|
|||
Blog ini berisi tulisan ilmiah populer dan komentar di berbagai media massa tentang masalah-masalah sosial ekonomi yang sedang dan akan terjadi di Indonesia
Jumat, 30 November 2012
PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DIDORONG
TARIK ULUR BP MIGAS
Oleh Nugroho SBM
MAHKAMAH Konstitusi (MK) menyatakan keberadaan BP Migas, yang diatur dalam UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, bertentangan dengan UUD 1945, karena itu harus dibubarkan. Hakim konstitusi juga menilai BP Migas yang hanya mengatur industri hulu migas terpisah dari hilir (terjadi proses unbundling) justru lebih memperbesar peluang pihak asing menguasai industri migas Indonesia.
Keputusan MK kontan memicu pro dan kontra. Pihak yang kontra, terutama BP Migas, menyatakan keputusan itu tidak tepat. Pertama; bila hendak membubarkan BP Migas seharusnya lebih dulu merevisi atau membatalkan UU Nomor 22 Tahun 2001 karena keberadaan BP Migas diatur dan merupakan amanat regulasi tersebut.
Kedua; pembubaran itu berisiko merugikan negara karena ada 302 kontrak karya atau kontrak kerja sama perminyakan yang menunggu persetujuan BP Migas. Nilai kontrak kerja sama itu 70 miliar dolar AS atau setara Rp 630 triliun. Di samping kontrak yang menunggu penandatanganan, ada penundaan pemprosesan peralatan perusahaan minyak (rig) milik Niko Resources di Bea dan Cukai, yang berisiko merugikan perusahaan itu Rp 300.000 per hari.
Ketiga; pembubaran tersebut membuat nasib karyawan BP Migas tidak menentu. Keempat; menjadi preseden pembubaran badan/ lembaga yang lain, yang bisa menciptakan pandangan ada ketidakpastian iklim investasi di Indonesia.
Bila mengkaji secara kritis, ada beberapa hal yang benar sebagaimana disuarakan pihak yang kontra, yakni menyangkut revisi UU Nomor 22 Tahun 2001. Tetapi hal lain, seperti kerugian negara akibat kontrak yang akan datang yang harus ditandatangani BP Migas dan kerugian perusahaan migas karena ada peralatan tertahan di Bea dan Cukai, kurang bisa diterima.
Bila nanti pemerintah segera mengambil alih wewenang, dua hal itu pasti segera dapat ditanggulangi. Kontrak yang sudah ada pun tak akan dibatalkan karena ada adagium tentang kesucian kontrak.
Dengan membubarkan BP Migas dan menarik urusan hulu ke pemerintah maka pemerintah menguasai kembali industri migas sebagai satu kesatuan sehingga penguasaan asing atas industri migas Indonesia bisa dicegah.
Kedua; keberadaan BP Migas yang merupakan semacam badan swasta, mewakili pemerintah dalam penandatangan kontrak karya perminyakan, telah menurunkan derajat pemerintah. Penurunan derajat ini berarti menurunkan kedaulatan negara atas penguasaan negara terhadap sumber-sumber daya migas sehingga bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945.
Ketiga; biaya pengelolaan migas di bawah BP Migas ternyata dari waktu ke waktu mengalami kenaikan sehingga mencerminkan inefisensi. Inefisiensi tersebut masih ditambah dengan gaji tinggi para pegawai BP Migas. Beberapa kesaksian menyatakan gaya hidup beberapa direksi sangat mewah.
Sebenarnya ada harapan lebih besar setelah pembubaran BP Migas yang salah satu tujuannya mengembalikan kedaulatan negara atas pengelolaan migas. Pembubaran BP Migas mungkin baru langkah awal. Langkah berikutnya yang lebih progresif adalah merenegosiasi kontrak dan menasionalisasi pengelolaan migas.
Mengenai nasionalisasi, Indonesia bisa belajar dari Venezuela dan Argentina. Tahun 2007, Venezuela di bawah Presiden Hugo Chavez menasionalisasi beberapa perusahaan asing di berbagai sektor, seperti perbankan, semen, dan migas.
Contoh terbaru adalah Argentina di bawah Presiden Christina Fernandez. Pada 16 April 2012, Kirchner mengumumkan nasionalisasi saham Repsol (Spanyol) di perusahaan minyak Argentina, Yacimientos Petroliferos Fiscales (YPF).
YPF adalah BUMN Argentina yang diprivatisasi tahun 1999 dan 57% saham (ketika itu) dibeli Repsol. Dengan nasionalisasi, pemerintah Argentina mengambil alih 51% saham Repsol sehingga kepemilikan Repsol di YPF tinggal 6%. Dari 51% saham yang diambil alih tersebut , 49% dibagikan ke tiap-tiap provinsi melalui Organisasi Federal Produsen Minyak Negara.
Seperti diduga, langkah Kirchner mendapat kecaman dari lembaga-lembaga internasional seperti Uni Eropa, Bank Dunia, IMF, dan sejumlah negara Barat. Uni Eropa mengatakan langkah Kirchner telah mengirimkan sinyal buruk kepada investor asing. Hal yang sama dikemukakan juru bicara Kemenlu AS dan Presiden Bank Dunia.
Bahkan pemerintah Spanyol menyatakan akan menggugat Argentina ke Pengadilan atau Lembaga Arbitrase Internasional dan meminta ganti rugi 10,5 miliar dolar AS. Namun Kirchner bersikukuh dan percaya diri dengan kebijakannya. Ia merasa melakukan langkah benar dan didukung rakyat dan parlemen karena kebijakan tersebut didukung undang-undang yang disahkan oleh parlemen.
Menurut Kirchner, selama ini Argentina sebagai pemilik cadangan migas besar justru dirugikan oleh kontrak kerja sama pengelolaan migas. Bagi hasil atau royalti yang diterima sangat kecil sehingga tak mampu membayar utang luar negeri Argentina yang sangat besar dan mengentaskan jumlah penduduk miskin yang juga berjumlah sangat besar. Demikian pula Argentina justru saat ini malah mengimpor minyak, padahal dulu pengekspor.
Langkah nasionalisasi ini bukanlah hal mustahil bagi Indonesia karena sudah punya pengalaman pada zaman Orla semasa pemerintahan Soekarno. Waktu itu Soekarno menasionalisasi perusahaan perminyakan milik Inggris, Belanda, dan Amerika Serikat. Kemudian lahir UU Nomor 44 Tahun 1960 yang menyatakan bahwa eksploitasi migas hanya diselenggarakan oleh negara. (10)
— Dr Nugroho SBM MSP, dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis, serta Magister Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan (MIESP) Undip Semarang
Aerikel dipublikasikan di Rubrik WACANA NASIONAL Harian SUARA MERDEKA 17 November 2012
MAHKAMAH Konstitusi (MK) menyatakan keberadaan BP Migas, yang diatur dalam UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, bertentangan dengan UUD 1945, karena itu harus dibubarkan. Hakim konstitusi juga menilai BP Migas yang hanya mengatur industri hulu migas terpisah dari hilir (terjadi proses unbundling) justru lebih memperbesar peluang pihak asing menguasai industri migas Indonesia.
Keputusan MK kontan memicu pro dan kontra. Pihak yang kontra, terutama BP Migas, menyatakan keputusan itu tidak tepat. Pertama; bila hendak membubarkan BP Migas seharusnya lebih dulu merevisi atau membatalkan UU Nomor 22 Tahun 2001 karena keberadaan BP Migas diatur dan merupakan amanat regulasi tersebut.
Kedua; pembubaran itu berisiko merugikan negara karena ada 302 kontrak karya atau kontrak kerja sama perminyakan yang menunggu persetujuan BP Migas. Nilai kontrak kerja sama itu 70 miliar dolar AS atau setara Rp 630 triliun. Di samping kontrak yang menunggu penandatanganan, ada penundaan pemprosesan peralatan perusahaan minyak (rig) milik Niko Resources di Bea dan Cukai, yang berisiko merugikan perusahaan itu Rp 300.000 per hari.
Ketiga; pembubaran tersebut membuat nasib karyawan BP Migas tidak menentu. Keempat; menjadi preseden pembubaran badan/ lembaga yang lain, yang bisa menciptakan pandangan ada ketidakpastian iklim investasi di Indonesia.
Bila mengkaji secara kritis, ada beberapa hal yang benar sebagaimana disuarakan pihak yang kontra, yakni menyangkut revisi UU Nomor 22 Tahun 2001. Tetapi hal lain, seperti kerugian negara akibat kontrak yang akan datang yang harus ditandatangani BP Migas dan kerugian perusahaan migas karena ada peralatan tertahan di Bea dan Cukai, kurang bisa diterima.
Bila nanti pemerintah segera mengambil alih wewenang, dua hal itu pasti segera dapat ditanggulangi. Kontrak yang sudah ada pun tak akan dibatalkan karena ada adagium tentang kesucian kontrak.
Dikuasai Asing
Penulis lebih setuju dengan apa yang disampaikan pihak yang
propembubaran BP Migas. Pertama; pemisahan industri hulu yang ditangani
BP Migas dan hilir oleh Pertamina memang membuat industri migas terpecah
(unbundling). Keterpecahan ini membuat pihak asing mudah melakukan
rekayasa untuk menguasai industri migas Indonesia. Dengan membubarkan BP Migas dan menarik urusan hulu ke pemerintah maka pemerintah menguasai kembali industri migas sebagai satu kesatuan sehingga penguasaan asing atas industri migas Indonesia bisa dicegah.
Kedua; keberadaan BP Migas yang merupakan semacam badan swasta, mewakili pemerintah dalam penandatangan kontrak karya perminyakan, telah menurunkan derajat pemerintah. Penurunan derajat ini berarti menurunkan kedaulatan negara atas penguasaan negara terhadap sumber-sumber daya migas sehingga bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945.
Ketiga; biaya pengelolaan migas di bawah BP Migas ternyata dari waktu ke waktu mengalami kenaikan sehingga mencerminkan inefisensi. Inefisiensi tersebut masih ditambah dengan gaji tinggi para pegawai BP Migas. Beberapa kesaksian menyatakan gaya hidup beberapa direksi sangat mewah.
Sebenarnya ada harapan lebih besar setelah pembubaran BP Migas yang salah satu tujuannya mengembalikan kedaulatan negara atas pengelolaan migas. Pembubaran BP Migas mungkin baru langkah awal. Langkah berikutnya yang lebih progresif adalah merenegosiasi kontrak dan menasionalisasi pengelolaan migas.
Mengenai nasionalisasi, Indonesia bisa belajar dari Venezuela dan Argentina. Tahun 2007, Venezuela di bawah Presiden Hugo Chavez menasionalisasi beberapa perusahaan asing di berbagai sektor, seperti perbankan, semen, dan migas.
Contoh terbaru adalah Argentina di bawah Presiden Christina Fernandez. Pada 16 April 2012, Kirchner mengumumkan nasionalisasi saham Repsol (Spanyol) di perusahaan minyak Argentina, Yacimientos Petroliferos Fiscales (YPF).
YPF adalah BUMN Argentina yang diprivatisasi tahun 1999 dan 57% saham (ketika itu) dibeli Repsol. Dengan nasionalisasi, pemerintah Argentina mengambil alih 51% saham Repsol sehingga kepemilikan Repsol di YPF tinggal 6%. Dari 51% saham yang diambil alih tersebut , 49% dibagikan ke tiap-tiap provinsi melalui Organisasi Federal Produsen Minyak Negara.
Seperti diduga, langkah Kirchner mendapat kecaman dari lembaga-lembaga internasional seperti Uni Eropa, Bank Dunia, IMF, dan sejumlah negara Barat. Uni Eropa mengatakan langkah Kirchner telah mengirimkan sinyal buruk kepada investor asing. Hal yang sama dikemukakan juru bicara Kemenlu AS dan Presiden Bank Dunia.
Bahkan pemerintah Spanyol menyatakan akan menggugat Argentina ke Pengadilan atau Lembaga Arbitrase Internasional dan meminta ganti rugi 10,5 miliar dolar AS. Namun Kirchner bersikukuh dan percaya diri dengan kebijakannya. Ia merasa melakukan langkah benar dan didukung rakyat dan parlemen karena kebijakan tersebut didukung undang-undang yang disahkan oleh parlemen.
Menurut Kirchner, selama ini Argentina sebagai pemilik cadangan migas besar justru dirugikan oleh kontrak kerja sama pengelolaan migas. Bagi hasil atau royalti yang diterima sangat kecil sehingga tak mampu membayar utang luar negeri Argentina yang sangat besar dan mengentaskan jumlah penduduk miskin yang juga berjumlah sangat besar. Demikian pula Argentina justru saat ini malah mengimpor minyak, padahal dulu pengekspor.
Langkah nasionalisasi ini bukanlah hal mustahil bagi Indonesia karena sudah punya pengalaman pada zaman Orla semasa pemerintahan Soekarno. Waktu itu Soekarno menasionalisasi perusahaan perminyakan milik Inggris, Belanda, dan Amerika Serikat. Kemudian lahir UU Nomor 44 Tahun 1960 yang menyatakan bahwa eksploitasi migas hanya diselenggarakan oleh negara. (10)
— Dr Nugroho SBM MSP, dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis, serta Magister Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan (MIESP) Undip Semarang
Aerikel dipublikasikan di Rubrik WACANA NASIONAL Harian SUARA MERDEKA 17 November 2012
Rabu, 07 November 2012
PENYEBAB KETIMPANGAN DISTRIBUSI PENDAPATAN & CARA MENGATASINYA
Oleh Nugroho SBM
Pembagian atau distribusi pendapatan di Indonesia kian timpang. Hal
tersebut tampak dari makin menngkatnya Indeks Gini Indonesia. Sebagaimana
diketahui, Indeks Gini mengukur distribusi pendapatan suatu negara. Besarnya
Indeks Gini antara 0 (nol) sampai 1 (satu). Indeks Gini sama dengan 0 (nol) menunjukkan
bahwa distribusi pendapatan merata sempurna, sementara Indeks Gini sama dengan
1(satu) menunjukkan distribusi pendapatan sama sekali tidak merata. Berdasarkan
data, Indeks Gini Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Jika pada
tahun 2005 besarnya Indeks Gini adalah 0,32, maka pada tahun 2008 meningkat
menjadi 0,37, dan kembali meningkat menjadi 0,41 pada tahun 2011.
Ada
beberapa sebab mengapa ketimpangan distribusi pendapatan di Indonesia kian
parah. Pertama, ketimpangan dalam distribusi asset. Ketimpangan tersebut
terlihat sangat parah terutama di sektor pertanian. Berdasarkan data dari
sensus pertanian, 57,8 persen petani hanya memiliki lahan rata-rata 0,018 Ha,
38 persen tidak memiliki lahan, dan hanya 4,2 persen yang memiliki lahan 0,5 Ha
atau lebih. Lahan yang sempit tentu tidak mencukupi bagi petani untuk
memperoleh tingkat pendapatan yang layak. Untuk sektor yang lain, bisa terlihat
dengan jelas bagaimana perusahaan atau pengusaha sedang dan besar dengan mudah
mendapatkan kredit dengan agunan hanya nama baik, sementara Usaha Menengah,
Koperasi, dan Mikro (UMKM) setengah mati untuk mendapatkan kredit.
Kedua,
masih besarnya pekerja di sektor informal dengan tingkat pendapatan yang rendah
dan tiadanya jaminan kepastian usaha di
masa depan. Berdasarkan data, jumlah pekerja di sektor informal saat ini di
Indonesia masih sekitar 62,7 persen dari total pekerja di Indonesia. Tingginya
pekerja di sektor informal disebabkan makin padat modalnya teknologi produksi
yang digunakan oleh para pengusaha. Hal tersebut terlihat dari makin kecilnya
kesempatan kerja yang diciptakan oleh pertumbuhan ekonomi Indonesia. Jika dahulu
setiap 1 persen pertumbuhan ekonomi menyerap 400.000 pekerja baru, kini
pertumbuhan ekonomi 1 persen hanya menyerap 200.000 orang tenaga kerja baru.
Hal tersebut terlihat jelas misalnya di Industri rokok dimana rata-rata pabrik
rokok sekarang hanya mempertahankan para pekerjha lama yang rata-rata sudah
lanjut usia. Sementara untuk proses produksecara bertahap akan digantikan oleh
mesin. Sebab lain lagi adalah justru
tumbuhnya sektor-sektor jasa (yang sering disebut non-tradable) seperti
perdagangan dan jasa keunagan (bank dan lembaga keuangan lain) yang menyerap
sedikit tenaga kerja melebihi pertumbuhan sektor produksi seperti manufaktur
dan pertanian. Kondisi ini diperparah dengan masih berlakunya sistem alih daya
(out sourcing) dalam perekrutan
tenaga kerja dimana pengusaha bisa sewaktu-waktu memecat pekerja.
Akibat Kebijakan
Sebab
ketiga dari makin memburuknya distribusi pendapatan di Indonesia adalah akibat
kesalahan kebijakan pemerintah. Salah satu contoh kebijakan pemerintah yang
memperburuk distribusi pendapatan adalah pemberian subsidi BBM dan listrik.
Kepala Badab Kebijakan Fiskal Kementrian Keuangan, Bambang Brojonegoro,
mengatakan bahwa untuk APBNP 2012
dibutuhkan tambahan untuk subsidi BBM sebesar 79,4 triliun rupiah. Tambahan itu
diperlukan karena dalam APBNP subsidi BBM hanya dianggarkan Rp 137,4 triliun
tetapi hingga akhir tahun 2012 diperkirakan subsidi membengkak hingga Rp 216,8
triliun. Demikian juga subsidi listrik, menurut Bambang, dibutuhkan tambahan
anggaran sebesar Rp 103,5 triliun. Jadi tambahan subsidi BBM plus listrik untuk
APBNP 2012 sebesar Rp 305,9 triliun. (SM, 6/10/2012). Padahal subsidi BBM dan listrik yang kian
besar itu sebagian besar dinikmati oleh golongan menengah ke atas.
Kebijakan
subsidi lain yang kurang mengena pada sasaran adalah subsidi pupuk. Studi yang
dilakukan oleh Osario, Abriningrum, Armas, dan Fidaus (2011) menunjukkan bahwa 65
persen petani termiskin hanya menerima subsidi pupuk sebesar 3 persen dari
total subsidi pupuk yang diberikan pemerintah. Sedangkan 5 persen petani
terkaya menerima 90 persen subsidi pupuk. Hal tersebut ditengarai disebabkan
oleh akses petani kaya kepada oknum pemerintah dan distributor pupuk yang lebih
besar dibanding petani miskin dan juga modal yang besar dari petani kaya
memungkinkan mereka menumpuk pupuk dalam jumlah besar di gudangnya.
Ketidaktepatan
sasaran pemberian subsidi BBM, Listrik, dan pupuk mempertimpang distribusi
pendapatan lewat dua jalur. Jalur pertama, memperkuat daya ekonomi (daya usaha
dan pendapatan) golongan kaya karena pengeluaran mereka bisa ditekan lewat
subsidi yang mereka nikmati. Dan jalur kedua, lewat pengeluaran dalam APBN yang
sebenarnya bisa untuk program pengentasan kemiskinan atau program lain yang pro
rakyat miskin tetapi salah alokasi untuk subsidi bagi golongan yang seharusnya
tidak menerima.
Bagaimana Memperbaiki?
Lalu
bagaimana memperbaiki distribusi pendapatan Indonesia yang kian timpang?
Pertama, harus ada kebijakan untuk
meredistribusi asset agar golongan tidak mampu bisa memperoleh asset sebagai
modalnya untuk berusaha. Redistribusi lahan yang merupakan asset utama di
sektor pertanian sebenarnya sudah ada undang-undangnya yaitu Undang-Undang
Pokok Agraria (UUPA), tinggal bagaimana pemerintah mulai berani menerapkannya.
Cara lain adalah dengan membentuk pertanian kolektif seperti di RRC dimana
lahan-lahan pertanian yang sempit dijadikan satu (dikonsolidasikan) lalu
dikerjakan secara bersama dan hasilnya dibagi bersama. Pada sektor yang lain,
apa yang sudah dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur dengan membentuk
Badan asuransi Kredit bagi UMKM bisa dicontoh pemerintah daerah yang lain. Dengan
adanya badan tersebut maka akan meningkatkan akses UMKM terhadap kredit usaha
yang diberikan oleh bank.
Kedua, meminimalkan bertambahnya pekerja di
sektor informal. Hal tersebut bisa dilakukan dengan mendorong pertumbuhan
sektor produksi (pertanian dan industri) sehingga bisa menyerap lebih banyak tenaga kerja.
Untuk sektor pertanian misalnya dengan mendorong petani beralih ke tanaman yang
nilai ekonomisnya lebih tinggi misalnya ke tanaman hortikultura. Pembatasan
atau penghapusan sistem alihdaya (outsourcing) bisa pula dipertimbangkan agar
tidak mudah terjadi PHK yang kemudian mendorong orang bekerja di sektor
informal.
Ketiga,
penghapusan subsidi BBM dan listrik dan diganti dengan program lain yang lebih
tepat sasaran bagi rakyat miskin perlu dilakukan. Pemerintah harus berani
melakukan hal ini meskipun ini langkah yang secara politik tidak populer., toh
Presiden SBY tidak mungkin terplih lagi di tahun 2014. Inilah kesempatan
membuktikan bahwa ia berani mengambil langkahtidak populer demi kepentingan
lebih besar.
Langganan:
Postingan (Atom)