Kamis, 16 Juni 2011

PENGELOLAAN UTANG UNTUK PROYEK

Oleh Nugroho SBM

ADAN Anggaran DPRD Kota Semarang akhirnya menyetujui usulan utang pemkot Rp 77,1 miliar pada tahun anggaran 2011 (SM, 21/05/11) Utang itu kepada Bank Pembangunan Daerah (BPD) Jateng karena bunganya paling rendah di antara semua bank yang sudah dijajaki, yaitu 11% dengan jangka pelunasan dua tahun. Pelunasan pertama dilakukan 2012 sebesar Rp 61,5 miliar dan kedua tahun 2013 sebesar Rp 26,5 miliar.

Pinjaman itu akan digunakan membiayai 32 proyek dari berbagai dinas dan lembaga pemerintah. Belum ada penjelasan detail, khususnya berbagai ketentuan yang menyangkut pinjaman daerah. Padahal ada beberapa UU dan peraturan yang mengatur tentang pinjaman daerah, dan yang secara khusus mengatur adalah PP Nomor 54 Tahun 2005 tentang Pinjaman Daerah.

Misalnya, pertama; prinsip mengenai pinjaman daerah. Beberapa prinsip itu yakni merupakan alternatif pembiayaan daerah dalam melaksanakan desentralisasi, digunakan membiayai kegiatan yang merupakan wewenang daerah, daerah tidak dapat meminjam langsung kepada luar negeri, jumlahnya tidak melebihi batas defisit APBD, dan batas kumulatif pinjaman daerah sesuai perundang-undangan.

Kedua; syarat-syarat pinjaman daerah. Beberapa syarat tersebut adalah jumlah sisa pinjaman daerah ditambah pinjaman baru yang akan ditarik tidak melebihi 75% penerimaan APBD tahun sebelumnya, rasio kemampuan daerah untuk mengembalikan pinjaman daerah atau debt service coverage ratio (DSCR) yaitu rasio penerimaan daerah bersih (PAD + dana bagi hasil + DAU - belanja wajib untuk pegawai) dibagi pembayaran cicilan dan bunga serta biaya lain-lain) minimal harus 2,5, tidak mempunyai tunggakan pinjaman, serta untuk pinjaman jangka menengah dan panjang harus sepersetujuan DPRD.

Ketiga; sumber pinjaman daerah. Ada beberapa sumber yang diperbolehkan yaitu dari pemerintah pusat, pemerintah daerah lain, lembaga keuangan bank, lembaga keuangan nonbank, dan masyarakat. Keempat; jenis pinjaman berdasarkan jangka waktu. Berdasarkan jangka waktunya pinjaman dapat dibedakan dalam tiga jenis jangka pendek (kurang dari 1 tahun), jangka menengah (lebih dari 1 tahun tetapi tidak melebihi masa jabatan kepala daerah), dan jangka panjang (lebih dari 1 tahun sampai melebihi masa jabatan kepala daerah pada masa itu).

Rasio Penerimaan

Kelima; penggunaan pinjaman. Pinjaman jangka pendek hanya boleh digunakan untuk menutup kekurangan arus kas. Pinjaman jangka menengah digunakan membiayai pelayanan umum tetapi yang tidak menghasilkan penerimaan. Pinjaman jangka panjang digunakan membiayai proyek investasi yang menghasilkan penerimaan. Keenam; mengenai larangan-larangannya. Daerah dilarang melakukan penjaminan terhadap pinjaman pihak lain dan dilarang menjadikan pendapatan daerah atau barang milik daerah sebagai jaminan.

Atas dasar beberapa ketentuan tentang pinjaman daerah, kita bisa mengkritik pinjaman daerah yang dilakukan oleh pemkot. Pertama; mengenai kemampuan Pemkot Semarang mengembalikan pinjaman. Hal itu tercermin dari rasio penerimaan dalam APBD dibagi cicilan dan bunga pinjaman daerah atau yang disebut sebagai DSCR.
Berdasarkan ketentuan DSCR ini minimal harus 2,5 artinya penerimaan bersih Pemkot (= PAD + bagi hasil pajak + DAU - belanja wajib untuk pegawai) pada tahun anggaran tersebut minimal 2,5 kali dari cicilan dan bunga pinjaman daerah serta biaya lain-lain (biaya komitmen dan administrasi pinjaman).

Perlu dicermati apakah ketentuan ini sudah dipenuhi? Jangan sampai seperti kasus pinjaman luar negeri PDAM yang ternyata tidak hanya memberatkan PDAM di beberapa daerah tetapi juga pemda, bahkan akhirnya membebani pemerintah pusat karena pemda ternyata keberatan membayarnya.

Hal kedua yang perlu dicermati adalah penggunaannya. Jika melihat jangka waktunya maka sesuai dengan PP Nomor 54 Tahun 2005, penggunaannya untuk pelayanan umum yang tidak menghasilkan penerimaan. Wakil rakyat perlu mencermati apakah 32 proyek yang akan didanai dengan pinjaman tersebut merupakan proyek yang menghasilkan penerimaan daerah atau tidak.

Hal ketiga yang perlu dicermati adalah kemungkinan adanya kebocoran dalam pelaksanaan proyek-proyek yang didanai dari pinjaman daerah tersebut. Pasalnya pembayaran pinjaman itu merupakan beban rakyat karena berasal antara lain dari pajak dan retribusi sehingga sangat menyakitkan kalau beban rakyat itu dikorupsi oleh oknum tak bertanggung jawab. (10)

— Nugroho SBM SE MSP, dosen Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro

Tidak ada komentar: