Selasa, 09 Juni 2009

DEBAT PERTUMBUHAN EKONOMI

Oleh Nugroho SBM
SALAH satu materi debat antar calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) adalah masalah pertumbuhan ekonomi Indonesia rata-rata pada masa pemerintahan lima tahun mendatang (2010-2015). Pasangan SBY-Boediono menargetkan pertumbuhan ekonomi rata-rata tujuh persen. Pasangan JK-Wiranto menargetkan delapan persen.

Dan yang paling optimistis adalah pasangan Mega-Prabowo yang yakin pertumbuhan ekonomi Indonesia lima tahun ke depan bisa rata-rata 10 persen atau lebih. Yang menarik adalah ketiga pasangan presiden dan wakil presiden tersebut menargetkan angka pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dibanding periode 2004-2009 yang diperkirakan hanya empat sampai lima persen.

Namun masalah yang lebih menarik untuk diperdebatkan adalah bagaimana mencapai angka pertumbuhan ekonomi tersebut. Untuk menjawab masalah tersebut hat yang paling mendasar yang harus dijawab adalah sistem atau manajemen pengelolaan ekonomi macam apakah yang akan dianut.

Karena itu perdebatan isu tentang sistem ekonomi neoliberal yang selama ini dipraktikkan dengan sistem ekonomi yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat tetap perlu dan produktif. Sebab jika pertanyaan mendasar tersebut tidak dijawab sebelumnya maka pertanyaan-pertanyaan lain yang lebih praktis tidak ada gunanya.

Sistem ekonomi neoliberal yang selama ini dipraktikkan, seperti telah banyak diulas, mempunyai ciri antara lain: pertama, kebijakan fiskal yang konservatif --dengan menekan defisit anggaran sekecil mungkin. Kedua, privatisasi Badan-Badan Usaha Milik Negara terutama kepada swasta asing.

Dan ketiga, liberalisasi ekonomi yang artinya peran negara makin dikurangi dan peran pasar sebagai pengatur ekonomi makin menonjol. Sistem neoliberal seperti itu ternyata tidak menghasilkan peningkatan kesejahteraan masyarakat banyak terutama yang miskin di satu pihak dan justru memperkaya mereka yang sudah kaya.

Sebaliknya, sistem ekonomi yang berorientasi pada kesejateraan masyarakat - yang dikenal sebagai konsep negara kesejahteraan (welfare state) - menghendaki peran pemerintah yang lebih aktif. Dengan demikian berbagai subsidi untuk barang-barang yang strategis bagi masyarakat banyak -seperti pupuk bagi petani - tetap diperlukan. Konsekuensinya mungkin defisit anggaran (APBN) bisa membesar.

Kesejahteraan

Jika setuju bahwa sistem ekonomi yang berorientasi kepada kesejahteraan masyarakat yang dipilih maka kemudian hal tersebut harus diikuti dengan proses pembentukan berbagai undang-undang yang memberikan kerangka pada sistem ekonomi tersebut.

Pertama, Undang-undang Dasar 1945 khususnya Pasal 33 yang telah diamandemen berkali-kali sehingga menampakkan wajah neoliberal harus dikembalikan pada semangat awalnya. Kedua, pemertahanan UU yang sudah mengarah pada pencapaian kesejahteraan rakyat banyak. Ketiga, penambahan UU baru yang bisa memperkuat sistem ekonomi untuk kemakmuran rakyatk.

Setelah menjawab sistem atau manajemen pengelolaan ekonomi seperti apa yang dikehendaki, pertanyaan selanjutnya yang lebih teknis adalah dari mana pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan oleh para calon presiden-wakil presiden tersebut dibiayai.

Pembiayaan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi tersebut berasal dari investasi baik yang berasal dari dalam negeri yang meliputi belanja modal di APBN, kredit perbankan, dan pasar modal; maupun yang berasal dari luar negeri, yaitu dari utang luar negeri dan Penanaman Modal Asing (PMA).

Sebagai gambaran untuk mencapai pertumbuhan ekonomi tujuh persen --dengan asumsi ICOR (Incremental Capital Output Ratio atau rasio tambahan modal dengan tambahan output) sebesar empat-- dibutuhkan investasi sebesar 28 persen dari PDB (Produk Domestik Bruto).

Kalau pertumbuhan ekonomi dinaikkan lagi jadi 8 persen maka kebutuhan investasi menjadi 32 persen dari PDB. Dan jika pertumbuhan ekonomi dinaikkan lagi jadi 10 persen maka kebutuhan investasinya menjadi 40 persen dari PDB. Sebagai perbandingan pada tahun 2008 rasio investasi terhadap PDB adalah 27,7 persen dari PDB atau senilai Rp 1.500 trilyun.

Kembali pada sumber-sumber pembiayaan investasi. Sumber dari belanja modal di APBN tampaknya tak bisa diharapkan banyak. Pada 2009, APBN hanya mengalokasikan belanja modal sebesar Rp 72 trilyun atau 1,3 persen dari PDB.

Diperkirakan pada periode 2010-2014 alokasi untuk belanja modal ini tak banyak mengalami peningkatan. Jika ingin dipacu lewat defisit anggaran yang lebih besar juga tidak bisa karena UU menentukan defisit anggaran (APBN) maksimal adalah 3 persen dari PDB. Maka seperti telah dikemukakan di bagian awal tulisan ini, tampaknya kebijakan fiskal konservatif dengan membatasi defisit anggaran perlu ditinggalkan dengan mengamandemen UU yang membatasi defisit APBN maksimal 3 persen dari PDB.

Sumber Lain

Sumber lain dari pembiayaan investasi adalah kredit perbankan. Selama lima tahun terakhir kredit perbankan tumbuh dengan pesat. Tahun 2008 kredit perbankan telah mencapai Rp 1.300 trilyun.

Tetapi kredit-kredit yang diberikan selama ini adalah kredit janka pendek baik untuk modal kerja maupun konsumsi. Hal tersebut bisa dimaklumi karena sumber dana untuk kredit perbankan tersebut sebagian besar (85 persen) berasal dari dana jangka pendek yaitu tabungan dan deposito 1 dan 3 bulan. Padahal pertumbuhan ekonomi butuh kredit-kredit jangka panjang untuk pembiayaan investasi jangka panjang seperti untuk pembangunan infrastruktur.

Bagaimana dengan utang luar negeri? Banyak yang menyatakan bahwa kesempatan kita untuk memperoleh utang luar negeri yang murah (soft loans) makin sempit. Kita dianggap negara yang sudah mampu untuk berutang komersial dengan jangka waktu pendek dan bunga tinggi.

Jika utang luar negeri komersial yang diambil maka hal tersebut pada awalnya memang akan menambah kemampuan untuk pembiayaan investasi tetapi pada giliran membayarnya maka justru membatasi kemampuan APBN untuk membiayai investasi.

Kemungkinan lain adalah dengan menarik Penanaman Modal Asing (PMA). Selama ini rasio nilai PMA terhadap PDB di Indonesia hanya sekitar 5 persen.

Bandingkan dengan negara lain misal China (11 persen), Venezuela (25 persen), Bolivia (45 persen), dan Vietnam (35 persen). Selama ini yang banyak dikeluhkan investor asing jika ingin berinvestasi di Indonesia adalah buruknya infrastruktur dan adanya ekonomi biaya tinggi akibat masih panjangnya birokrasi perijinan diu sebagian besar daerah di Indonesia dan masih merebaknya pungutan liar.

Jika infrastruktur dan ekonomi biaya tinggi bisa dibenahi maka PMA akan masuk. Mungkin akan timbul pertanyaan apakah ditarik masuknya investasi asing ini bukan ciri lain dari ekonomi Neo-Liberal? Jawabannya tidak. Ekonomi Neo-Liberal menjual kekayaan alam serta BUMN secara murah kepada asing.

Tetapi dalam ekonomi yang berorientasi pada kesejahteraan masyarakat justru Indonesialah yang harus mengendalikan investasi asing tersebut. Misalnya lewat kontrak yang menguntungkan Indonesia. Tidak seperti sekarang dimana kontrak-kontrak eksplorasi minyak dengan pihak asing ternyata lebih menguntungkan pihak asing.

Terakhir ada satu sumber pembiayaan investasi yang belum banyak digali yaitu pajak. Sayangnya tidak ada kandidat presiden dan wakil presiden yang secara khusus menyinggung soal bagaimana meningkatkan penerimaan dari pajak. Selama ini penerimaan pajak belum optimal. Masih banyak penggelapan pajak yang terjadi. (35)

–– Nugroho SBM, staf pengajar FE Undip Semarang
(tulisan dimuat di rubrik Wacana Suara Merdeka 10 Juni 2009)

Tidak ada komentar: