Oleh Nugroho SBM
Pada tahun 2010 telah disepakati akan diimplementasikan perjanjian perdagangan bebas antara China dengan negara-negara ASEAN. Ini bukanlah perjanjian perdagangan bebas pertama yang dilakukan oleh Indonesia baik secara bilateral maupun multilateral. Beberapa pernjanjian perdagangan bebas yang telah dilaksanakan oleh Indonesia antara lain: AFTA (perdagangan bebas antar negara-negara ASEAN), antara ASEAn dengan Australia dan Selandia Baru, antara ASEAN dengan Korea Selatan, antara Indonesia dengan Jepang, keikutsertaan Indonesia dalam APEC (kerjasama antar negara-negara Asia Pasifik), dan dalam skala yang lebih luas adalah keikutsertaan Indonesia dalam WTO (Organisasi Perdagangan Bebas Dunia).
Hal pertama yang perlu dikritisi adalah bahwa perjanjian internasional dalam perdagangan bebas di Indonesia adalah wewenang sepenuhnya dari pemerintah tanpa persetujuan DPR. Hal tersebut sesuai dengan Undang- Undang Nomor 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional Pasal 10, di mana disebutkan bahwa perjanjian internasional di bidang ekonomi tidak termasuk perjanjian internasional yang harus disetujui oleh DPR. Padahal di negara-negara lain, perjanjian ekonomi internasional harus disetujui terlebih dahulu oleh DPR mengingat dampaknya yang begitu besar terhadap masyarakat khususnya di bidang ekonomi. Maka Pasal 10 UU Nomor 24 Tahun 2000 di masa yang akan datang mendesak untuk direvisi dengan mengharuskan perjanjian ekonomi internasional disetujui DPR.
Hal kedua yang perlu dikritisi adalah dampak pelaksanaan perjanjian perdagangan bebas antara China dengan ASEAN pada perekonomian Indonesia. Dalam hal ini ada pendapat yang pro dan yang kontra.
Yang Pro
Ada beberapa argumen yang dikemukakan oleh mereka yang pro. Pertama, volume perdagangna internasional antara Indonesia dengan negara-negara ASEAN lain dan dengan China hanya 20 sampai 25 persen dari keseluruhan volume perdagangan internasional Indonesia. Sehingga dampak negatif yang ditimbulkan jika perdagangan bebas ASEAN- China dilaksanakan terhadap perekonomian Indonesia tidaklah besar. Beberapa dampak negatif tersebut antara lain: berkurangnya penerimaan pemerintah Indonesia dari tariff (bea-masuk) dan matinya industri dalam negeri sebagai akibat kalah bersaing dengan produk dari China.
Argumen kedua yang pro ditunjukkan secara lebih ilmiah antara lain oleh Purbaya Yudhi Sadewa, ahli ekonomi Danareksa Research Institute (Kompas, 4/1/2010). Dengan menggunakan program komputer GTAP (Global Trade Analysis Project), disimulasikan dampak perdagangan bebas dengan 2 (dua) skenario.Basis data yang digunakan adalah versi 6 (tahun 2005). Skenario pertama, Indonesia terlibat dalam AFTA (perdagangan bebas antar negara-negara ASEAN) dan sekaligus dalam perdagangan bebas ASEAN-China. Maka dalam skenario ini bea masuk atau bea-impor antar negara ASEAN ditetapkan nol persen, demikian juga bea-masuk atau bea-impor antara negara-negara ASEAN dengan China juga ditetapkan nol persen.
Sedangkan skenario kedua adalah Indonesia hanya ikut dalam AFTA (perdagangan bebas antar negara-negara ASEAN) tetapi tidak ikut dalam perdagangan bebas ASEAN-China sementara negara-negara ASEAN lain ikut dalam perdagangan bebas ASEAN-China.
Hasil skenario pertama menunjukkan bahwa : Pertama, total ekspor Indonesia ke China akan meningkat 3.443 juta dolar AS. Kedua, ekspor Indonesia ke negara-negara ASEAN – kecuali ke Singapura- juga akan naik masing-masing ke Malaysia (naik 462 juta dolar AS), ke Thailand ( naik 1.213 juta dolar AS), dan ke Filipina (naik 114 juta dolar AS). Ketiga, ekspor Indonesia ke Singapura turun 167 juta dolar AS. Turunnya ekspor Indonesia ke Singapura disebabkan dengan berlakunya AFTA dan Perdagangan bebas ASEAN-China maka ekspor Indonesia ke negara-negara ASEAN lain dan ke China tidak usah melalui Singapura. Keempat, ekspor China ke Indonesia meningkat yaitu sebesar 1.776 juta dolar AS- berarti jauh lebih rendah dari kenaikan ekspor Indonesia ke China.
Hasil skenario kedua menunjukkan hal-hal sebagai berikut: Pertama, peningkatan total volume ekspor Indonesia (ke negara ASEAN lain dan ke China) lebih rendah dibanding pada skenario pertama. Kedua, ekspor Indonesia ke China justru turun 435 juta dolar AS. Ketiga, kenaikan ekspor negara-negara ASEAN ke Indonesia juga lebih tinggi dibanding pada skenario pertama karena industri di negara-negara ASEAN lain mendapatkan input dan produk antara dari China dengan harga lebihg murah (karena beamasuknya nol persen) sementara industri di Indonesia tidak.
Tetapi simulasi dengan menggunakan program GTAP tersebut harus dibaca hati-hati sebab GTAP mempunyai beberapa kelemahan dan tidak dikemukakan oleh Purbaya Yudhi Sadewa dalam tulisannya. Menurut Ron Sandrey (2007) ada beberapa kelemahan model GTAP. Pertama, sebagaimana model-model statistic computer yang lain berlaku hokum GIGO( Garbage In Garbage Out) atau kalau data yang masuk sampah maka hasil atau outputnya juga sampah. Keterbatasan data yang dipakai GTAP menyangkut kebaruan dan kualitas data. Kedua kelemahan tersebut timbul karena data yang dipakai adalah data sekunder. Khusus untuk analisis yang dibuat oleh Purbaya Yudhi Sadewa, seperti yang disebut di atas, basis data yang digunakan adalah versi 6 (tahun 2005), padahal versi 7 (tahun 2008) sudah ada.
Kedua, model GTAP melakukan penjumlahan atau agregasi yang lumayan ekstrim. Agregasi itu adalah sector usaha di perekonomian negara-negara yang melakukan perdagangan hanya dibagi ke dalam 25 sektor usaha. Akibatnya menurut Ron Sandrey hasil analisis mungkin bisa bias. Ia mengambil contoh apel segar dan apel yang diproses dijadikan satu sector yaitu buah-buahan.
Ketiga, model GTAP adalah model yang bersifat komparatif statis. Artinya hanya menganalisis keseimbangan lama (kondisi sebelum perdagangan bebas) dibandingkan dengan keseimbangan baru (kondisi setelah perdagangan bebas). Tetapi model ini tidak bisa menggambarkan gejolak atau proses dinamis perpindahan dari keseimbangan lama ke keseimbangan baru. Padahal mungkin dalam perpindahan keseimbangan itu ada berbagai ”biaya” yang mesti dibayar misal keresahan sosial akibat terjadinya ledakan pengangguran. Proses perpindahan keseimbangan itu hanya bisa digambarkan dengan model-model dinamis.
Yang Kontra
Sedangkan argumen yang kontra beberapa di antaranya adalah: pertama, pada tahap penerapan AFTA yang sekarang saja (karena AFTA diterapkan bertahap) neraca perdagangan antara Indonesia dengan negara-negara ASEAn lain sudah defisit (impor lebih besar dari ekspor). Apalagi kalau nanti ditambah dengan perdagangan bebas dengan China. Besarnya defisit tersebut adalah dengan Thailand 2,67 miliar dolar AS, dengan Malaysia 2,49 miliar dolar AS, dan dengan Singapura 8,93 miliar dolar AS.
Demikian pula dengan neraca perdagangan Indonesia dengan China sekarang inipun sudah mengalami defisit. Besarnya defisit tersebut mencapai 4,3 miliar dolar AS. Itupun belum diperhitungkan nilai dari barang-barang selundupan dari China ke Indonesia yang sekarang ini sudah banyak beredar di pasar Indonesia.
Argumen kedua, riset dari Purbaya Yudhi Sadewa dari Danareksa Research Institute seperti dikutip di atas menyebutkan ada beberapa sektor usaha yang terkena dampak negatif dari penerapan perdagangan bebas ASEAN- China. Beberapa sektor usaha tersebut adalah sektor-sektor usaha yang menghasilkan: produk-produk dari kulit, produk-produk logam (metal), produk manufaktur, pakaian jadi, gandum, gula, tebu dan bit gula, padi, dan beras yang diproses. Bisa saja sektor-sektor usaha yang memproduksi produk-produk yang dirugikan tersebut meskipun kecil dalam nilai perdagangannya tetapi banyak menyerap tenaga kerja. Sehingga ambruknya sektor-sektor usaha tersebut mengakibatkan membengkaknya pengangguran dan dengan demikian juga kemiskinan. Padahal pengangguran dan kemiskinan saat ini merupakan musuh utama pemerintah Indonesia.
Ketiga, skenario-skenario yang dihutung dengan program komputer GTAP, menurut saya juga masih tidak meruang dan membumi. Peningkatan ekspor Indonesia mungkin secara hitung-hitungan angka di komputer memang akan terjadi. Tetapi bilai melihat berbagai kendala nyata di lapangan maka hal tersebut kemungkinan tidak akan terjadi. Berbagai kendala tersebut antara lain: buruknya infrastruktur (misalnya jalan dan pelabuhan) yang makin diperparah dengan berbagai macam bencana alam yang akhir-akhir ini terjadi, birokrasi dan pungutan-pungutan liar yang masih terjadi dalam proses ekspor, serta ketidakpastian politik akibat berlarut-larutnya kasus Bank Century, dan lain-lain.
Kebijakan
Mau tidak mau perdagangan bebas ASEAN-China tetap harus dilaksanakan. Oleh karena itu diperlukan kebijakan-kebijakan nyata yang cepat untuk mengubah ancaman menjadi peluang. Beberapa kebijakan tersebut: pertama, mempercepat kerja Tim yang dibentuk oleh pemerintah untuk mengkaji dampak perdagangan bebas ASEAN-China bagi Indonesia. Di samping mengkaji dampak, tim juga harus merekomendasikan langkah-langkah yang harus ditempuh pemerintah untuk tiap sektor usaha yang kemungkinan besar dirugikan dengan perdagangan bebas tersebut. Tentunya solusi untuk tiap sektor tersebut akan berbeda satu dengan lainnya.
Kedua, atase-atase perdagangan Indonesia baik di negara-negara ASEAN maupun China hendaknya bekerja lebih keras untuk memfasilitasi hubungan-hubungan dagang antara pengusaha Indonesia dengan pengusaha di negara-negara ASEAN dan di China. Selama ini atase perdagangan tampaknya hanya sekedar asesoris diplomatik saja.
Ketiga, bagaimanapun diversifikasi pasar ekspor Indonesia harus tetap dilakukan sebagai katup pengaman dampak perdagangan bebas ASEAN-China. Salah satu pasar ekspor yang potensial yang selama ini belum banyak digarap adalah ke negara-negara Timur Tengah.
Keempat, pemerintah harus giat melakukan sosialisasi berbagai hal tentang perdagangan bebas ASEAN-China. Misalnya saja tentang aturan-aturan yang tidak boleh dilanggar dalam perdagangan bebas, sangsi bila melanggar aturan tersebut, mekanisme mengajukan gugatan bila merasa dirugikan oleh patner dagang, dan lain-lain. Hal-hal tersebut lah yang selama ini tidak dilakukan oleh pemerintah sehingga menghadapi berbagai blok perdagangan bebas, pengusaha Indonesia masih tergagap-gagap.
(Nugroho SBM, Staf Pengajar FE Undip dan Peneliti Pusat Kajian Dampak Kebijakan atau Regulatory Impact Assesment (RIA) Center Undip)