Oleh Nugroho SBM
KASUS Bank Century kembali menghangat setelah Antasari Azhar (mantan
Ketua KPK) dan Jusuf Kalla memberikan keterangan di depan DPR. Pada
intinya mereka menyatakan, baik Presiden SBY maupun Wapres (waktu itu)
Jusuf Kalla, tidak mengetahui masalah dana talangan Rp 6,7 triliun
kepada bank itu.
Pernyataan dua tokoh itu seperti membantah kabar yang mengaitkan
keterlibatan Presiden SBY dan partai yang saat ini berkuasa punya andil
kesalahan, bahkan ikut bermain. Penulis berpendapat perlu meluruskan
istilah antara ”bersalah” dan ”bertanggung jawab”. Presiden SBY dan
Wapres (saat kebijakan bail out itu) Jusuf Kalla bisa saja tidak
bersalah tetapi sebagai pemimpin harus bertanggung jawab atas kasus itu.
Masyarakat, terutama nasabah bank itu, berharap kebenaran bisa terkuak
setelah penantian mereka selama empat tahun, dan peristiwa serupa tak
terulang. Masyarakat menunggu kejelasan mengapa Century harus
diselamatkan dan siapa yang menikmati dana talangan Rp 6,7 triliun itu
karena hingga sekarang dana nasabah belum dikembalikan.
Yang tidak kalah penting, Bank Indonesia harus merumuskan beberapa
langkah strategis supaya peristiwa serupa tak terulang. Pertama; kembali
mendesak DPR membahas dan segera mengesahkan RUU tentang Jaring
Pengaman Sistem Keuangan (JPSK). Regulasi itu sangat diperlukan sebagai
landasan hukum bagi BI dan pemerintah terkait dengan kebijakan di
sektor keuangan, terutama bila terjadi krisis.
Kedua; jika RUU JPSK kembali dibahas maka belajar dari kasus Century,
perlu lebih serius membahas Pasal 7 mengenai dampak sistemik dari tutup
atau ditutupnya sebuah bank. Hal itu terkait dengan status apakah bank
yang mengalami kesulitan dibiarkan tutup atau ditutup ataukah perlu
diberi bantuan dana talangan seperti halnya Century.
Bab yang membahas definisi dampak sistemik perlu dijabarkan secara
rinci, bahkan disertai kejelasan ukuran kuantitatif. Menurut penulis,
draf Pasal 7 RUU tentang JPSK yang membahas dampak sistemik penutupan
sebuah bank, masih bersifat umum. Rancangan pasal itu terlalu makro,
kurang operasional karena tidak ada indikator kuantitatifnya.
Ada beberapa definisi tentang dampak sistemik terkait penutupan bank.
Definisi pertama dari Oliver de Brandt dan Philippe Heartman (2000)
dalam Working Paper Nomor 35 tahun 2000 yang diterbitkan Bank Sentral
Eropa. Menurut mereka, dampak sistemik akibat penutupan bank adalah jika
penutupan itu memancing kepanikan nasabah bank-bank lain untuk rush
atau beramai-ramai menarik dana sehingga bank-bank itu mengalami
kesulitan likuiditas.
Definisi ini tidak tepat untuk diterapkan di Indonesia karena deposan
cukup rasional dan tidak mudah terpancing emosinya jika mendengar kabar
rencana penutupan sebuah bank oleh pemerintah. Terlebih lagi saat ini
ada Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
Definisi kedua dari Houben, Kakes, dan Schinasi (2004) melalui artikel
yang diterbitkan IMF. Menurut mereka, dampak sistemik dari penutupan
sebuah bank bisa dari faktor bank itu sendiri, keterkaitan bank tersebut
dengan bank lain, perundang-undangan, dan akibat kondisi ekonomi makro.
Bayar Gugatan
Definisi ketiga, dari kesepakatan para ahli keuangan saat menilai
kebangkrutan perusahaan Goldman and Sach, serta AIG. Menurut mereka,
risiko sistemik akibat penutupan bank atau institusi keuangan yang lain
adalah jika bank atau institusi itu terlalu besar ukurannya (aset,
pangsa pasar, omzet) untuk ditutup atau biasa diistilahkan too big too
fail. Definisi ini bisa dikuantitatifkan, yaitu berapa ukuran (aset,
pasar, omzet) suatu bank dikategorikan terlalu besar yang kemudian
menjadi dasar untuk menutup bank tersebut.
Dari Indonesia sebenarnya ada beberapa ahli keuangan yang mencoba
merumuskan indikator dampak sistemik penutupan bank, salah satunya
Purbaya Yudi Sadewa dari Danareksa Research Institute (DRI). Menurut
dia, dampak sistemik dari penutupan bank dapat dilihat dari 6 variabel
banking pressure index (BPI) yang disusun oleh lembaga tersebut.
Variabel itu menyangkut nilai tukar riil efektif, indeks harga saham
gabungan (IHSG), angka pengganda uang, produk domestik bruto (PDB) riil,
nilai ekspor, dan suku bunga jangka pendek. Besar indeks antara 0 dan
1. Jika indeks lebih besar dari 0,5 maka industri perbankan itu akan
terkena risiko sistemik dari perubahan variabel yang digunakan untuk
menyusun indeks tersebut.
Ketiga; pemerintah dan BI memerintah manajemen Bank Mutiara (eks Bank
Century) untuk segera membayarkan hak dari nasabah Century karena
Mahkamah Agung sudah memenangkan gugatan nasabah itu. Seandainya
pemerintah dan BI tidak melakukan hal itu justru bisa menimbulkan dampak
sistemik, yaitu timbul ketidakpercayaan masyarakat kepada perbankan,
sekaligus BI, dan pemerintah. (10)
– Dr Nugroho SBM MSP, dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis serta Magister Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan (MIESP) Undip
Blog ini berisi tulisan ilmiah populer dan komentar di berbagai media massa tentang masalah-masalah sosial ekonomi yang sedang dan akan terjadi di Indonesia
Rabu, 26 September 2012
Mentahkan Tiga Teori Suap Nugroho Raih Gelar Doktor
SEMARANG, suaramerdeka.com - Setidaknya ada tiga teori tentang suap yang telah dimentahkan dosen Fakultas ekonomi Universitas Diponegoro, Nugroho Sumarjiyanto BM. Disertasinya setebal 289 halaman yang membahas tentang perilaku penyuapan oleh perusahaan menengah dan besar di Jawa Tengah, dia paparkan dihadapan penguji, Kamis (6/9).
Berkat penelitiannya, pria yang gemar melahap buku-buku ekonomi ini diganjar dengan gelar doktor.
Tiga teori tentang suap tersebut seakan tidak berlaku di Indonesia. Pertama adalah Efficient Grease Hypothesis milik Wei. Dalam hipotesis tersebut diyakini jika intensitas pertemuan pengusaha dengan birokrat yang terbatas menyebabkan persentase penyuapan yang besar.
Kedua adalah teori milik Swamy yang menyatakan manajer perempuan lebih kecil keterlibatan dalam hal suap menyuap. "Dari penelitian yang saya lakukan, wanita dan pria sama-sama akan melakukan suap jika memiliki peluang yang sama," kata Nugroho yang mengajar di Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan.
Ketiga adalah terkait pembuktian Svenson yang menyatakan makin ketatnya tingkat persaingan bisnis, menyebabkan makin rendah persentase suap, lantaran banyak biaya yang digunakan untuk biaya produksi. "Justru semakin tinggi persainan maka semakin tinggi suap," kata pria kelahiran Semarang, 6 Mei 1961.
Alasan utama menulis disertasi tersebut bukan untuk mematahkan teori, namun keprihatinan atas tingginya angka korupsi dan suap di Tanah Air.
Menurutnya, suap yang dilakukan oleh pengusaha sering kali dianggap sebagai biaya produksi. Jika demikian, maka perilaku mereka akan menambah biaya produksi yang akhirnya dibebankan pada masyarakat selaku konsumen.
Selain itu suap juga mengurangi daya saing antar pengusaha. "Semoga disertasi bisa menjadi masukan," kata suami dari TH Sulistyorini ini.
( Hanung Soekendro / CN33 / JBSM )
Langganan:
Postingan (Atom)