembangan ilmu terhadap fenomena masyarakat sudah cukup lama. Dulu ada istilah bahwa universitas telah menjadi menara gading, yang meskipun indah dan mahal tetapi tidak ada gunanya bagi masyarakat. Demikian pula halnya saat ini. Benar kata Saratri bahwa banyak penelitian di universitas yang dibiayai oleh Dirjen Dikti sekalipun hanya menghasilkan model kuantitatif yang canggih tetapi tidak menjawab persoalan nyata di masyarakat. Sementara itu, para dosen atau pengajar yang sering melakukan kerjasama dengan instansi pemerintah seperti departemen dan pemerintah kabupaten/kota sering “diejek” sebagai peneliti “kelas dua”. Padahal penelitian kerjasama tersebut lebih praktis dan menjawab permasalahan nyata dalam masyarakat dan sering diimplementasikan lewat berbagai kebijakan.

Daya Saing Individu
Pada akhir tulisannya, Saratri memperingatkan bahwa sekarang ini globalisasi sudah memasuki gelombang III. Pada globalisasi gelombang III ini persaingan tidak lagi antar negara tetapi sudah antar individu sehingga dibutuhkan individu yang tangguh, brilyan, dan tahan uji menghadapi persaingan demikian. Dalam tulisannya, Saratri memang tidak mengemukakan kritik terhadap apakah universitas kita mampu menghasilkan individu yang demikian, tetapi secara implisit barangkali ia bermaksud demikian.
Bila saya mengamati kecenderungan dalam penerimaan mahasiswa baru di berbagai universitas – akhir-akhir ini – maka ada semacam kekhawatiran dalam diri saya apakah proses seleksi yang demikian menjamin input yang baik sehingga output yang dihasilkannyapun baik. Kecenderungan itu adalah dibukanya berbagai jalur penerimaan mahasiswa baru yang orientasinya mendapatkan dana sebanyak-banyaknya dari calon mahasiswa baru tersebut. Hal ini dilakukan lebih-lebih setelah disahkannya UU tentang Badan Hukum Milik Negara (BHMN) untuk Perguruan Tinggi Negeri. Sementara itu, jatah bagi penerimaan mahasiswa baru dari jalur persaingan murni lewat tes porsinya makin kecil. Meskipun proses belajar mengajar juga penting untuk menghasilkan output (sarjana) yang baik, tetapi input yang dihasilkan dengan cara demikian kurang mendukung dihasilkannya ouput yang baik yang mampu bersaing pada globalisasi gelombang III ini.

(Nugroho SBM, SE, MSP, Staf Pengajar FE Undip Semarang)

Tidak ada komentar: