Oleh Nugroho SBM
Presiden telah menyampaikan RAPBN 2012 di depan Sidang Paripurna DPR. Masyarakat umum, dunia usaha, pengamat, dan lain-lain tampaknya makin pesimistis dan acuh tak acuh menanggapi RAPBN tersebut. Menurut saya hal itu disebabkan oleh dua masalah yang membelit yaitu dari sisi pengeluaran dan penerimaan.
Dari sisi pengeluaran meskipun dikatakan belanja modal naik 27 persen menjadi Rp 126 triliun, tetapi banyak pihak pesimis apakah belanja modal sebesar itu bisa sebagai sarana untuk mencapai berbagai tujuan pembangunan ekonomi seperti pertumbuhan ekonomi, pemerataan pendapatan, pengurangan kemiskinan, penciptaan lapangan kerja dan lain-lain.
Dalam pengakuan Nazarudin di pelarian terungkap bahwa proyek-proyek pembangunan pemerintah, misalnya dalam kasus pembangunan Wisma Atlet, dalam pelaksanaan tendernya si pelaksana proyek harus mengeluarkan dana sekitar 20 persen dari nilai proyek. Ditambah biaya lain-lain dalam pelaksanaannya, maka uang yang harus dikeluarkan pelaksana proyek bisa mencapai 30 persen. Maka jika belanja modal di RAPBN 2012 sebesar Rp 162 triliun, yang akan dikeluarkan secara riil hanya 70 persennya yaitu sebesar Rp 117 triliun. Sisanya sebesar 30 persen akan menjadi “bancakan” para koruptor baik eksekutif , legislatif, maupun para calo anggaran.
Sebenarnya isu kebocoran anggaran ini bukan hal baru. Pada zaman Orde Baru, kita masih ingat pernyataan “Begawan Ekonomi” Indonesia Profesor Sumitro Djojohadikusumo (almarhum) yang menyatakan bahwa anggaran negara di sisi pengeluaran telah bocor kurang lebih 30 persen.
Gayus Tambunan
Dari sisi penerimaan khususnya dari pajak, juga ada masalah. Masalah yang dimaksud adalah penerimaan negara dari pajak telah dikorup oleh aparat pajak dengan melakukan kolusi bersama para pembayar pajak perusahaan-perusahaan besar. Kita masih ingat kasus Gayus Tambunan yang telah mengorup penerimaan pajak yang seharusnya disetor kepada negara. Itulah sebabnya rasio pajak terhadap PDB (Produk Domestik Bruto) di tahun 2011 hanya 12,2 persen dan diharapkan naik menjadi hanya 12,6 persen di tahun 2012 mendatang.
Jadi bisa disimpulkan, baik di sisi pengeluaran maupun di sisi penerimaan (khususnya dari pajak) APBN dari tahun ke tahun selalu dikorupsi. Mengapa hal ini dengan mudah terjadi? Salah satu cara menganalisisnya adalah dengan menganalisis manfaat “biaya melakukan korupsi di Indonesia.”
Manfaat ini masih ditambah dengan manfaat nonfinansial antara lain sikap masyarakat yang mulai permisif karena mulai pesimis dengan penindakan kasus korupsi dan ”dukungan” dari pejabat publik. Sikap permisif masyarakat membuat para koruptor tidak lagi merasa malu menghadapi wartawan dan sorotan kamera. Bahkan di televisi, para tertuduh dan terpidana kasus korupsi masih bisa tersenyum lebar. Untuk dukungan dari pejabat publik ada dua contoh. Pertama, usulan merevisi Undang-Undang Nomor 31 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di mana diusulkan hukuman maksimal bagi koruptor diturunkan, dan koruptor yang melakukan korupsi sampai Rp 25juta dibebaskan dari hukuman asalkan mengembalikan uang hasil korupsinya. Untungnya revisi tersebut ditunda sampai saat ini. Contoh kedua adalah pernyataan kontroversial Ketua DPR Marzuki Alie, beberapa waktu lalu tentang pembubaran KPK dan perlunya mengampuni para koruptor asalkan mengembalikan uang hasil korupsinya.
Hukuman Koruptor
Dengan demikian yang perlu dilihat pada kasus korupsi di Indonesia adalah biayanya. Pertama, ternyata hukuman untuk para koruptor masih terlalu ringan. Studi yang dilakukan oleh Rimawan Pradipto (2010) dari UGM menunjukkan bahwa uang hasil korupsi selama tahun 2001-2009 sebesar Rp 73,07 triliun. Tetapi total hukuman denda finansial yang dijatuhkan dan kembali ke kas negara hanya Rp 5,32 triliun atau 7,29 persen dari total dana yang dikorupsi. Belum lagi bila tingkat inflasi diperhitungkan ke dalamnya maka secara riil uang yang dikorupsi dan kembali kepada negara tentu lebih kecil lagi. Maka supaya para koruptor jera, hukuman denda finansial ini pun mestinya juga diperberat, tidak malah diperingan seperti yang dulu pernah diusulkan dalam revisi UU Nomor 31 tahun 2001 yang untungnya ditunda.
Kedua, dalam penerapan hukuman terhadap kasus korupsi tampaknya pertimbangan subjektif hakim masih ada sehingga para terdakwa menerima hukuman yang berbeda-beda. Kasus Artalyta Suryani misalnya mendapatkan vonis maksimal lima tahun penjara dan denda Rp 250 juta sesuai Pasal 5 ayat (1) huruf a UU Nomor 31 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Tetapi dari pihak penyelenggara negara yang menerima suap yaitu Irawady Joenoes seorang Komisioner Komisi Yudisial (KY) menerima hukuman delapan tahun penjara dan denda Rp 400 juta. Tetapi pasal yang dikenakan terhadap Irawady adalah Pasal 12 bukan Pasal 5 seperti yang dikenakan terhadap Artalyta. Hal ini tentu menyinggung rasa keadilan di masyarakat. Untuk itu hakim dan juga UU nya perlu melihat dengan objektif sehingga rasa keadilan dan efek jera terhadap koruptor bisa mencapai sasarannya.
Ketiga, dalam kasus korupsi dalam bentuk penyuapan kepada aparat hukum mestinya denda dan hukumannya lebih berat meskipun secara hukum positif yang tercantum dalam Undang-Undang hukumannya sudah tercantum secara pasti. Sesuai Konvensi Palermo tahun 2000 (Palermo Convention, 2000) tindak pidana korupsi dan suap-menyuap terhadap aparat penegak hukum khususnya aparat peradilan termasuk ke dalam kejahatan luar biasa (extraordinary crime) karena sifatnya yang kriminogin (dapat menjadi sumber kejahatan lain) dan viktimogin (secara potensial dapat merugikan berbagai dimensi kepentingan). Para aparat penegak hukum mestinya mengetahui hal ini.
Hanya dengan penegakan hukum yang serius terhadap para koruptor APBN baik dari sisi penerimaan (khususnya pajak) maupun sisi pengeluaran maka RAPBN 2012 yang setelah dibahas dengan DPR menjadi APBN 2012 bisa menjadi alat efektif untuk menyejahterakan masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar