Selasa, 24 Maret 2009

Komentar di media massa

Rabu, 11 Maret 2009 | 14:18 WIB

Ekonom: Perbankan Sulit Turunkan Bunga Kredit

Ekonom Universitas Diponegoro Semarang, Nugroho SBM mengatakan, perbankan nasional sulit menurunkan bunga kredit pada tahun 2009 karena risiko usaha sepanjang tahun ini diperkirakan masih tinggi.

"Selama risiko usaha masih tinggi, maka penurunan BI (Bank Indonesia) `rate` dan inflasi yang rendah sulit bisa menekan penurunan bunga pinjaman," katanya ketika dihubungi di Semarang, Rabu.

Menurut dia, dalam mematok bunga pinjaman, perbankan setidaknya dipengaruhi tiga komponen utama, yakni inflasi, suku bunga tabungan termasuk Sertifikat Bank Indonesia (BI rate), dan risiko usaha.

Bunga tabungan/deposito, katanya, saat ini memang relatif rendah, hanya 3-5 persen dan SBI juga dipatok 7,75 persen, namun karena dunia usaha masih terkena imbas krisis global maka perbankan memilih jalan aman, yakni mengerem pengucuran kredit untuk mengurangi risiko kredit macet.

Bahkan untuk industri berorientasi ekspor, seperti garmen, tekstil, dan mebel, menurut dia, perbankan sementara waktu menghentikan kucuran kredit karena permintaan komoditas tersebut di pasar global anjlok bersamaan dengan melemahnya daya beli konsumen global.

Nugroho menambahkan, perbankan sulit menurunkan bunga kredit juga disebabkan ketidakmampuannya meningkatkan efisiensi sehingga selisih antara bunga tabungan dengan pinjaman sangat lebar, bisa lebih dari 10 persen.

Saat ini bunga tabungan/deposito hanya 3-5 persen, sementara bunga pinjaman antara 14-18 persen/tahun.

"Selisih bunga yang lebar ini menunjukkan perbankan gagal menerapkan efisiensi. Perbankan masih terus dibebani biaya `overhead` tinggi, seperti sewa dan bangun gedung atau rasio pegawai dengan beban kerja yang belum rasional," katanya.

Nugroho mengatakan, usaha mikro dan kecil tetap memiliki peluang hidup dan berkembang di saat krisis seperti sekarang ini karena produk yang dihasilkan lebih banyak pada pemenuhan kebutuhan sehari-hari dengan harga terjangkau.

Usaha mikro dan kecil juga lebih lentur dalam menghadapi krisis, misalnya dengan mengubah ukuran lebih kecil atau menciptakan varian baru untuk mendekatkan dengan daya beli konsumen.

Ia menambahkan, belanja pemerintah dan puluhan ribu politikus untuk keperluan Pemilu 2009 akan menjadi pendorong penting untuk menggerakkan perekonomia nasional, sebab belanja barang dan jasa ini terdistribusi ke daerah-daerah.

"Uang yang mengalir ke daerah akan berputar di daerah itu sehingga ada `multiplier effect` (efek berantai, red.) bagi masyarakat setempat," demikian Nugroho SBM.

(Ns/NS/ant)

Tidak ada komentar: