Kamis, 27 Oktober 2011

Waspadai Pengaruh Tidak Langsung dari Krisis Eropa

Semarang- Ekonom Universitas Diponegoro Semarang, Jawa Tengah, Nugroho SBM memprediksi pengaruh krisis ekonomi beberapa negara di Eropa dan Amerika Serikat terhadap Indonesia relatif kecil karena ekspor Indonesia ke kawasan itu hanya 23 persen.
“Ekspor Indonesia ke Eropa sekitar 13 persen, sedangkan ke AS 10 persen. Itu artinya 77 persen ekspor Indonesia ditujukan ke negara-negara lain,” katanya dalam seminar internasional “Situasi Makroekonomi Global” di Semarang, Selasa (11/10).
Sejumlah ekonom, kata Nugroho, juga memperkirakan pengaruh krisis ekonomi dua benua itu terhadap Indonesia relatif kecil, namun Indonesia tetap harus waspada atas pengaruh tidak langsungnya.
Pengaruh tidak langsung itu, katanya, antara lain krisis permodalan dan nilai tukar mata uang, seperti melorotnya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia serta terdepresiasinya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.
“Penurunan nilai tukar rupiah ini mengkhawatirkan, sebab sekitar 40-60 persen bahan baku di Indonesia diperoleh dari impor,” kata Nugroho.
Selain itu, katanya, merosotnya IHSG menyebabkan banyak investor asing menjual saham untuk menukarkannya dengan dolar AS yang terus menguat.
Untuk meredam situasi ini, katanya, pemerintah harus membeli kembali Surat Utang Negara yang bernilai lebih dari Rp3,132 triliun dan menyediakan dana cadangan untuk mengakomodasi asumsi besaran-besaran perubahan makroekonomi dalam APBN.
“Perusahan-perusahaan milik negara juga dilarang menjual surat utang negara,” tambahnya.
Faktor fundamental ekonomi Indonesia lainnya dinilai Nugroho masih kuat, seperti cadangan devisa yang lebih dari 124,638 juta dolar AS. Angka sebesar ini, katanya, cukup untuk membiayai kebutuhan impor selama tujuh bulan.
Nugroho mengingatkan pemerintah agar mampu meyakinkan investor untuk melakukan investasi langsung jangka panjang, bukan berupa “uang panas” yang mudah “terbang” ketika situasi ekonomi dan moneter di belahan Bumi lain sedang bergejolak.
Indonesia dengan jumlah penduduk sekitar 250 juta jiwa, katanya, merupakan pasar potensial yang layak dijadikan tempat investasi langsung jangka panjang. O ant

Tidak ada komentar: