Selasa, 09 Juni 2009

Komentar di Media Massa: Pemerintah Gagal Turunkan Suku Bunga Kredit

Semarang, (Analisa)
Ekonom Universitas Diponegoro Semarang, Nugroho SBM menilai, Suku Bank Indonesia (SBI) atau BI Rate yang selama ini menjadi acuan bunga bank telah gagal menjadi instrumen yang bisa menekan perbankan untuk menurunkan bunga kredit.
"Bank Indonesia dalam beberapa bulan terakhir ini sudah menurunkan BI 'Rate' dua kali dan sekarang ini berada di level tujuh persen, namun perbankan tidak merespon penurunan SBI ini," katanya ketika dihubungi di Semarang, Sabtu.
Kebijakan BI secara bertahap menurunkan SBI, menurut dia, antara lain untuk mendorong perbankan menyesuaikan bunga pinjaman, agar sektor riil bisa bergerak lebih cepat.
Menurut dia, dalam kondisi makroekonomi relatif baik seperti sekarang ini dunia usaha membutuhkan suntikan modal yang cukup dengan tingkat suku bunga kompetitif.
Akan tetapi, katanya, suku bunga kredit yang dipatok perbankan masih tinggi, berkisar 12-15 persen/tahun sehingga banyak pelaku usaha yang mengurungkan niat menambah modal untuk ekspansi usaha.
Kalangan perbankan sendiri, katanya, juga tidak mudah mengucurkan kredit.
"Ada beberapa bank mengalami kesulitan likuiditas, namun banyak pula yang memilih menempatkan kelebihan likuiditasnya ke surat utang negara (SUN) dan Sukuk, yang selain lebih aman juga menjanjikan keuntungan cukup besar," katanya.
Sebagian bank, katanya, memilih berbisnis valuta asing (valas) karena mata uang dunia masih fluktuatif di saat perekonomian global belum sepenuhnya pulih.
Ia mengingatkan, pemerintah memiliki kewajiban politik untuk menciptakan instrumen yang mampu menciptakan keseimbangan antara ketersediaan modal dengan permintaan kredit dengan suku bunga yang kompetitif.
Oleh karena itu, menurut dia, pemerintah perlu mengatur selisih maksimal antara BI "Rate" dengan bunga kredit, misalnya bila BI "Rate" tujuh persen, maka maksimal bunga kredit perbankan 10 persen/tahun.
"Regulasi itu tidak perlu berupa undang-undang, tetapi cukup peraturan yang dikeluarkan Bank Indonesia. Yang penting ada aturan yang memberi sanksi bagi bank yang melanggar ketentuan itu," kata Nugroho.
Ia membandingkan, di negara lain seperti Jepang, selisih (spread) antara bunga tabungan/deposito dengan pinjaman hanya 0,5-1 persen, sedangkan di Indonesia saat ini selisihnya lebih dari enam persen.
Bank-bank BUMN, katanya, harus berani mempelopori menurunkan suku bunga kredit, sebab selain berfungsi memupuk keuntungan, bank BUMN juga memiliki kewajiban moral ikut mendorong tumbuhnya sektor riil. (Ant)

Tidak ada komentar: