Oleh Nugroho SBM
Salah satu kegiatan usaha di Indonesia yang selamat dari dampak krisis keuangan global tahun 2008/ 2009
yang dimulai dari krisis keuangan di Amerika Serikat (AS) adalah perbankan. Di
sisi lain, kegiatan perbankan juga mampu menyelamatkan perekonomian Indonesia
dari krisis tersebut berkat kredit yang dikucurkannya..
Kinerja perbankan Indonesia sampai saat ini
baik-baik saja. Asset total perbankan Indonesia sampai saat ini mencapai
Rp. 3.900 triliun, dana pihak ketiga Rp 2.900 triliun, kredit total Rp 2.400
triliun, kredit macet (non-performing
loan) bruto 2,18 persen dari total kredit yang disalurkan, dan laba atau net interest margin rata-rata 5,38
persen. Pertumbuhan kredit selama semester pertama tahun 2012 dibanding
semester tahun sebelumnya mencapai 25,8 persen. Dengan kinerja yang bagus
seperti itu maka banyak ahli ekonomi yang sepakat bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia
dalam tahun 2012 ini bisa mencapai 6,3 persen.
Namun, pertumbuhan ekonomi Indonesia
yang tinggi yang difasilitasi oleh kredit perbankan (baik kredit konsumsi
maupun kredit investasi dan modal kerja) membuat justru neraca perdagangan Indonesia
mengalami defisit untuk pertama kalinya dalam sejarah di tahun 2012 ini.
Sebabnya jelas karena struktur industri Indonesia
yang rapuh yaitu masih diimpornya bahan baku dan
barang modalnya (sekitar 30 sampai 40 persen bahan baku
dan barang modal industri Indonesia
sampai saat ini masih harus diimpor). Melihat gejala tersebut, Bank Indonesia
(BI) dalam waktu dekat akan mengeluarkan kebijakan perijinan berlapis (multiple license). Dalam kebijakan
tersebut BI akan membedakan strata bank
berdasarkan besarnya modal. Semakin besar modal suatu bank akan semakin leluasa
bank tersebut mengembangkan bisnisnya termasuk membuka cabangnya di
daerah-daerah. Implikasinya, hanya bank-bank yang berkualitas lah yang berhak
membuka cabangnya di daerah-daerah.
Bank Asing dan Bank Lokal
Implikasi kebijakan perijinan
berlapis ini juga mengena pada bank-bank asing. Selama ini bank-bank asing yang
beroperasi di Indonesia statusnya adalah cabang dari perusahaan induknya di
luar negeri. Modalnya berada di kantor pusatnya di luar negeri. Dengan demikian
struktur modal bank-bank asing tersebut di Indonesia sangatlah lemah atau
kecil. Konsekuensi berikutnya mereka tidak akan diijinkan membuka cabang di
daerah-daerah karena modalnya tidak cukup. Untuk dapat membuka cabangnya di
daerah, bank-bank asing tersebut harus mengubah statusnya dari caabang (branch) menjadi anak perusahaan (subsidiary) dan harus berbadan hukum
Perseroan Terbatas (PT) Indonesia.
Dengan status anak perusahaan
dan berbadan hukum PT maka akan ada suntikan modal dari perusahaan induk di
luar negeri. Hal ini akan menambah cadangan devisa Indonesia yang saat ini
sekitar 109 miliar dolar AS. Jadi akan mempunyai dampak positif memperkuat
cadangan devisa.
Implikasi lain dari kebijakan
perijinan berlapis ini juga akan mengena pada bank-bank lokal yang operasinya
pada skala daerah (provinsi, kabupaten, dan kota) seperti Bank Pembangunan
Daerah (BPD), Bank Perkreditn Rakyat (BPR), maupun bank-bank yang hanya punya
kantor di suatu daerah. Bagi bank-bank lokal kebijakan ini akan mempunyai
dampak cukup berat karena di samping harus memenuhi ketentuan modal minimal yang
besar juga harus menghadapi cabang bank-bank besar di daerah mereka. Maka
bank-bank lokal punya pilihan untuk melakukan merger dengan bank-bank besar
atau mencari investor baru untuk memperkuat modal. Soal merger memang tidak
mudah karena berbagai kebijakan yang mencoba mengurangi jumlah bank tetap saja
tidak mempengaruhi jumlah bank yang saat ini jumlahnya cukup besar yaitu 120
bank.
Kebijakan Keruangan
Namun,
kebijakan perijinan berlapis (multiple
license) perbankan yang akan diterapkan oleh BI perlu diimbangi dengan
kebijakan keruangan (spatial).
Maksudnya kebijakan BI tersebut perlu melihat di mana bank berlokasi di suatu
daerah. Tesis pasca sarjana (S2) saya di ITB tahun 1994 tentang dampak
kebijakan Pakto 1988 (kebijakan liberalisasi perbankan yang sangat liberal)
terhadap lokasi bank di Kota Semarang jelas menunjukkan bahwa ada interaksi
antara kebijakan tata ruang wilayah dengan kebijakan ekonomi dalam hal ini kebijakan
perbankan. Kebijakan tata ruang wilayah sering tidak memperhatikan secara khusus
alokasi untuk kegiatan perbankan sehingga timbul dampak negatif berupa
kemacetan lalu lintas, ketidaknyamanan nasabah, dan alih fungsi lahan yang
sangat masif.. Di lain pihak kebijakan Bi tentang perbankan juga tidak
memperhatikan aspek keruangan (spatial) misalnya aspek kejenuhan usaha
perbankan di suatu ruang atau wilayah tertentu.
Salah
satu analisis yang menarik tentang aspek keruangan (spatial) kegiatan perbankan adalah yang dilakukan oleh Pungky P
Wibowo (Kompas, 28/9/2012). Dengan menggabungkan alat analisis matriks Boston Consulting Group (BCG) dan teori Tempat
Sentral yang dikemukan oleh Walter Christaller (Central Place Theory), Pungky P Wibowo berhasil mengklasifikasikan
tingkat kejenuhan usaha perbankan di daerah. Matriks BCG merupakan matriks yang
digunakan dalam analisis SWOT (Strenght,
Weakness, Opportunity, dan Threat), sedangkan teori Tempat Sentral dari Walter Christaller menyangkut pengaturan suatu kegiatan jasa
pelayanan termasuk perbankan. Jasa pelayanan diatur berdasarkan jarak pelayanan
dan jumlah minimum konsumen agar kegiatan tersebut bisa hidup.
Berdasarkan
BCG dan Teori Walter Christaller tersebut, Pungky P wibowo berhasil
mengidentifikasikan provinsi-provinsi di Indonesia dikaitkan dengan kegiatan
perbankannya menjadi empat kategori. Pertama, provinsi yang masih kekurangan
pelayanan bank (underbanked). Yang
termasuk dalam kategori ini adalah: Lampung, Jambi, Papua Barat, Sulawesi
Barat, Sulawesi Selatan, NTB, Maluku Utara, NTT, Gorontalo, Sulawesi Tengah,
Sumatera Selatan, Maluku, dan Sumatera Barat. Kedua, provinsi yang pelayanan
banknya mendekati optimum tetapi masih dalam tingkatan rendah (low equlibrium banked). Yang termasuk dalam kategori ini ada lima
provinsi di: Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Ketiga, provinsi yang mendekati
optimum pelayanan banknya dalam tingkatan medium (medium eqilibrium banked). Yang termasuk dalam kategori ini adalah lima provinsi di: Papua, Sumatera, dan Riau. Keempat, provinsi
yang sudah jenuh pelayanan perbankannya (overbanked).
Yang termasuk dalam kategori ini adalah
sepuluh provinsi di: Jawa, Bali, Kalimantan, dan Sulawesi.
Kebijakan
perijinan berlapis yang akan dikeluarkan BI tentunya harus mempertimbangkan
juga tingkat kejenuhan bank di suatu daerah atau wilayah. Bagi wilayah yang sudah
jenuh (overbanked) kebijakan
perijinan berlapis dengan mempertimbangkan modal bank yang besar tentu akan
berdampak positif karena akan membuat persaingan ketat antar bank yang pada
gilirannya nasabah akan diuntungkan (berupa pelayanan lebih baik, bunga simpanan
yang tinggi, dan bunga kredit yang rendah). Tetapi di daerah yang masih kurang
pelayanan perbankannya (underbanked)
tentulah tidak bijaksana menerapkan kebijakan perijinan perbankan berlapis (multiple license) dengan persyaratan
besarnya modal di daerah yang sudah jenuh karena akan membuat jumlah bank-bank
di daerah berkurang dan semakin memperparah situasi underbanked di sana.
(Dr.
Nugroho SBM, MSP, Staf Pengajar Fakultas Ekonomika dan Bisnis serta
Magister Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan atau MIESP Undip Semarang)