Senin, 22 Agustus 2011

ANALISIS BIAYA-MANFAAT MELAKUKAN KORUPSI

Oleh Nugroho SBM

Nazarudin akhirnya tertangkap di Cartagena Sepanyol. Masyarakat berharap tertangkapnya Nazarudin menjadi kunci berbagai kasus korupsi besar yang selama ini “dinyanyikan” oleh Nazarudin dari persembunyiannya.Meskipun ia kini berusaha bungkam, tetapi KPK dan pihak terkait bisa terus melanjutkan penyidikan dg bukti-bukti yang ada
Asa masyarakat yang besar tersebut hendaknya jangan dikecewakan sebab selama ini pemberantasan korupsi di Indonesia jalan di tempat. Hal tersebut bisa dilihat dari besarnya Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia di tahun 2010 lalu yang masih bertengger di angka 2,8 yang menempatkan Indonesia sebagai negara terkorup di urutan 15 dari 180 negara yang disurvai oleh Transparaency International. Mengapa pemberantasan korupsi jalan di tempat? Ilmu ekonomi membantu menjelaskan hal tersebut dengan alat analisis yang sederhana yaitu analisis biaya-manfaat.
Analisis biaya-manfaat seseorang melakukan korupsi pertama kali diperkenalkan oleh seorang ekonom Garry S Becker (1968). Becker memang ekonom yang idenya unik karena menganalisis berbagai fenomena dari sudut pandang ekonomi. Salah satu ide ”aneh”nya adalah ia pernah menulis tentang Ilmu Ekonomi Perkawinan. Dalam analisis Becker, seseorang melakukan tindakan korupsi atau tidak akan mempertimbangkan antara manfaat yaitu uang yang dia peroleh dari hasil melakukan korupsi dan biaya berupa hukuman yang harus ia tanggung jika ia tertangkap, diadili, dan dihukum karena melakukan tindakan korupsi.
Teori Becker ini kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh ahli ekonomi lain, misalnya Bologna (1993), Pollinsky dan Shavel (1997), Bandura (1997), Frey (2009) dan Almer (2009), Yang pada intinya lebih memerinci manfaat dan biaya melakukan korupsi serta mengembangkan berbagai alat analisis. Alat analisis yang dikembangkan ada yang bersifat matematis, tetapi ada pula yang menggunakan eksperimen yang diambil dari ilmu psikologi.



Hati-hati dengan Hukuman
Meskipun semua ahli sepakat bahwa mestinya biaya melakukan korupsi yaitu hukuman yang diberikan kepada para koruptor harus lebih besar dari manfaat korupsi yaitu uang yang diperoleh dari hasil korupsi, tetapi Frey (2009) mengingatkan bahwa hukuman tak selalu mencapai tujuannya. Frey menyebutkan beberapa kondisi yang menyebabkan penghukuman terhadap para koruptor menjadi tidak sesuai, tidak efisien bahkan menjadi kontra-produktif. Pertama, hukuman yang dikenakan terlalu ringan dibanding hasil korupsi. Kedua, penghukuman di penjara tidak membuat orang jera tetapi malah menjadi ajang sekolah atau pembelajaran tentang teknik korupsi yang lebih canggih dari narapidana lain. Ketiga, adanya kenyataan seringkali orang yang tidak bersalah dihukum, sementara yang bersalah justru lolos dari jeratan hukum. Keempat, seringkali penghukuman terhadap orang yang terlibat korupsi diintervensi oleh kekuasaan sehingga tidak optimal. Dan Kelima, orang yang selesai menjalani hukuman termasuk dalam kasus korupsi sringkali kehilangan kepercayaan dari masyarakat sehingga ia setelah keluar dari penjara sulit mendapatkan pekerjaan yang legal dan halal sehingga ia akan kembali berbuat kejahatan.

Bagaimana di Indonesia?
Lalu bagaimana analisis manfaat-biaya untuk korupsi di Indonesia? Untuk masalah manfaat - yaitu uang yang berhasil diambil oleh para koruptor - tak perlu diragukan lagi. Menurut catatan, selama tahun 2001 sampai 2009 mencapai Rp 73,07 triliun. Sebuah jumlah yang besar.
Manfaat ini masih ditambah dengan manfaat non-finansial antara lain: sikap masyarakat yang mulai permisif karena mulai pesimis dengan penindakan kasus korupsi dan ”dukungan” dari pejabat publik. Sikap permisif masyarakat membuat para koruptor tidak lagi merasa malu menghadapi wartawan dan sorotan kamera. Bahkan di televisi kita sering melihat para tertuduh dan terpidana kasus korupsi masih bisa tersenyum lebar. Untuk dukungan dari pejabat publik ada dua contoh. Pertama, usulan merevisi Undang-undang Nomer 31 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dimana diusulkan hukuman maksimal bagi koruptor diturunkan dan koruptor yang melakukan korupsi sampai Rp 25 juta dibebaskan dari hukuman asalkan mengembalikan uang hasil korupsinya. Untungnya revisi tersebut ditunda sampai saat ini. Contoh kedua yang aktual adalah pernyataan kontroversial Ketua DPR Marzuki Alie tentang pembubaran KPK dan perlunya mengampuni para koruptor asalkan mengembalikan uang hasil korupsinya.
Dengan demikian yang perlu dilihat pada kasus korupsi di Indonesia adalah biayanya. Pertama, ternyata hukuman untuk para koruptor masih terlalu ringan. Studi yang dialkukan oleh Rimawan Pradipto (2010) menunjukkan bahwa uang hasil korupsi selama tahun 200102009 sebesar Rp 73,07 triliun. Tetapi total hukuman denda finansial yang dijatuhkan dan kembali ke kas negara hanya Rp 5,32 triliun atau 7,29 persen dari total dana yang dikorupsi. Belum lagi bila tingkat inflasi diperhitungkan ke dalamnya maka secara riil uang yang dikorupsi yang kembali kepada negara tentu lebih kecil lagi. Maka supaya para koruptor jera, hukuman denda finansial inipun mestinya juga diperberat, tidak malah diperingan seperti yang dulu pernah diusulkan dalam revisi UU Nomer 31 tahun 2001 yang untungnya ditunda.
Kedua, dalam penerapan hukuman terhadap kasus korupsi tampaknya pertimbangan subjektif hakim masih ada sehingga menerima hukuman yang berbeda-beda. Kasus Artalyta Suryani misalnya mendapatkan vonis maksimal lima tahun penjara dan denda Rp 250 juta sesuai Pasal 5 ayat (1) huruf a UU Nomer 31 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Tetapi dari pihak penyelenggara negara yang menerima suap yaitu Irawady Joenoes seorang Komisioner Komisi Yudisial (KY) menerima hukuman delapan tahun penjara dan denda Rp 400 juta. Tetapi pasal yang dikenakan terhadap Irawady adalah Pasal 12 bukan Pasal 5 seperti yang dikenakan terhadap Artalyta. Hal ini tentu menyimnggung rasa keadilan di masyarakat. Untuk itu hakim dan juga UU nya perlu melihat dengan objektif sehingga rasa keadilan dan efek jera terhadap koruptor bisa mencapai sasarannya.
Ketiga, dalam kasus korupsi dalam bentuk penyuapan kepada aparat hukum mestinya denda dan hukumannnya lebih berat meskipun secara hukum positif yang tercantum dalam Undang-undang hukumannya sudah tercantum secara pasti. Sesuai Konvensi Palermo tahun 2000 (Palermo Convention, 2000) tindak pidana korupsi dan suap-menyuap terhadap aparat penegak hukum khususnya aparat peradilan termasuk ke dalam kejahatan luar biasa (extraordinary crime) karena sifatnya yang kriminogin (dapat menjadi sumber kejahatan lain) dan viktimogin (secara potensial dapat merugikan berbagai dimensi kepentingan). Para aparat penegak hukum mestinya mengetahui hal ini.

(Nugroho SBM, Staf Pengajar di FE dan Program Magister Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan atau MIESP Undip)

Tidak ada komentar: