Rabu, 15 Juli 2015

BELAJAR DARI KRISIS YUNANI

Oleh Nugroho SBM



Krisis Melanda Yunani. Negara tersebut terancam bangkrut dan akan dikeluarkan dari  Zona Euro. Sebabnya tak lain adalah Yunani gagal membayar utang kepada IMF senilai 1,6 miliar euro yang jatuh tempo 30 Juni 2015 lalu.  Utang tersebut merupakan bagian dari dana talangan lembaga donor untuk menyelematkan Yunani dari Krisis tahun 2008 yang disepakati tahun 2010 lalu.Untungnya IMF menyetujui perpanjangan pembayaran utang tersebut.
Namun, Yunani belumlah aman dari jebakan utang luar negeri karena akan ada utang luar negeri yang juga akan jatuh tempo. Utang luar negeri Yunani yang akan jatuh tempo pda Juli 2015 mencapai 5,95 miliar euro dan pada bulan Agustus 2015 mencapai 4,38 miliar euro. Akibatnya lembaga-lembaga internasional telah menurunkan peringkat Yunani dalam pembayaran utang. Standard & Poor’s menurunkan peringkat Yunani dari CCC ke CCC-. Sementara Fitch menurunkan peringkat bank-bank Yunani menjadi Restricted Default (Bangkrut Terbatas).
            Sebenarnya lembaga-lembaga donor yang mengutangi Yunani – terdiri dari IMF, Bank Sentral Eropa dan Komisi Eropa atau dikenal dengan Troika – telah menyiapkan dana talangan baru senilai 7,6 miliar Euro sebagai kelnjutana dari skema pinjaman untuk menyelamatkan Yunani  dari Krisis tahun 2008 yang disepakati tahun 2010.  Tetapi PM Yunani yang sekarang Alexis Tsipras keberatan dengan syarat Troika agar ia melakukan disiplin dan pengetatan anggaran. Lalu ia ingin meminta dukungan rakyat berupa referendum tentang apakah rakyat akan setuju dengan syarat Troika atau tidak. Referendum tersebut akan dilakukan pada 5 Juli 2015.
            Dampak dari krisis di Yunani tersebut tentu sangat menyakitkan bagi masyarakat dan investor. Pemerintah telah membatasi pengambilan uang tunai lewat ATM hanya 60 euro per hari. Pemerintah juga telah menerapkan aturan pembatasan modal yang bisa ke luar dari Yunani

Pelajaran
            Pelajaran apakah yang bisa dipetik dari krisis Yunani bagi Indonesia?  Pertama, negara yang tergantung pada utang luar negeri yang terus menerus bukanlah sesuatu yang baik. Yunani telah sejak lama tergantung pada utang luar negeri. Jumlah utang luar negeri yang disepakati oleh lembaga donor sejak tahun 2010 mencapai 240 miliar euro. Jumlah tersebut tentu merupakan beban bagi pemerintah Yunani dan rakyatnya. Bagaimana dengan Indonesia? Akhir Januari 2015 jumlah utang luar negeri Indonesia sebesar 298,6 miliar dolar AS atau dengan nilai tukar Rp 13.000 an per dolar AS dalam nilai rupiah besarnya adalah Rp 3.904,195 triliun. Ini senilai dengan seluruh kredit yang disalurkan industri perbankan Indonesia. Jumlah ini meningkat 10,1 persen dibanding akumulasi sampai Januari 2014 lalu. Jadi ini ibarat minum air laut. Makin banyak minum maka akan makin haus untuk terus minum lagi. Jika Jokowi-JK konsisten dengan Nawa Citanya maka sudah saatnya utang luar negeri Indonesia dibatasi jika tidak ingin seperti Yunani.
            Kedua, pemanfaatan utang luar negeri haruslah dilakukan dengan benar dan displin kebijakan ekonomi haruslah tetap ditegakkan. Pada jaman pemerintahan sebelum PM Tsipras yaitu di era PM Lucas Papademos, Panagiotis Pikrammenos, dan Antonio Samaras kebijakan ekonomi dan anggaran Yunani cukup baik. Program penghematan pengeluaran pemerintah dijalankan dengan baik dan kebijakan ekonomi yang sehat dijalankan. Namun era tersebut harus berakhir ketika Tspras memenangi pemilu di Januari 2015 dengan tawaran program yang populis. Ia menghamburkan uang negara dengan program yang menyenangkan rakyatnya tetapi sifatnya tak produktif. Ketika Troika ememperingatkannya, Tsipras malah mengatakan bahwa Troika hendak mempermalukan, menekan, dan memeras Yunani. Tapi kini Tsipras harus membayar mahal. Atas dasar tersebut maka pemerintah Indonesia harus menjaga agar pengelolaan utang luar negerinya baik.  Salah satunya adalah dengan mewajibkan utang luar negeri yang mayoritas adalah utang jangka pendek dan utang swasta harus dilindungi dengan fasilitas lindung nilai tukar (hedging).
            Ketiga, krisis di Yunani juga disebabkan oleh adanya perilaku korup para pejabatnya serta penggelapan pajak besar-besaran yang dilakukan secara konspiratif antara petugas pajak dan pengusaha. Penerimaan pajak yang bisa digunakan untuk pembiayaan pemerintahan  menjadi sangat berkurang. Hal ini menyebabkan kepercayaan investor terhadap ekonomi Yunani juga kian terpuruk.
Indonesia saat ini juga menghadapi krisis kepercyaan dari para pelaku usaha dan pemegang uang. Hal itu tercermin dari nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang tak kunjung membaik. Bahkan saat ini nilai tukar rupiah terhadap dolar AS encapai di atas Rp 13.000 per dolar AS. Padahal banyak analis mengatakan bahwa mestinya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang wajar saat ini adalah Rp 12.500 per dolar AS. Hal tersebut dikaitkan dengan fundamen ekonomi Indonesia- yang tercermin dari misalnya cadangan devisa yang cukup besar dan terus menurunnya nilai impor - yang saat ini baik-baik saja. Berarti penyebabnya adalah krisis kepercayaan dari para pemilik uang dan pelaku usaha. Maka sudah saatnya pemerintah bekerja keras untuk terus merealisasikan beberapa program ekonomi yang akan memperbaiki iklim dunia usaha. Dikebutnya pembangunan jalan tol dan perbaikan jalan di berbagai wilayah merupakan langkah yang baik dan tepat dan perlu diikuti dengan kebijakan nyata yang lain dari pemerintah.

(Nugroho SBM, Staf Pengajar FEB Undip Semarang)