Senin, 22 Agustus 2011

JAMINAN SOSIAL;BELAJAR DARI KASUS INGGERIS DAN AS

Oleh: Nugroho SBM

Sampai saat ini, debat di DPR tentang Undang-undang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (UU BPJS) masih belum juga usai sehingga pengesahan UU tersebut masih belum jelas kapan. Di samping itu, banyak pihak yang menuntut supaya UU induknya yaitu Undang-undang tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) direvisi terlebih dahulu karena dianggap mengandung unsur komersialisasi dan kapitalistik. Diharapkan- tentu- hal-hal tersebut bisa segera beres sehingga kewajiban negara untuk menyelenggarakan jaminan sosial bagi masyarakat segera dapat direalisasikan.
Pada aspek yang lain, dalam hal pemberian jaminan sosial, Indonesia bisa belajar dari dua kasus besar yang saat ini menimpa dua negara besar yaitu Inggeris dan AS.
Pertama, terkait dengan Inggeris. Seperti diketahui, sampai saat ini pemerintah dan aparat keamanan di sana belum sepenuhnya berhasil menghentikan kerusuhan besar yang dipicu oleh ditembak matinya seorang pria di daerah rusuh Nottingham oleh aaparat keamanan. Tertembak matinya pria tersebut hanyalah pemicu. Penyebab sebenarnya adalah kemiskinan dan pengangguran akibat keputusan Perdana Menteri Inggeris David Cameron yang di tahun 2010 memotong anggaran untuk tunjangan kaum miskin, tunjangan pendidikan, dan tunjangan sosial guna memangkas defisit anggaran. Maka kaum miskin yang terlantar yang tak diurus oleh negara merupakan api dalam sekam yang akhirnya benar-benar meletus pada peristiwa kerusuhan di Nottingham. Dari kasus di Inggeris ini, kita bisa belajar bahwa bagaimanapun dan di manapun tanggungjawab sosial negara kepada masyarakat antara lain dalam bentuk pemberian jaminan sosial adalah masalah penting. Bila negara atau pemerintah lalai dalam hal ini maka kerusuhan sosial sewaktu-waktu bisa meletus. Oleh karena itu, sekali lagi masalah UU BPJS dan UUSJSN harus segera dituntaskan supaya kewajiban negara memberikan jaminan sosial bagi masyarakat tidak tertunda-tunda.



Terkait Krisis AS
Kedua, terkait dengan krisis di AS. Sebagaimana diketahui, AS saat ini tengah dilanda krisis utang. Sebagaimana diketahui sampai Mei 2011 utang pemerintah AS mencapai 14,3 triliun dolar AS. Sementara itu pendapatan nasionalnya 14,7 triliun dolar AS. Sehingga dengan demikian rasio utang terhadap pendapatan nasional AS saat ini telah mencapai 96 persen. Padahal konsensus di antara para ekonom, batas aman rasio utang suatu negara terhadap pendapatan nasionalnya hanya 60 persen. Memang konggres dan presiden Obama telah sepakat untuk menambah utang baru sebanyak 2,1` triliun dolar AS, tetapi langkah ini hanyalah menunda kebangkrutan ekonomi AS.
Utang AS yang besar tersebut adalah untuk menutup defisit anggaran AS. Mengapa defisit anggaran AS membengkak? Secara kebijakan ekonomi, memang Barack Obama yang berasal dari Partai Demokrat selalu “pro rakyat” dengan penegluaran yang besar untuk berbagai tunjangan sosial bagi masyarakat. Ini berlawanan dengan ciri kas Partai Republik yang selalu “pro pasar” atau “pro pengusaha” dengan kebijakan misalnya pemotongan pajak atau tidak menaikkan pajak. Bila dilihat APBN AS semasa pemerintahan Obama maka pengeluaran pemerintah yang terbesar adalah untuk: pembayaran bunga obligasi pemerintah, pertahanan dan keamanan, tunjangan kesehatan, dan tunjangan sosial. Dari struktur pengeluaran itu bisa dilihat bahwa pengeluaran untuk tunjangan sosial dan kesehatan merupakan pos pengeluaran yang besar.
Lalu mengapa pengeluaran yang besar untuk tunjangan sosial dan kesehatan tersebut diiukti pula dengan utang yang besar? Biasanya memang ciri khas Partai Demokrat untuk menutup pengeluaran “pro rakyat” yang besar akan diambilkan dari penerimaan pajak.
Tetapi tampaknya pemerintahan Barrack Obama menghadapi situasi lain yang tak banyak diketahui oleh masyarakat umum. Barrack Obama – tak seperti presiden lain dari Partai Demokrat- harus menghadapi suatu fraksi dari partai republik yang sangat ekstrim yang menolak setiap langkah pemerintah untuk menaikkan pajak. Mereka hanya berjumlah 85 orang dari 240 anggota konggres dari Partai Republik. Seluruh anggota Konggres adalah 435 orang. Mereka menyebut diri sebagai Partai Teh (Tea Party) untuk mengingatkan masyarakat akan peristiwa heroik pejuang AS yang menumpahkan teh di Pelabuhan Boston untuk memprotes Kebijakan Pajak pemerintah Inggeris. Meskipun kecil, anggota Partai Teh ini dengan suaranya yang keras dan taktik politik yang jitu telah berhasil mempengaruhi masyarakat dan juga bahkan sebagian anggota Partai Demokrat untuk menolak setiap rancangan kebijakan pemerintah Obama yang akan menaikkan penerimaan pajak untuk menutup defisit anggarannya. Akibatnya terpaksa pemerintah Obama terus menambah utangnya untuk menutup defisit anggaran AS.
Dari kasus krisis utang di AS Indonesia bisa belajar bahwa bagaimanapun penerimaan dari pajak sangatlah penting untuk membiayai berbagai pengeluaran pemerintah termasuk untuk jaminan sosial. Ini penting ditekankan sebab dalam RUU BPJS - seperti telah saya tulis di Suara Merdeka 22 Juli 2011- pemerintah malah hendak menggeser beban pembiayaan jaminan sosial dari pemerintah kepada masyarakat dan pihak ketiga. Mungkin pemerintah takut bahwa pengeluaran untuk jaminan sosial ini akan memeperberat beban pengeluaran di APBN yang diikuti dengan beban perlunya mencari tambahan penerimaan.
Tetapi kekhawatiran itu tampaknya tak beralasan. Pemerintah sebenarnya masih bisa menggenjot penerimaan dari pajak. Menkeu Agus Martowardoyo menyatakan bahwa dari sekitar 22,6 juta perusahaan di Indonesia yang taat membayar pajak hanya 500 ribu perusahaan saja. Sedangkan secara perorangan dari 238 juta orang penduduk Indonesia yang membayar pajak hanya 7 juta orang saja (Suara Merdeka, 11 Agustus 2011). Artinya sebenarnya peluang untuk meningkatkan penerimaan dari pajak masih terbuka lebar. Syaratnya tentu saja perlunya kejujuran aparat pajak dan wajib pajak serta wajib pajak hendaknya bisa diyakinkan betul bahwa pajak yang mereka bayarkan memang digunakan untuk kepentingan umum.

(Nugroho SBM, Staf Pengajar FE dan Program Magister Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan atau MIESP Undip Semarang)

Tidak ada komentar: