• Oleh Nugroho SBM
SAMPAI saat ini masih terjadi perdebatan sengit antara pemerintah dan DPR, bahkan antarpejabat pemerintah, seputar RUU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (RUU BP¬JS).
Perdebatan itu me¬nyangkut bentuk dan peranan dari lembaga yang akan melaksanakan program-program jaminan sosial bagi masyarakat.
Berlarut-larutnya pembahasan RUU itu antara pemerintah dan DPR ditambah belum diberlakukannya UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN) mendorong Komite Aksi Jaminan Sosial (KAJS) melayangkan gugatan Presiden, Wakil Presiden, Ketua DPR, dan 8 menteri yang terkait di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Kemudian PN Jakarta Pusat memutuskan pihak tergugat bersalah karena dianggap lalai tidak menjalankan UU SJSN. Pengadilan ‘’menghukum’’ pihak tergugat untuk segera melaksanakan UU itu dan yang lebih penting segera mengesahkan RUU BPJS menjadi UU. Banyak pihak menyatakan bahwa berlarut-larutnya perdebatan tentang RUU itu tak lepas dari induknya, yaitu UU SJSN yang sudah ‘’cacat’’.
Jadi masalahnya lebih fundamental dari sekadar gugatan KAJS yang menyatakan bahwa pemerintah lalai karena tidak segera melaksanakan UU SJSN.
Bila perdebatan tentang RUU itu ingin segera beres, UU SJSN harus diubah atau ditinjau ulang terlebih dahulu. Se¬ba¬gaimana diketahui UU itu lahir sebagai pemenuhan tuntutan kewajiban negara yang tertuang dalam Pembukaan, Pasal 27 Ayat 2, Pasal 28 h Ayat 3, dan Pasal 34 Ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945.
Ada beberapa cacat dalam UU Nomor 40 Tahun 2004. Pertama; UU SJSN telah mengubah hak rakyat untuk menerima jaminan sosial, dari negara justru menjadi kewajiban.
Pasal 17 UU tersebut menggunakan kata wajib (wajib menjadi peserta, wajib membayar iuran, pemberi kerja wajib memungut iuran dari pekerja, dan lain-lain). Jumlah iuran pun ditentukan oleh pihak lain. Jadi ada unsur kewajiban di sini.
Kedua; UU SJSN menggeser kewajiban negara seperti yang tercantum dalam UUD 1945 kepada pihak ketiga. Pihak ketiga yang bentuknya badan usaha akan membayar jaminan sosial dari hasil iuran rakyat atau anggota yang diwajibkan. Ini mirip dengan usaha asuransi. Jadi kewajiban negara untuk memberikan jaminan sosial bagi masyarakat telah digeser ke pihak ketiga (badan usaha) dalam bentuk usaha asuransi.
Ketiga; UU SJSN memberi peluang bagi kehadiran badan usaha atau perusahaan asing untuk mengelola jaminan sosial, yang berarti pemerintah juga melepaskan tanggung jawab sosial pada masyarakatnya kepada agen-agen neo¬liberalisme.
Uji Materi
Keempat; dengan UU SJSN juga kepentingan rakyat yang seharusnya dinomorsatukan malah dinomorduakan dan dikalahkan oleh kepentingan bisnis. Tentu saja bisnis jaminan sosial ini akan menjanjikan keuntungan yang besar.
Kalau benar sistemnya dengan iuran dan seperti bisnis asuransi serta diwajibkan bagi pekerja dan golongan masyarakat tertentu maka dana yang akan dikelola tentu akan sangat besar.
Kalau toh tidak mendapatkan keuntungan secara langsung dari penyelenggaraan jaminan sosial, ke¬untungan bisa diperoleh dengan cara memutar dana hasil setoran wajib peserta ke bisnis yang lain seperti bisnis saham, valuta asing, disimpan di perbankan dan bisnis-bisnis yang lain.
Betapa menggiurkannya dana yang akan dikelola oleh badan usaha yang nantinya mengelola jaminan sosial nasional, juga terlihat dari kekhawatiran serikat pekerja dan manajemen dari 4 BUMN: PT Jamsostek, PT Askes, PT Taspen, dan PT Asabri yang akan dilebur ke BPJS. Kekhawatiran itu menyangkut dana sekitar Rp 100 triliun dari iuran 90 juta pekerja untuk jaminan hari tua (JHT).
Sangat tepat bila sebelum membahas RUU BPJS, terlebih dahulu memperdebatkan materi UU SJSN yang mempunyai beberapa cacat.
Sangat tepat pula tindakan para aktivis yang menentang UU SJSN dengan mengajukan uji materi (judicial review) ke Mahkamah Konsitusi (MK). Mahkamah mestinya dengan jernih dan bijaksana menimbang apakah roh dari UU SJSN sesuai atau tidak dengan UUD 1945.
Hakim konstitusi seyogianya me¬nyadari betapa roh kapitalisme dan neo¬liberalisme sekarang sudah merasuk ke sistem ekonomi Indonesia lewat jalur yang konstitusional yaitu lewat undang-undang. Bisa saja beberapa UU telah dibeli para agen neoliberalisme.
Hal ini yang tidak di¬sadari oleh para ekonom pemerintahan. Karena itu ekonom perlu belajar hukum, dan sekarang ini banyak kajian pendekatan ekonomi untuk masalah hukum untuk mendekatkan antara ilmu hukum dan ilmu ekonomi. (10)
— Nugroho SBM, dosen Fakultas Ekonomi Undip Semarang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar