Oleh Nugroho SBM
Dalam enam tahun ke depan (tahun
2012-2018) ada puluhan kontrak pengelolaan minyak dan gas bumi (migas) Indonesia
dengan pihak asing yang akan berakhir. Di antaranya adalah: di Siak (dengan
Chevron berakhir 2013), Mahakam (dengan Total, berakhir 2017), Sumatera Selatan
(dengan CNOOC, berakhir 2018), Natuna Selatan (dengan Conoco - Philips,
berakhir 2018), Kalimantan Timur (dengan Chevron, berakhir 2017), Sanga-sanga
(dengan Virginia, berakhir 2018), Lho Sukon (dengan Exxon, berakhir 2-17),
Bertak dan Bijak Ripah (dengan Conoco-Philips, berakhir 2016), Salawati (dengan
Petro China, berakhir 2018), Ogan Komering (dengan Petro China, berakhir 2018),
Arun (dengan Exxon, berakhir 2017). Hampir semua blok tersebut masih menyimpan
cadangan yang besar dan telah dikelola sejak tahun 1970 dan telah diperpanjang
pada tahun 1990 an.
Tidak Memperpanjang Kontrak
Apakah kebijakan yang seyogyanya
dilakukan pemerintah Indonesia
untuk kontrak pengelolaan migas dengan asing yang telah berakhir tersebut? Ada 2 (dua) pilihan
solusi.
Pertama, pemerintah Indonesia
tidak memperpanjang kontrak tersebut atau dengan kata lain melakukan
nasionalisasi terhadap pengelolaan migas. Langkah ini bukannya hal yang
mustahil sebab ada contoh negara lain yang sudah melakukan langkah serupa.
Negara laiin tersebut adalah Venezuela
dan Argentina.
Pada tahun 2007, Venezuela
di bawah presiden Hugo Chavez telah melakukan nasionalisasi beberapa perusahaan
asing di berbagai sektor seperti perbankan, semen, dan juga migas.
Contoh terbaru adalah
Argentina di bawah kepemimpinan Presiden Christina Fernandez. Pada 16
April 2012, Presiden Argentina Christina Fernandez Kirchner mengumumkan
nasionalisasi saham Repsol (Spanyol) di
perusahaan minyak Argentina Yacimientos Petroliferos Fiscales (YPF). YPF adalah
BUMN milik Argentina yang diprivatisasi tahun 1999 dan 57 persen sahamnya -
ketika itu- dibeli oleh Repsol. Dengan
nasionalisasi pemerintah Argentina
akan mengambil alih 51 persen saham Repsol sehingga kepemilikan Repsol di YPF
tinggal 6 persen. Dari 51 persen saham yang diambil alih tersebut , 49 persen
di antaranya akan dibagikan ke tiap-tiap
provinsi melalui Organisasi Federal Produsen Minyak Negara.
Kecaman Lembaga Internasional
Seperti telah diduga, langkah
Kirchner mendapat kecaman dari lembaga-lembaga internasional seperti Uni Eropa,
Bank Dunia, IMF, dan sejumlah negara barat yang lain. Uni Eropa mengatakan
bahwa langkah Kirchner telah mengirimkan sinyal buruk kepada para investor
asing. Hal yang sama dikemukakan
oleh juru bicara kementrian luar negeri AS dan Presiden Bank Dunia.
Pemerintah
Spanyol asal - perusahaan Repsol yang sahamnya dinasionalisasi – menyatakan
akan menggugat Argentina ke Pengadilan
atau Lembaga Arbitrase Internasional dan meminta ganti rugi senilai 10,5 miliar
dolar AS.
Namun
Kirchner, tetap bersikukuh dan percaya diri dengan kebijakannnya tersebut. Ia
merasa melakukan langkah yang benar dan didukung oleh rakyat dan parlemen
karena langkahnya tersebut didukung oleh undang-undang yang disahkan oleh
parlemen. Menurut Kirchner, selama ini Argentina sebagai pemilik cadangan migas
yang besar justru dirugikan dengan kontrak kerjasama pengelolaan migas. Bagi
hasil atau royalti yang diterima sangat kecil sehingga tak mampu membayar utang
luar negeri Argentina yang sangat besar dan mengentaskan jumlah penduduk miskin
yang juga jumlahnya sangat besar. Demikian pula Argentina justuru saat ini malah mengimpor minyak yang
dulunya diekspor.
Apakah Indonesia berani mengmabil langkah seperti Argentina? Meskipun situasi
Indonesia mirip dengan Argentina, bahkan lebih parah, tampaknya langkah
nasionalisasi pengelolaan migas yang kontraknya sudah berakhir tidak akan
dilakukan. Pertama, karena kepemimpinan nasional saat ini yang lemah terutama
menghadapi tekanan asing sehingga langkah nasionalisasi tidak akan dilakukan.
Pemberian Grasi 5 tahun kepada Ratu Narkoba Australia Corby merupakan contoh
bagaimana tekanan asing dari Australia – sebuah negara yang tak begitu besar –
bisa mempengaruhi keputusan yang sangat penting. Di sisi lain, lobi pemerintah Indonesia untuk membatalkan
hukuman mati bagi TKI saat ini jarang diperhatikan. Kedua, pengaruh asing di
Indonesia dalam semua lini kehidupan di Indonesia sudah sangat besar dan
Indonesia berada di pihak yang lemah.
Misalnya saja meyangkut bantuan dan utang luar negeri yang sangat besar
jumlahnya. Kepemilikan asing
pada sektor yang penting juga sangat besar misalnya di perbankan.
Renegosiasi
Jika
langkah nasionalisasi atau tidak memperpanjang kontrak pengelolaan migas dengan
pihak asing tidak mungkin dilakukan - minimal dalam waktu dekat - maka langkah
alternatif kedualah yang mungkin dilakukan. Langkah tersebut adalah melakukan
negosiasi ulang atau renegosiasi terhadap kontrak karya pengelolaan migas yang
saat ini sedang berjalan.
Presiden
SBY berkali-kali menegaskan bahwa akan melakukan renegosiasi kontrak karya
pengelolaan migas dengan pihak asing. Proses renegosiasi tersebut memang sedang
berjalan tetapi tampaknya sangat lamban dan tidak transparan karena masyarakat
tidak mengetahui proses tersebut sudah sampai sejauh mana dan bagaimana bagi
hasilnya. Presiden SBY mestinya lebih tegas dan percaya diri dan jadikan
renegosiasi itu monumen yang berharga di akhir masa jabatannya sebab tahun
2014, ia tak mungkin lagi mencalonkan diri.
(Nugroho
SBM, SE, MSP, Staf Pengajar Fakultas Ekonomika dan Bisnis atau FEB serta
Magister Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan atau MIESP Undip)