PELAKU pasarlah yang akhirnya ’’menghukum’’ pemerintah Indonesia sehingga nilai tukar rupiah terhadap dolar AS melemah, bahkan menyentuh batas psikologis, yaitu Rp 10.000 per dolar AS. Sudah habis batas kesabaran pelaku pasar ketika melihat tak ada kepekaan dari pemerintah terhadap krisis.
Wujud hukuman itu, mereka menarik dana dolar dari Indonesia karena ketiadaan kepekaan itu mereka anggap ibarat menyimpan api dalam sekam yang sewaktuwaktu bisa berkobar. Ketiadaan kepekaan dari pemerintah terhadap kemungkinan terjadi krisis dapat dilihat dari dua hal. Pertama; penundaan pengumuman kenaikan harga BBM.
Bahkan pemerintah melempar tangung jawab itu ke DPR dengan menyatakan kenaikan harga BBM akan sangat tergantung dari persetujuan tentang APBN Perubahan (APBN-P) 2013, dan nilai anggaran itu ikut menentukan besar dana kompensasi.
Kenyataannya, meski DPR sudah memberikan beberapa sinyal besarnya dana kompensasi yang akan diberikan lewat APBN-P 2013, tetap saja pemerintah tak tegas dan tak cepat mengambil keputusan kapan menaikkan harga BBM. Pemerintah malah sibuk mengurusi perdamaian dengan partai koalisi yang dianggap lebih penting ketimbang memutuskan kenaikan harga BBM.
Di sisi lain, kenaikan harga BBM sudah mendesak dilakukan karena beban APBN makin berat. Sejak 2009, harga BBM tidak pernah lagi dinaikkan padahal harga minyak dunia cenderung selalu naik mengingat minyak adalah sumber daya alam yang tak dapat diperbaharui sehingga ada keterbatasan pasokan. Ironisnya, kita terpaksa mengimpor minyak yang kemudian dijual murah di dalam negeri dengan memberikan subsidi.
Akibatnya pada kuartal I-2013 kita mengimpor minyak senilai 10,8 miliar dolar AS dari sebelumnya 9,9 miliar dolar AS pada kuartal I- 2012. Hal itu menciptakan defisit pada neraca migas 6,5 miliar dolar AS. Indikasi kedua ketiadaan kepekaan pemerintah terhadap krisis bisa kita lihat dari dibiarkannya kursi menteri keuangan kosong beberapa saat. Sektor keuangan seolah-olah dibiarkan berjalan sendiri (auto-pilot), padahal itu merupakan sektor yang strategis dan bersifat labil secara alamiah.
Sektor keuangan memerlukan figur seorang pemimpin yang jelas. Indikator Krisis Padahal beberapa indikator menunjukkan ekonomi Indonesia berada di tepi jurang krisis. Pertama; defisit neraca transaksi berjalan melonjak hampir 70% dari 3,1 miliar dolar AS pada kuartal I- 2012 menjadi 5,2 miliar dolar pada kuartal I- 2013. Kedua; neraca modal yang semula surplus sehingga bisa menutup defisit neraca transaksi berjalan sampai pada kuartal IV- 2012, kini juga sudah mengalami defisit 1,3 miliar dolar. Ketiga; jumlah cadangan devisa juga lambat laun menyusut.
Jika pada akhir 2012 cadangan devisa Indonesia 112,7 miliar dolar AS, dalam tiga bulan pada 2013, jumlah cadangan devisa kita menyusut, tinggal 104,8 miliar dolar. Merosotnya cadangan devisa ini ditengarai karena digunakan menjaga stabilitas nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dan untuk mengimpor migas.
Kemerosotaan cadangan devisa membentuk indikator krisis yang keempat, yang bakal kita hadapi.
Indikator itu adalah rasio utang luar negeri jangka pendek terhadap cadangan devisa di kuartal I-2013 akan naik menjadi 50,6% dari posisi sebelumnya pada kuartal IV-2012 sebesar 48,5%. Arti angka 50,6% ini adalah seandainya terjadi kepanikan pasar maka para pemberi utang luar negeri jangka pendek akan menarik pinjamannya, dan itu berarti cadangan devisa kita berkurang 50,6% atau tinggal separuh.
Cadangan devisa yang tinggal separuh itu tentu jauh dari batas aman cadangan devisa menurut versi IMF karena kurang mencukupi untuk kebutuhan pembayaran impor selama tiga bulan. Akibatnya tentu lebih runyam lagi. Pelajaran Mahal Pelajaran yang bisa ditarik dari persoalan itu adalah jangan menunda-nunda keputusan strategis yang bisa menciptakan ketidakpastian. Pemerintah harus menyadari bahwa tiap keputusan tentu ada ’’harga’’-nya. Keraguraguan dalam pengambilan keputusan malah menciptakan ’’harga’’yang jauh lebih mahal.
Kita sedikit bersyukur karena berbeda dari pemerintah, Bank Indonesia (BI) sudah lebih dahulu mengambil kebijakan dengan menaikkan BI rate dari posisi semula 5,75% menjadi 6%. Harapannya, pemegang dolar AS akan melepaskan uang itu, dan berpindah ke simpanan, tabungan, atau deposito dalam wujud rupiah. Dengan pelepasan dolar AS ke pasar uang Indonesia maka pasokan dolar AS di pasar uang Indonesia bertambah sehingga nilai tukar dolar AS terhadap rupiah turun atau nilai tukar rupiah terhadap dolar AS pun ikut naik.
Bank sentral lebih menyadari bahwa keputusan menaikkan BI rate ada ’’biaya’’- nya, yaitu peningkatan suku bunga kredit yang membuat biaya investasi lebih mahal. Tetapi dalam posisi darurat, yaitu kecenderungan merosotnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, keputusan itu harus diambil.
Kebijakan BI yang selalu menaikkan BI rate jika rupiah terdepresiasi terhadap dolar AS tentu harus dibarengi kebijakan yang lebih kreatif, semisal bagaimana menarik dolar AS milik orang Indonesia yang ‘parkir’ di luar negeri, lewat cara membebaskan pajak bunga simpanan, tabungan, dan deposito untuk dana dolar yang ’’pulang’’itu.