Senin, 19 September 2011

KEPENTINGAN EKONOMI DAN PELANGGARAN TATA RUANG

Oleh Nugroho SBM

Sewaktu penulis pertama kali masuk kuliah di program pasca sarjana perencanaan wilayah dan kota (planologi) di Insitut Teknologi Bandung (ITB), Dr. Ir Tommy Firman salah seorang pengajar menyatakan bahwa program harus menerima lebih banyak mahasiswa dari disiplin ilmu ekonomi. Alasannya supaya para perencana kota mengenal lebih dalam ilmu ekonomi. Dia menjelaskan bahwa para perencana kota yang kebanyakan dari disiplin ilmu arsitektur gagal membuat rencana kota yang ditaati dalam pelaksanaannya. Kebanyakan rencana kota yang dibuat oleh para arsitek, masih menurut Tommy Firman, kalah oleh kepentingan dan dinamika ekonomi. Banyak penggunaan lahan untuk perkantoran atau ruang terbuka hijau yang akhirnya berubah menjadi kawasan bisnis.
Pernyataan Dr. Ir Tommy Firman (sekarang sudah guru besar) yang penulis kutip di depan sangat relevan dengan keresahan dan pernyataan Imam Mardjuki (Ketua Fraksi PKS DPRD Kota Semarang) menanggapi disahkannya Perda Nomor 19 tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Semarang 2011-2030 Menurut Mardjuki setelah disahkannya RTRW Kota Semarang 2011-2030 tersebut hendaknya jangan ada lagi ijin-ijin pembangunan yang berseberangan dengan RTRW tersebut (SM, 3/6 /11).
Masih menurut Mardjuki lagi, selama ini RTRW kerap dilanggar. Ia mencontohkan 2 (dua) pelanggaran terhadap RTRW yang lama (Perda Nomor 5 Tahun 2004 Tentang RTRW Kota Semarang 2000 – 2010). Pertama, kawasan jalan Pemuda dalam RTRW ditetapkan sebagai kawasan untuk pemerintahan. Terbukti sekarang sudah menjadi kawasan perbelanjaan dan juga banyak hotel berbintang berdiri di sana. Kedua, di kawasan jalan Pemuda juga diperbolehkan untuk perguruan tinggi dengan konsentrasi pada disiplin ilmu teknologi informasi, kini sudah tumbuh perguruan tinggi dengan bebagai disiplin ilmu atau tidak lagi hanya yang berkonsentrasi pada teknologi informasi.
Sebenarnya, pelanggaran tata ruang wilayah kota Semarang terjadi juga jauh sebelum RTRW Kota Semarang 2000-2010 seperti yang disebut oleh Mardjuki.Sebagian besar masyarakat kota Semarang tahu dalam RTRW Kota Semarang sebelum RTRW 2000-2010, kawasan Simpang Lima misalnya diperuntukkan untuk perkantoran, olahraga dan keagamaan. Tetapi sekarang kawasan tersebut sudah berubah menjadi kawasan bisnis.

Penyebab dan Solusinya
Melihat kecenderungan pelanggaran tata ruang di Kota Semarang, lalu timbul pertanyaan apa penyebabnya? Pertama, penulis setuju dengan pernyataan Dr. Ir Tommy Firman bahwa kebanyakan rencana tata ruang kota tidak disusun dengan mengakomodasikan kegiatan ekonomi masyarakat yang memang sangat dinamis. Kasus perubahan drastis kawasan Simpang Lima dari kawasan perkantoran, olahraga dan keagamaan menjadi kawasan bisnis karena kurangnya pemahaman bahwa lokasi di pusat kota sangat diinginkan oleh kegiatan ekonomi atau bisnis Hal tersebut terjadi karena penyusunan rencana kota kurang melibatkan para ahli ekonomi secara intens.
Selama ini peran ahli ekonomi dalam perencanaan kota hanya sebagai tempelan belaka. Akibatnya aspek analisis ekonomi kurang mendapat tempat yang menonjol. Urusan perencanaan kota dianggap urusan teknis para sarjana teknik (insinyur). Tetapi memang keterlibatan para ahli ekonomi dalam penyusunan rencana kota seringkali juga terkendala masalah data. Sebagaimana diketahui, di Indonesia makin sempit wilayah maka makin tidak ada data. Sebagai contoh data dasar seperti pendapatan masyarakat; pada tingkat nasional ada data pendapatan nasional; pada tingkat daerah ada data Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) pada tingkat provinsi dan kabupaten atau kota. Tetapi pada tingkat kecamatan data semacam itu tidak ada. Untuk mengatasinya para ahli ekonomi dan konsultan yang menyewanya harus berani melakukan survei lapangan langsung. Memang biayanya mahal, tetapi ada pepatah mengatakan ”Data untuk perencanaan memang mahal tetapi lebih mahal perencanaan tanpa data (mengingat dampak negatib yang akan terjadi)”.
Sebab kedua mengapa rencana kota –termasuk rencana kota Semarang – tidak ditaati dalam pelaksanannya adalah justru rencana kota itu terlalu kaku serta berjangka panjang di satu sisi dan di sisi lain kegiatan ekonomi dan bisnis sangat dinamis di sisi yang lain. Secara praktek di negara-negara di dunia, dikenal ada 2 (dua) macam rencana kota. Pertama, dikenal dengan nama Master Plan yang diterapkan di Amerika Serikat. Bentuk Master Plan ini biasanya berupa zonasi (pembagian ruang) yang kaku. Wilayah atau ruang yang sudah diplot untuk perumahan tidak boleh diubah menjadi perkantoran. Banyak ahli mengatakan bahwa Master Plan ini hanya cocok untuk kawasan yang baru (kota-kota baru). Kelemahan dari Master Plan adalah karena sifatnya yang kaku maka dalam jangka panjang tidak bisa mengakomodasikan dinamika aktivitas ekonomi dan bisnis masyarakat serta kurang realistik karena banyak aktivitas yang bisa dilakukan bersamaan tanpa saling menganggu. Meskipun begitu, Amerika Serikat dan beberapa negara masih memakai bentuk Master Plan ini untuk rencana kotanya.
Karena kelemahan rencana kota berbentuk Master Plan inilah kemudian lahir bentuk alternatifnya yang dikenal dengan Structural Plan. Bentuk ini banyak dipakai di negara-negara Eropa. Dalam bentuk ini, rencana kota hanya memuat garis-garis besar kegiatan utama yang diperbolehkan di beberapa wilayah dalam rencana kota. Kegiatan lain diperbolehkan berlokasi di situ asalkan tidak bertentangan. Contohnya: suatu kawasan yang ditentukan untuk kawasan perumahan masih diperbolehkan adanya perkantoran dan kegiatan jasa tetapi tertutup untuk kegiatan industri. Maka seberapa jauh RTRW Kota Semarang tahun 2011-2030 ditaati bisa dievaluasi dari seberapa luwes RTRW tersebut.

Sangsi
Sebab ketiga dari tidak ditaatinya RTRW Kota termasuk Kota Semarang adalah tiadanya sangsi hukum bagi yang melanggarnya. Tetapi itu dulu. Sekarang dengan Undang-undang yang baru yaitu Undang-undang Nomer 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang akan ada sangsi bagi siapapun (termasuk pemerintah) yang melanggar penggunaan lahan dan bangunan yang sudah ditetapkan di RTRW Kota. Ada 3 bentuk sangsi yaitu sangsi adiministrasi (termuat di Pasal 62 sampai 64), sangsi perdata (Pasal 66, 67, dan 75) dan sangsi pidana (Pasal 69 sampai 74).
Sangsi administratif meliputi peringatan tertulis, denda administratif sampai penutupan kegiatan dan pembongkaran bangunan. Sedangkan sangsi perdata antara lain memberi ganti rugi setelah diputuskan oleh pengadilan Dan sangsi pidana berupa hukuman kurungan minimal 1 tahun dan maksimal 5 tahun penjara serta denda minimal Rp 100 juta dan maksimal Rp 1 miliar. Sangsi tersebut sekali lagi bisa dikenakan kepada masyarakat maupun pejabat pemerintah sebagai personal dan pemerintah sebagai lembaga. Maka kalau ingin RTRW Kota Semarang tahun 2011-2030 yang sudah diperdakan menjadi Perda Nomor 19 tahun 2011 ditaati, penerapan sangsi yang sudah diatur secara jelas dalam UU Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang harus diterapkan secara tegas tanpa pandang bulu.

(Nugroho SBM, SE, MSP, Staf Pengajar FE Undip Semarang dan Alumnus Program S2 Planologi ITB)

2 komentar:

Anonim mengatakan...

Tata ruang sangat berguna bagi masyarakat yang menyadari dan memahami budaya dan peradaban , yaitu terutama ketaatan individu dan masyarakat terhadap hukum dan kelesatrian lingkungan . Semua itu tergandung terhadap pendidikan ,masalah kehidupan dengan segala aspek nya termasuk lingkungan yang harus ditanam kan sejak dini baik disekolah maupun di rumah

Nugroho SBM mengatakan...

terima kaih atas komentarnya. Memang segala hal tergantung dari pendidikan.Tetapi sekarang pendidik jarang yang berdedikasi tinggi, mereka hanya mengejar sertifikasi untuk kenaikan pendapatannnya.