Menkeu M Chatib Basri baru-baru ini kembali melontarkan ide
mengenai asuransi bencana alam sehubungan banyaknya bencana alam yang terjadi
di Indonesia, termasuk di Jateng.
Pengelolaannya yaitu pemerintah lewat APBN membayar premi dan
asuransi tersebut dilaksanakan oleh perusahaan besar asuransi, biasanya
perusahaan asing.
Idenya itu dilandasi fakta bahwa dana APBN tidak pernah cukup
untuk membiayai penanggulangan bencana alam. Sebagai contoh dalam APBN 2014,
dana untuk Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) hanya dialokasikan Rp 3
triliun. Padahal dana yang dibutuhkan untuk penanggulangan bencana bisa puluhan
triliun rupiah.
Namun pelaksanaan asuransi bencana alam yang preminya dibayar
oleh pemerintah tersebut masih menghadapi persoalan landasan hukum. Misalnya
saja, andai tidak ada bencana alam, pemerintah tetap harus membayar premi
asuransi.
Pertanyaannya, apa landasan hukumnya? Dasar hukum yang selama
ini digunakan untuk penanggulangan bencana adalah UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang
Penanggulangan Bencana (UUPB) dan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008
tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana.
Dalam PPtersebut ada empat bidang penyelenggaraan penanggulangan
bencana, yaitu pengurangan risiko bencana, penanggulangan tanggap darurat,
rehabilitasi dan rekonstruksi, serta penatakelolaan bencana. Sayang, dua
regulasi itu sama sekali tak menyinggung asuransi bencana alam.
Padahal asuransi bisa berperan dalam mitigasi, rehabilitasi, dan
rekonstruksi bencana alam. Beberapa jenis asuransi bisa memberi ganti rugi
dampak bencana, yaitu asuransi harta benda, kendaraan bermotor, asuransi
kesehatan, dan asuransi jiwa. Sebenarnya ada solusi untuk menjembatani.
Pertama; dalam jangka panjang perlu merevisi UU dan PP tersebut.
Pemerintah secara eksplisit perlu memasukkan perihal asuransi
untuk bencana alam yang preminya ditanggung pemerintah lewat APBN, dan mungkin
juga APBD.
Kedua; pemerintah mewajibkan masyarakat mengasuransikan harta
bendanya, misal rumah. Ini memang bukan perkara mudah. Di Amerika Serikat (AS)
yang dianggap sudah melek asuransi saja tidak semua orang mengasuransikan
rumahnya. Data hasil riset National Hurricane Survival Initiative menunjukkan
bahwa kurang 50% rumah di AS di wilayah yang rentan badai diasuransikan.
Pemanfaatan CSR
Hal yang sama terjadi di Jepang. Klaim asuransi gempa di Kobe
pada Januari 1995 ternyata hanya 5 persen dari total kerugian. Mungkin kita
bisa mencontoh inisiatif pemerintah di Turki yang mewajibkan asuransi bencana
alam bagi pemilik ruko, rumah, dan apartemen.
Bencana yang sering terjadi di Turki adalah gempa bumi. Untuk
asuransi kesehatan, yang dilakukan pemerintah lewat BPJS sudahlah tepat. Hanya
untuk asuransi jiwa, barangkali perlu digiatkan lagi.
Ketiga; pemerintah bisa bekerja sama dengan swasta untuk
memanfaatkan dana tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social
responsibility atau CSR). Selama ini dana CSR sangat besar namun penggunaannya
tidak terarah karena bergantung perusahaan bersangkutan.
Supaya penggunaannya lebih terarah, pemerintah pusat, termasuk
Pemprov Jateng, sebenarnya bisa mengarahkan. Hanya berdasarkan wawancara dan
pengamatan di lapangan, aparatur pemerintah takut melakukan karena belum ada
landasan hukumnya sehingga takut dianggap korupsi.
Mungkin perlu payung hukum sehingga ada dasar hukum bagi
pemerintah pusat dan pemda untuk mengoordinasikan penggunaan dana CSR, antara
lain untuk penganggulangan bencana. Keempat; pemerintah bisa menerbitkan
obligasi atau surat utang pemerintah untuk penanggulangan bencana. Obligasi atau
surat utang negara tersebut kemudian bisa diperjualbelikan di pasar modal.
Di luar negeri, obligasi demikian sering disebut catastrophic
bond. Ini bisa menjadi sumber pendanaan penanggulangan bencana mendampingi dana
risiko fiskal di APBN yang sudah dinyatakan wajar tanpa syarat oleh BPK. (10)
— Dr Nugroho SBM MSi, dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis
Universitas Diponegoro Semarang