Senin, 19 September 2011

MEMAHAMI KONFLIK DI INDONESIA

Oleh Nugroho SBM

Indonesia kembali dilanda konflik. Ada 2 (dua) konflik yang masih hangat diberitakan oleh media massa yaitu di Kabupaten Kendal dan Ambon. Khusus untuk konflik di Ambon, ini adalah konflik yang kedua setelah konflik besar-besaran tahun 1989 an. Bila dilihat dari sejarah maka yang sering terjadi di Indonesia adalah konflik yang pemicunya adalah SARA atau Suku, Agama, Ras, dan Aliran.
Ada 2 (dua) teori sosial yang bisa menjelaskan terjadinya konflik di Indonesia. Teori pertama, disebut sebagai teori kultural. Menurut teori ini, konflik terjadi karena tiap suku, agama, ras, dan aliran mempunyai sistem kepercayaan atau dogma yang memang berbeda. Dogma tersebut seringkali diterima tanpa reserve dari para penganutnya. Bila antar suku, agama, ras, dan aliran tersebut bergesekan dalam suatu kasus maka akan menimbulkan konflik.
Teori kedua untuk menerangkan konflik adalah teori struktural. Menurut teori ini, SARA sebagai pemicu konflik hanya permukaannya saja. Ada faktor yang lebih mendasar dari SARA. Beberapa faktor mendasar itu adalah: pertama, adanya kesenjangan ekonomi antar anggota masyarakat yang dikelompokkan berdasarkan SARA. Kesenjangan ekonomi seringkali menciptakan kecemburuan sosial yang mudah berubah menjadi kekerasan atau konflik secara fisik.
Faktor kedua adalah adanya mobilisasi sosial yang terlalu cepat dari kelompok atau elemen masyarakat tertentu dibanding kelompok atau elemen masyarakat yang lain. Misalnya saja adanya kelompok pendatang dari etnis tertentu di suatu daerah yang ternyata bisa mencapai kemajuan ekonomi lebih cepat dibanding etnis asli yang sudah lama tinggal di daerah tersebut.
Faktor ketiga adalah adanya konspirasi tingkat tinggi antar penguasa militer maupun politik. Konspirasi tersebut menggunakan cara ”mengacak-acak” daerah-daerah tertentu yang rawan konflik baik untuk tujuan menaikkan daya tawar politik maupun untuk karir militer (oknum militer sengaja menciptakan konflik kemudian meredamnya sendiri yang membuahkan kenaikan pangkat atau karir militernya). Contoh lain konspirasi ini adalah fenomena pemekaran daerah baru atas dasar etnis. Pemekaran daerah baru atas dasar pengelompokan etnis ini secara potensial bisa menimbulkan konflik karena adanya etnis minoritas di daerah pemekaran baru tersebut. Di smping itu pemekaran daerah baru juga akan menjadi beban bagi APBN karena tambahan DAU dan dana Bagi Hasil bagi daerah pemekaran baru. Bila dilihat secara mendalam maka pemekaran itu ternyata salah satunya adalah hasil konspirasi mantan pejabat yang ingin menjabat lagi di daerah pemekaran baru.
Faktor keempat adalah adanya relasi fungsional antar pemerintah pusat dengan daerah (Kabupaten dan kota) yang tidak harmonis. Meskipun otonomi daerah sudah dilaksanakan yang mendorong daerah (Kabupaten dan Kota) bisa merumuskan sendiri kebijakan pembangunannya dan juga subsidi bagi daerah yang makin besar dengan Dana Alokasi Umum dan Dana Bagi Hasil, tetapi hubungan antara pemerintah pusat-daerah masih tidak harmonis. Banyak pemerintah daerah (Kabupaten dan Kota) yang sering memaksakan kehendak dengan melahirkan perda-perda yang tidak sesuai dengan peraturan atau undang-undang yang dijaga oleh pemerintah pusat. Perda-perda tersebut dikeluarkan dengan alasan kekhasan daerah atas nama otonomi daerah. Lahirnya perda-perda yang ”melenceng” tersebut tentu menimbulkan rasa tidak aman bagi unsur masyarakat yang berseberangan dengan perda. Hal ini bisa menimbulkan gesekan atau konflik.
Mestinya pemerintah pusat lebih proaktif untuk menjalin kerjasama yang lebih harmonis dengan pemerintah kabupaten dan kota sehingga tidak lahir perda-perda yang kontra dengan peraturan atau undang-undang secara nasional yang dijaga oleh pemerintah pusat. Selama ini yang dilakukan oleh pemerintah pusat adalah tindakan kuratif berupa pembatalan perda-perda yang bermasalah. Meskipun tindakan tersebut benar, tetapi alangkah lebih baiknya tindakan preventif yang lebih diutamakan yaitu menjalin hubungan yang lebih harmonis dengan pemerintah kabupaten dan kota seperti telah diuraikan.

Kebijakan
Baik teori kultural maupun teori sturuktural tampaknya bisa menjelaskan konflik yang masih sering terjadi di Indonesia. Maka bisa ditarik beberapa implikasi kebijakan atas dasar kedua teori untuk meredam konflik yang terjadi. Pertama, membangun nasionalisme Indonesia. Parakitri Tahi Simbolon pernah menyatakan bahwa Bangsa Indonesia adalah ”sebuah proyek yang belum selesai”. Artinya untuk mengintegrasikan unsur-unsur SARA di Indonesia menjadi bangsa yang tanpa memandang SARA belumlah selesai sampai sekarang. Banyak cara bisa dilakukan untuk hal ini. Dulu Bung Karno memakai musuh bersama dengan semboyan ”Ganyang Malaysia”. Sekarang ini cara yang bisa dilakukan adalah tidak membesar-nesarkan perbedaan atas dasar SARA baik dalam implementasi kebijakan maupun dalam pernyataan para pejabat.
Kedua, kebijakan pembangunan di bidang ekonomi hendknya tidak menimbulkan ketimpangan ekonomi antar SARA. Misalnya saja pemerintah harus lebih mendorong etnis atau pengusaha pribumi untuk lebih maju dengan berbagai fasilitas. Kebijakan seperti ini pernah dilakukan di Malaysia.
Ketiga, tindakan pemerintah untuk membatasi pemekaran daerah baru termasuk yang dibentuk atas dasar kesamaan etnis sudah benar dan perlu dilanjutkan.
Keempat, tindakan pemerintah pusat untuk membatalkan perda-perda bermasalah yang potensial memicu konflik juga sudah benar. Hanya perlu dibarengi dengan tindakan preventif berupa sosialisasi dari pemerintah pusat dan juga upaya-upaya lain untuk menjalin hubungan yang lebih harmonis antar pemerintah pusat dengan daerah sehingga tidak lahir perda-perda bermasalah yang memicu konflik.

(Nugroho SBM, Staf Pengajar di Fakultas Ekonomika dan Bisnis serta Program Magister Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan atau MIESP Undip Semarang)

Tidak ada komentar: