Oleh: Nugroho SBM
Salah satu judul pidato Bung Karno yang terkenal adalah “Jangan Sampai Melupakan Sejarah” disingkat “Jas Merah”. Isi pidato sangat jelas bahwa bangsa yang besar selalu belajar dari sejarah untuk menghindari kesalahan-kesalahan yang pernah dibuat dan meniru keberhasilan bangsa itu sendiri maupun bangsa lain di masa yang lalu. Belajar dari sejarah tersebut perlu dilakukan oleh suatu bangsa dalam berbagai segi yaitu ideologi, politik, ekonomi, osial budaya, maupun pertahanan dan keamanan.
Begitu pentingnya belajar dari sejarah, sampai-sampai ada pepatah yang mengatakan bila suatu bangsa tidak belajar dari sejarah maka bangsa itu akan dihukum untuk mengulanginya.
Khusus untuk bidang ekonomi sangat tepat apa yang ditulis oleh dua orang ekonom yaitu Nouriel Roubini dan Stephen Mihm dalam “Crisis Economics” (2010). Dalam tulisannya tersebut kedua ekonom mengatakan bahwa memahami konteks sejarah yang dinamis seringkali jauh lebih penting daripada modelisasi ekonomi yang rumit dan penuh rumus matematika. Dalam hal kritik terhadap penggunaan matematik secara berlebihan dalam ilmu ekonomi sehingga melupakan dimensi sosial seperti sejarah , tampaknya Roubini dan Mihm mengulangi kritik Paul Ormerod dalam bukunya yang terkenal “ The Death of Economics “ (Matinya Ilmu Ekonomi) yang terbit tahun 1993.
Sejarah di sini bisa dimaknai bukan hanya sebuah peristiwa jauh di masa lampau, melainkan cukup peristiwa yang telah terjadi walau itu terjadi di masa kini. Di bidang ekonomi “sejarah” yang menarik untuk dikaji saat ini dikaitkan dengan perekonomian Indonesia adalah terjadinya Krisis Yunani.
Sebab Krisis
Krisis di Yunani dimulai dengan membesarnya defisit APBN negara tersebut yang ditutup dengan utang yang kian membesar pula. Sebenarnya sebagai anggota Uni Eropa, Yunani tidak perlu terjerumus pada krisis dan penyebabnya seperti itu. Dalam “Undang-undang Dasar” anggota Uni Eropa yaitu “Maastricht Treaty” disebutkan bahwa negara-negara anggota Uni Eropa harus memiliki defisit APBN maksimum 3 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) nya dan nisbah utang pemerintah terhadap PDB tidak boleh lebih dari 60 persen.
Namun, Yunani melanggar peraturan itu. Nisbah defisit APBN terhadap PDB Yunani ternyata telah melampaui batas yang ditetapkan. Informasi tentang nisbah defisit APBN terhadap PDB Yunani memang berubah-ubah dari semula dikatakan 8,5 persen dari PDB, kemudian berubah lagi menjadi 12,5 persen dari PDB, dan keterangan terakhir menyebutkan 14 persen dari PDB, namun kesemua angka itu melebihi batas ketentuan Uni Eropa yaitu 3 persen dari PDB..
Kalangan analis menilai berubah-ubahnya angka defisit APBN Yunani yang dikeluarkan pemerintah menunjukkan sistem informasi keuangan negara yang tidak sempurna. Hal tersebut diduga merupakan salah satu sebab yang memperparah krisis keuangan yang kemudian menjadi krisis ekonomi di Yunani.
Guna menutup defisit yang membesar itu, Yunani melakukan utang baik lewat utang langsung maupun lewat penjualan Surat Utang Negara (SUN). Akibatnya nisbah utang Yunani terhadap PDB nya sekarang sudah mencapai 115 persen, jauh lebih tinggi dari batas maksimum ketentuan Uni Eropa yaitu 60 persen.
Besarnya nisbah utang terhadap PDB itu ditambah lagi dengan kenyataan bahwa sebagian besar SUN milik Yunani justru diserap oleh para pemilik uang di pasar luar negeri. Bank-bank Eropa misalnya dikabarkan memiliki SUN Yunani 429 milyar dolar AS. Krisis diperparah dengan ketidakpercayaan para pemegang SUN khususnya di luar negeri bahwa pemerintah Yunani tidak bisa melunasi SUN yang mereka pegang yang banyak jatuh tempo pada Mei 2010 ini. Mereka lalu beramai-ramai menarik uangnya.
Sebenarnya jika SUN Yunani diserap oleh pasar dalam negeri, dampak berantainya diperkirakan tidak akan sebesar jika diserap oleh pasar luar negeri. Jepang, contohnya, nisbah utang terhadap PDB nya mencapai 200 persen. Tetapi untungnya sebagian besar SUN Jepang diserap oleh pasar dalam negeri antara lain oleh Bank Tabungan Pos (BTP) yang memobilisasi para penabung kecil di dalam negeri.
Melihat bahwa efek krisis Yunani ini akan merembet kemana-mana, negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa memutuskan menggelontorkan dana sebesar 14,5 miliar Euro. Jumlah itu masih akan ditambah dengan komitmen dari IMF.dan tambahan gelontoran dana dari Uni Eropa lagi. Sama dengan kasus talangan dana untuk Century, keputusan pemberian talangan untuk Yunani juga diiringi dengan debat dan protes sengit dari masyarakat di negara-negara Uni Eropa. Masyarakat warga Negara anggota Uni Eropa keberatan jika uang pembayaran pajak mereka digunakan untuk menalangi negara sekecil Yunani.
Utang Indonesia
Bagaimana dengan utang Indonesia? Seperti negara-negara lain, Utang Indonesia terdiri dari utang dalam bentuk Obligasi Ritel Indonesia (ORI) dan Surat Utang Negara (SUN) serta utang luar negeri langsung. Mereka yang optimis dan mencoba menutupi kondisi yang sebenarnya menyatakan bahwa rasio utang luar negeri Indonesia terhadap PDB terus menurun dari 100 persen lebih saat krisis ekonomi 1997/1998 menjadi kini hanya sekitar 28 persen.
Tetapi angka-angka relatif seperti itu menyembunyikan kondisi absolut yang sebenarnya. Atau menurut Alan Beatie akan menimbulkan gambaran ekonomi yang salah (False Economy – seperti judul bukunya) yang terbit tahun 2009.
Faktanya secara nominal (absolut), jumlah utang luar negeri Indonesia terus bertambah. Jika pada tahun 2004 jumlah utang luar negeri Indonesia sebesar Rp 1.200 an trilyun, maka di tahun 2010 ini sudah mencapai Rp 1.500 an trilyun. Bila dipakai angka relatif yang lain maka keadaannya juga cukup mengkhawatirkan. Misalnya bandingkan jumlah utang Rp 1.500 an trilyun itu dengan pendapatan negara dalam APBN yang hanya sekitar Rp 900 an trilyun.
Belum lagi fakta-fakta lain misalnya kenyataan bahwa pinjaman baru yang kita dapatkan, separuhnya hanya untuk menutup cicilan dan bunga utang lama. Misalnya saja dalam APBN 2010 dianggarkan kita memperoleh Rp 249,818 trilyun utang baru. Tetapi dari jumlah itu Rp 124, 677 trilyun digunakan untuk membayar cicilan dan bunga utang lama.
Di samping soal jumlah, masalah utang luar negeri Indonesia menyangkut pula masalah penyerapan dan penggunaannya. Selama ini penyerapan utang luar negeri Indonesia seringkali rendah. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar yang salah perencanaan penggunaannya ataukah yang lebih ekstrim apakah sebenarnya kita memang benar-benar perlu menambah utang baru? Di samping masalah penyerapan, masalah penggunaan utang luar negeri Indonesia juga menjadi pertanyaan besar. Yang benar, penggunaan utang luar negeri tersebut untuk kesejahteraan masyarakat. Tetapi kenyataannya Posisi Indeks Pembangunan Manusia – sebuah Indeks yang memuat tiga indikator yaitu tingkat pendapatan, pendidikan, dan kesehatan masyarakat – tidak pernah beranjak jauh di posisi yang rendah. Pada tahun 2009 lalu posisi Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia turun ke posisi 111 dibandingkan tahun 2007 yang berada di posisi 107 dari 182 negara yang disurvai UNDP.
Kemandirian Ekonomi
Apa kunci untuk lepas dari jeratan utang luar negeri sehingga Indonesia tak mengalami krisis seperti di Yunani? Hanya satu jalan yaitu bagaimana Indonesia bisa mandiri secara ekonomi dan kalau dibutuhkan utang luar negeri maka harus diawasi benar penggunaannya. Maka ada beberapa kebijakan yang mesti diambil.
Pertama, pengoptimalan sumber penerimaan pajak. Selama ini nisbah penerimaan pajak Indonesia dibandingkan dengan PDB baru mencapai 14 sampai 15 persen. Jadi masih bisa ditingkatkan lagi. khususnya dengan mengejar tanpa ampun wajib-wajib pajak besar yang nakal. Kedua, dengan mengkritisi penggunaan utang luar negeri. Kita bersyukur bahwa reformasi yang menggulingkan Orde baru telah menghasilkan kebebasan bicara (mengkritik). Meskipun kelihatannya “riuh rendah” tetapi demokrasi yang mulai tumbuh itu dapat dimanfaatkan untuk mengkritisi berbagai kebijakan pemerintah khususnya dalam hal penggunaan utang luar negeri.
Ketiga, kalau toh diperlukan faktor eksternal dari luar negeri maka yang diperlukan adalah kebijakan-kebijakan untuk mendorong ekspor dan masuknya investasi asing sebagai substitusi terhadap utang luar negeri. Untuk mendorong ekspor, misalnya, cabut saja kebijakan untuk mengenakan pajak ekspor tinggi untuk ekspor kakao. Sedangkan untuk mendorong investasi asing masuk, banyak sekali pekerjaan rumah yang harus diselesaikan misalnya pembenahan infrastruktur, pemangkasan ekonomi biya tinggi, dan lain-lain.
Memang pilihan kebijakan yang tepat sangat menetukan apakah Indonesia di masa depan menjadi Kota Atlantis (sebuah kota indah di masa lalu yang hilang dan dikabarkan ketemu jejaknya di Indonesia) ataukah menjadi Kapal Titanic (sebuah kapal besar yang tenggelam karena kesombongan dan kelengahan para awak kapal dan penumpangnya)
(Nugroho SBM, Staf Pengajar FE dan Peneliti pada Pusat Kajian Dampak Kebijakan atau Regulatory Impact Assestment (RIA) Center Undip Semarang)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar