Ekonomi 2008: Harap-harap Cemas
* Oleh Nugroho SBM
MENEBAK perekonomian Indonesia di tahun 2008, menerbitkan semacam harap-harap cemas di hati. Betapa tidak? Di satu sisi bisa dipastikan bahwa harga minyak dunia bisa dipastikan akan terus naik sampai menembus 100 dolar AS per barel (ingat pada akhir November 2007 sudah mencapai 99 dolar AS per barel).
Di sisi yang lain, dalam cetak biru (blueprint) Pengelolaan Energi Nasional tahun 2005-2025, disebutkan bahwa setelah tahun 2007 pemerintah tidak akan memberikan subsidi lagi pada semua jenis bahan bakar minyak apakah itu minyak tanah, solar, ataupun premium.
Apa arti dua hal itu? Artinya adalah harga semua jenis energi di tahun 2008 mungkin akan dinaikkan oleh pemerintah. Alasannya jelas pertama karena ada landasan cetak birunya dan kedua ada legitimasi yang secara tidak sengaja datang dari kenaikan harga minyak dunia.
Memang pemerintah belum menegaskan apakah cetak biru Pengelolaan Energi Nasional 2005-2025 akan dilaksanakan atau tidak. Karena sampai saat ini Peraturan Presiden No 9/ 2006 tentang Perubahan atas Perpres No 55/2005 tentang Harga Jual Eceran Bahan Bakar dalam Negeri masih berlaku. Dalam Perpres itu harga jual eceran bahan bakar masih disubsidi.
Tetapi siapa bisa memegang arah kebijakan pemerintah yang biasanya penuh kejutan? Langkah-langkah kebijakan pemerintah akhir-akhir inipun bisa dibaca sebagai arah pencabutan subsidi itu. Ada program konversi minyak tanah ke elpiji yang amburadul. Ada kenaikan harga solar untuk industri. Ada juga desas-desus tentang kenaikan harga premium. Di tengah masyarakat pun suara-suara cemas akan kenaikan harga bahan bakar ini sudah mulai tersebar dan menimbulkan apatisme tentang sikap mereka dalam memilih di Pemilu 2009.
Dampak Kenaikan Bahan Bakar
Jika seandainya memang harga bahan bakar memang dinaikkan di tahun 2008, maka dampaknya bagi ekonomi sangatlah buruk. Kita masih ingat bagaimana kenaikan harga BBM di bulan Oktober 2006 masih dirasakan dampaknya sampai sekarang khususnya bagi masyarakat miskin.
Simulasi yang dilakukan oleh Indef (Insitute Development of Economics and Finance) atas dasar data Statistik Industri 2000-2004 terbitan BPS terhadap dampak kenaikan harga BBM terhadap sektor industri menunjukkan hal berikut (Kompas, 22 Desember 2007). Dengan asumsi kenaikan rata-rata harga BBM 30 persen per tahun maka dampaknya: pertama, harga barang jadi atau ouput akan naik rata-rata 4,6 persen. Kedua, jumlah atau unit barang jadi atau output yang diproduksi rata-rata akan berkurang 2 persen.
Dua dampak tersebut tentu membawa ikutan. Kenaikan harga barang akan membawa dampak ikutan berupa penurunan daya beli masyarakat yang pada akhirnya akan menambah jumlah penduduk miskin.
Sementara itu dampak kedua yaitu pengurangan produksi oleh perusahaan akan membawa dampak ikutan berupa naiknya pengangguran sebab pengurangan dalam produksi akan diikuti dengan pengurangan tenaga kerja. Padahal saat ini saja pengangguran mencapai 16 sampai 17 persen dari penduduk usia kerja. Bandingkan tingkat pengangguran normal yang di teks-teks buku ekonomi makro biasanya hanya sekitar 5 sampai 10 persen.
Dilihat dari dampak yang berat dari kenaikan harga bahan bakar maka hendaknya pemerintah mempertimbangkan benar jika akan menaikkan harga seluruh bahan bakar di tahun 2008 seperti yang tercantum dalam cetak biru Pengelolaan Energi Nasianal 2005 2025.
Masih banyak alternatif kebijakan yang bisa ditempuh. Pertama, mengejar wajib pajak nakal khususnya para pengusaha besar (konglomerat) yang selama ini lari dari kewajiban membayar pajak dalam jumlah yang benar. Penerimaan dari pajak ini bisa digunakan untuk mensubsidi bahan bakar yang bagaimanapun sampai saat ini masih strategis dalam perekonomian Indonesia. Ingat, subsidi bukanlah suatu "kejahatan" dalam kebijakan ekonomi. Di mana pun termasuk di negara-negara maju, pemberian subsidi masih tetap dilakukan.
Kedua, di samping penerimaan pajak yang digenjot lewat pengejaran wajib pajak yang nakal, pemerintah dapat menggali penerimaan alternatif dengan memakai kreativitas. Misalnya saja dengan menaikkan biaya naik banding. Selama ini penjahat kelas kakap yaitu para koruptor kelas kakap dengan mudah melakukan naik banding dalam proses pengadilan karena biayanya sangat murah.
Dengan biaya naik banding yang tinggi akan ada dua keuntungan sekaligus. Pertama, biaya naik banding yang tinggi itu merupakan penerimaan pemerintah yang besar. Kedua, para penjahat kelas kakap akan jera dan tidak mudah melakukan naik banding.
Ketiga, perlunya semua rekening non-budgeter dimasukkan ke dalam APBN secara resmi. Selama ini banyak sekali penerimaan di rekening "liar" di luar APBN. Jika semua penerimaan "liar" itu dimasukkan dalam APBN maka akan menambah kemampuan pemerintah untuk melakukan subsidi. Semoga saja pemerintah dengan kebijakan alternatif ini tidak menaikkan harga BBM, sehingga terjawablah harap-harap cemas masyarakat.
Persiapan Pemilu 2009
Harap-harap cemas yang lain adalah ekonomi di tahun 2008, akan dipengaruhi oleh suhu politik yang memanas karena antarpara pelaku politik sudah memulai ancang-ancang untuk bisa merebut posisi pada pemilihan umum di tahun 2009. Masalah ini sebagian sudah disinggung dalam tulisan Didik J Rachbini "Ekonomi Politik 2008" (Suara Merdeka, 22 Desember 2007).
Tetapi tulisan Didik J Rachbini tersebut hanya menyinggung aspek politik menjelang Pemilu 2009 yang akan mempengaruhi ekonomi Indonesia 2008 hanya dari sisi gesekan antarelite politik. Menurut Didik pandangan optimistis menyatakan bahwa kondisi akan aman-aman saja karena kita sudah punya pengalaman reformasi dan gejolak pilkada di berbagai daerah, yang ternyata membuat para pelaku bisnis sudah mulai biasa dengan gejolak politik.
Sedangkan pandangan pesimistis menyatakan bahwa akumulasi kekecewaan publik pada kinerja pemerintah yang lamban dalam kebijakan ekonomi akan benar-benar membuat suhu politik memanas, dan akan mempengaruhi lingkungan dunia usaha di tahun 2008.
Satu haI yang tidak disinggung dalam tulisan Didik tersebut adalah bahwa para pelaku politik khususnya yang sekarang sedang berkuasa akan tetap berusaha berkuasa kembali dengan memenangkan pemilu tahun 2009. Berbagai teori ekonomi politik dengan mudah menjelaskan hal itu.
Pertama,teori Pilihan Rasional James Buchanan yang menyatakan bahwa seseorang terjun ke dunia politik karena ia seorang rasional yang memperjuangkan kepentingan pribadinya. Kepentingan pribadi tersebut tidak selalu bertentangan dengan kepentingan umum.
Misalnya jika seorang anggota DPRD menyetir mobil melewati jalan yang rusak kemudian ia mengusulkan kepada walikota supaya jalan itu diperbaiki maka perbaikan jalan itu juga menguntungkan masyarakat umum.
Kedua, teori Rasionalitas Terbatas Herbert Simon. Teori ini menyatakan, kepentingan pribadi seorang politikus dalam perjuangan politiknya akan dibatasi oleh penilaian masyarakat akan kinerjanya. Kinerja yang dimaksud adalah apakah ia cukup memperjuangkan kepentingan masyarakat yang diwakilinya atau tidak.
Namun, yang penting kedua teori tersebut menjelaskan bahwa kepentingan pribadi para politikus yang sekarang berkuasa untuk memenangkan kembali Pemilu 2009 akan membuat arah kebijakan makro ekonomi 2008 menjadi tidak on the track. Yang dimaksud tidak on the track adalah kebijakan ekonomi akan memihak kepada rakyat (populis) dalam rangka menarik simpati masyarakat. Tetapi kebijakan itu sifatnya instan dan keluar dari jalur perencanaan ekonomi jangka panjang. Akibatnya stabilitas ekonomi makro yang mulai terjaga bisa terganggu. Kebijakan struktural jangka panjang seperti penanggulangan kemiskinan dan pengangguran juga bisa terganggu. Kalau hal itu terjadi maka kepastian bagi dunia usaha dan pemulihan ekonomi Indonesia yang mendasar iuga akan terganggu. Ini yang perlu diawasi dan diwaspadai di tahun 2008.(11)
-- Nugroho SBM, staf pengajar FE Undip Semarang
(pernah dimuat Harian Suara Merdeka 28 Desember 2007)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar