Minggu, 25 Maret 2012

POLITISASI BLSM

Oleh Nugroho SBM

SETELAH menaikkan harga BBM mulai 1 April 2012, pemerintah menggelontorkan dana kompensasi untuk masyarakat miskin: bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM), pengganti program bantuan langsung tunai (BLT). Besarnya bantuan ada yang menyebut Rp 150 ribu/ bulan per keluarga tetapi ada yang mengatakan Rp 170 ribu. Bantuan diberikan kepada 18,5 juta rumah tangga miskin selama sembilan bulan penuh. Pemerintah, sebagaimana dikatakan Menteri ESDM Jero Wacik, sedang mematangkan mekanisme penyalurannya (SM, 20/03/12).

Ada beberapa hal yang perlu dikritisi terkait pemberian BLSM. Pertama; soal jumlah penerima yang 18,5 juta keluarga. Berdasarkan hasil pendataan program perlindungan sosial yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS), tercatat sekitar 40 juta rumah tangga rawan terhadap perubahan harga akibat kenaikan harga BBM. Untuk itu pemerintah perlu meneliti ulang tentang jumlah rumah tangga atau keluarga yang berhak menerima BLSM

Kedua; sifatnya yang hanya sementara, yaitu hanya sembilan bulan dan setelah itu dipertimbangkan kembali. Pengalaman serupa pernah terjadi dengan BLT. Bagaimana setelah 9 bulan, apakah orang miskin tidak perlu lagi mendapat bantuan? Pemerintah harus menjawab hal ini untuk mengurangi kecemasan orang miskin setelah kenaikan harga BBM. Perlu dipikirkan keberlanjutan bantuan itu misalnya bantuan yang lebih produktif dan mendidik, semisal paket pelatihan bantuan keterampilan sekaligus modal, supaya orang miskin tidak bergantung pada bantuan.

Ketiga; risiko penyalahgunaan dana kompensasi tersebut terbuka lebar. Pemberian BLSM bisa jadi disalahgunakan; yang menerima adalah orang-orang mampu, sementara yang seharusnya menerima justru harus gigit jari. Berdasar pengalaman pemberian BLT, berbagai evaluasi baik oleh LSM, lembaga independen, maupun pemerintah ditemukan bahwa penyimpangan pemberian BLT mencapai 42 persen.

Artinya ada 42 persen penerima BLT yang seharusnya tidak berhak. Mereka yang tidak berhak menerima BLT bisa menerima BLT ada berbagai sebab. Misalnya karena kedekatan hubungan dengan aparat pemerintah atau pemuka masyarakat. Adanya sikap ewuh-pekewuh dari pemuka masyarakat yang membagikan.

Dukung Pemerataan

Saya pernah mengamati ada kepala RT karena ewuh-pekewuh tadi membagikan untuk semua warganya. Adanya keharusan bahwa di tiap RT harus ada penerima BLT sehingga orang yang tidak berhak pun ’’dipaksa’’ menerimanya. Maka pemerintah harus lebih teliti dan ketat mengawasi penyaluran BLSM.

Ketiga; dengan pemberian BLSM sebenarnya bisa disimpulkan bahwa penghematan subsidi BBM dialihkan untuk subsidi lain, yaitu BLSM. Akan lebih baik bila penghematan subsidi BBM dialihkan untuk sesuatu yang lebih produktif dan berjangka panjang misalnya pembangunan infrastruktur. Seperti diketahui, total dana BLSM yang akan dibagikan seperti tercantum dalam APBN-P 2012 Rp 24,9 triliun, sedangkan dana pembangunan infrastruktur hanya Rp 16,9 triliun.

Pembangunan infrastruktur tidak hanya mendukung pertumbuhan tetapi juga pemerataan dan keadilan. Pembangunan infrastruktur di pedesaan dan untuk pertanian serta daerah tertinggal tentu punya dampak pemerataan dan keadilan, tidak sekadar pertumbuhan. Untuk itu bisa saja dipikirkan oleh pemerintah bagaimana memberikan BLSM dalam bentuk proyek padat karya untuk pembangunan infrastruktur.

Keempat; masalah pemberian bantuan sosial dalam berbagai bentuk apakah inpres desa tertinggal (IDT), BLT, ataupun BLSM selalu menjadi masalah karena belum diatur dalam undang-undang. Dalam bedah buku Sistem Jaminan Sosial Nasional karya Drs Achmad Subiyantio MBA di kampus FEB Undip baru-baru terungkap bahwa UU Nomor 40 Tahun 2004 yang belum dilaksanakan, belum mengatur tentang bantuan sosial, yang merupakan tanggung jawab sepenuhnya pemerintah dan pesertanya tidak beriur.

Akibatnya berbagai bentuk bantuan sosial yang bersifat sementara (ad hoc) seringkali dimanfaatkan untuk kepentingan politis mereka yang berkuasa. Kesan itu muncul karena entah kebetulan atau tidak, bantuan itu selalu muncul tiap akan ada pemilu atau pilpres. Dalam Pemilu 2009, SBY meraih suara terbanyak antara lain karena berhasil meraih simpati masyarakat lewat program BLT-nya.

Pada 2012 ketika para calon pemimpin mengarahkan perhatiannya ke Pemilu 2014, muncul BLSM. Mau tidak mau orang berpandangan bahwa ini untuk kepentingan politis menjelang Pemilu 2014.

Hal demikian tidak akan terjadi jika dalam UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dimasukkan pasal tentang bantuan sosial sehingga siapa pun rezim yang berkuasa bantuan sosial tetap ada. (10)


— Nugroho SBM SE MSP, dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis serta Magister Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan (MIESP) Undip Semarang

Minggu, 11 Maret 2012

MENGENDALIKAN LAJU INFLASI

Oleh Nugroho SBM

• SETELAH pemerintah menaikkan harga BBM per 1 April 2012, salah satu dampak yang paling dikhawatirkan adalah meningkatnya inflasi. Beberapa lembaga telah menghitung besarnya dampak itu. Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan kenaikan harga BBM Rp 500 per liter menyebabkan tambahan inflasi langsung 0,31 persen dan inflasi tidak langsung 1-2 kali inflasi langsung. Bila dinaikkan Rp 1.500 mengakibatkan inflasi langsung bertambah 0,93 persen dan inflasi tidak langsung 0,93-2,79 persen.

Kajian Universitas Indonesia menyebutkan kenaikan harga Rp 1.500 per liter menyebabkan tambahan inflasi 2,15 persen. Bank Indonesia memperdiksikan tambahan inflasi 0,33 persen jika harga BBM dinaikkan Rp 500 per liter, dan jika dinaikkan Rp 1.500 per liter maka inflasi tambahannya 0,99 persen. Sementara itu, Reforminer Institute menyatakan kenaikan harga Rp 1.500 per liter menyebabkan inflasi tambahan 1,58 persen.

Inflasi tinggi sebagai salah satu penyakit ekonomi memang selalu dihindari oleh semua pemerintahan, termasuk Indonesia, mengingat beberapa dampak negatifnya. Pertama; akan mengurangi daya beli masyarakat. Yang terparah penurunan daya belinya adalah mereka yang berpendapatan rendah dan tetap.

Kedua; bisa makin memperlebar kesenjangan sosial ekonomi masyarakat. Logikanya ada golongan masyarakat yang nilai kekayaannya justru meningkat dengan terjadinya inflasi, yaitu mereka yang memiliki tanah dan bangunan, dan di sisi lain ada golongan yang bertambah miskin karena yang dipegang berwujud uang tunai atau tabungan. Ketiga; inflasi bisa menggoyahkan pemerintahan.

Berapa inflasi yang dikategorikan tinggi dan harus dikendalikan? Inflasi dikatakan tinggi bila mencapai 10 persen ke atas per tahun, yang dalam istilah kebijakan moneter Indonesia diistilahkan inflasi double digit. Beberapa ekonom mengibaratkan inflasi seperti tekanan darah. Ada yang cenderung tekanan darahnya tinggi tapi ia biasa-biasa saja, tetapi ada yang tekanan darahnya naik sedikit saja sudah kesakitan. Tiap negara punya batas toleransi inflasi yang dikatakan tinggi itu.

Kendali Kebijakan

Melihat risiko tambahan inflasi akibat kenaikan harga BBM memang perlu beberapa kebijakan untuk mengendalikannya. Pertama, pemerintah hendaknya mengendalikan secara ketat harga komoditas yang diatur (administered commodity). Ada 4 kelompok komoditas yang selama ini bobot pengaruhnya besar terhadap perhitungan indeks harga konsumen sebagai dasar perhitungan inflasi.

Pertama; kelompok perumahan, air, listrik, gas, dan bahan bakar (bobot 24,28 persen); kedua, bahan makanan (23,45 persen); ketiga, makanan jadi, minuman, rokok, dan tembakau (17,53 persen); dan keempat, transportasi, komunikasi, dan jasa keuangan dengan bobot 16,18 persen.

Pada kelompok pertama dan keempat, banyak komoditas dan jasa yang harganya diatur pemerintah, misalnya tarif listrik, angkutan umum, telepon, air minum (PDAM), taksi, dan tarif jalan tol. Untuk berbagai tarif itu hendaknya pemerintah lebih berhati-hati bila ingin menaikkannya, bahkan kalau bisa dihindari.

Kedua, pemerintah seyogianya menggelar operasi pasar (OP) untuk komoditas beras dan minyak goreng, bahkan bila perlu diperbanyak jenisnya yang bisa diintervensi lewat operasi pasar.

Kesulitannya memang menentukan target yang tepat supaya komoditas itu jatuh ke tangan mereka yang berhak, dan bukannya penimbun atau spekulan. Kesulitan lain adalah Bulog kini berstatus perusahaan yang harus cari untung, dan tak punya cukup dana karena tidak ada lagi subsidi pemerintah.

Ketiga, pemerintah menindak spekulan yang menimbun barang untuk kemudian menaikkan harganya. Keempat, pemerintah bisa mengaudit untuk memeriksa pengusaha yang menaikkan harga barangnya melebihi seharusnya. Yang terjadi selama ini jika harga BBM naik 33,33 persen maka pengusaha menaikkan harga 33,33 persen.

Padahal, cara yang betul adalah menghitung dulu berapa persen komponen biaya BBM terhadap total biaya. Katakanlah 10 persen maka kenaikan harga barang dengan adanya kenaikan harga BBM 33,33 persen adalah 10 persen x 33,33 persen atau hanya 3,33 persen. (10)


— Nugroho SBM SE MSP, dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis serta Kelas Beasiswa Unggulan Dikti Program Magister Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan (MIESP) Undip