PEMERINTAH kembali menurunkan harga premium menjadi Rp 6.500 per liter dari harga Rp 7.600 per liter. Ini adalah penurunan kedua setelah penurunan pertama dari Rp 8.500 per liter menjadi Rp 7.600 per liter. Hal itu dilakukan setelah harga minyak dunia kembali turun menjadi 46 dolar AS per barel.
Banyak pihak kemudian ’’menyalahkan’’ pemerintah dengan mengatakan bahwa mestinya pemerintah tidak perlu cepatcepat menaikkan harga BBM dari Rp 6.500 menjadi Rp 8.500 pada 18 November 2014. Pasalnya, pemerintah pasti sudah mengetahui tren bahwa harga minyak dunia akan terus turun.
Tren turunnya harga minyak dunia tersebut disebabkan oleh beberapa faktor antara lain, meningkatnya pasokan (supply) minyak dunia karena keputusan negara-negara OPEC mempertahankan kuota produksi; ditemukannya metode baru pembuatan minyak di AS dengan cara memanaskan bebatuan (disebut shade oil); kemenguatan nilai tukar dolar AS terhadap hampir semua mata uang dunia; serta menurunnya permintaan minyak dunia karena lesunya ekonomi Eropa, Tiongkok, Jepang, dan India.
Pihak-pihak yang ’’menyalahkan’’ kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM premium dari Rp 6.500 pada 18 November 2014 tersebut juga mengatakan akibat negatif dari kebijakan itu ikut menyumbang tingginya tingkat inflasi tahun 2014 sebesar 8,36 persen. Menurut saya kebijakan menaikkan harga BBM pada 18 November 2014 tidaklah salah.
Pertama; bagaimanapun pemerintah harus mencabut subsidi BBM yang pada APBN 2014 sudah mencapai Rp 250 triliun. Jika tidak dicabut, subsidi BBM di APBN 2015 bisa mencapai Rp 300 triliun, bahkan lebih. Besarnya subsidi BBM menimbulkan persepsi negatif di kalangan pelaku pasar modal dan pasar uang. Para pemilik uang akan segera mengalihkan dolarnya kembali ke AS karena ekonomi negara adidaya itu sedang dalam proses pemulihan.
Kedua; sebenarnya siapa pun tak pernah menduga bahwa harga minyak dunia akan terus turun seperti sekarang. Pada saat pemerintah menaikkan harga BBM jadi Rp 8.500 per liter dari Rp 6.500 pada 18 November 2014 masih ada keyakinan kuat bahwa harga minyak dunia akan kembali normal menjadi sekitar 80-90 dolar AS per barel. Kenyataan ternyata berbicara lain karena harga minyak dunia cenderung terus turun dan kini sampai 46 dolar AS per barel.
Operasi Pasar
Penurunan harga BBM premium sampai dua kali, bahkan di masa mendatang akan bisa turun lagi atau sebaliknya kembali dinaikkan sesuai dengan fluktuasi harga minyak dunia mem a n g membuat banyak kalangan terkejut atau heran. Mereka tidak terbiasa menerima penurunan harga BBM berkali-kali, bahkan nanti juga kemungkinan kembali naik. Lalu apa yang harus dilakukan pemerintah? Pertama; melakukan sosialisasi kepada masyarakat bahwa harga BBM bisa naik-turun mengikuti harga minyak dunia. Faktor lain yang diperhitungkan pemerintah untuk menaikkan/menurunkan harga BBM adalah nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.
Jika dolar AS menguat terhadap rupiah atau rupiah melemah terhadap dolar AS maka harga BBM akan naik, dan sebaliknya. Pengguna solar untuk industri dan pertamax sudah terbiasa dengan fluktuasi harga seperti itu dan tidak kaget. Kedua; yang menjadi masalah memang adalah bahwa kenaikan premium menyebabkan kenaikan harga barang-barang lain. Celakanya, ketika harga premium sudah turun, harga-harga barang lain itu tidak ikut turun. Hal ini memang sifat dari harga yaitu ’’fleksibel ketika naik, tetapi kaku ketika harus turun’’.
Untuk itu, kebijakan yang harus diambil adalah kalau yang mengalami kenaikan itu adalah harga barang-barang kebutuhan pokok maka pemerintah lewat Bulog bisa melakukan operasi pasar dengan menjual barang-barang kebutuhan pokok yang harganya naik. Operasi pasar selama ini sering salah sasaran karena dilakukan di pasar-pasar dan yang membeli justru pedagang pasar yang memiliki modal besar.
Seyogianya operasi pasar dilakukan di lingkungan perumahan agar pembelinya rumah tangga yang terkena dampak langsung dari kenaikan harga barang-barang kebutuhan pokok. Hal lain yang perlu dilakukan adalah mencermati ulah spekulan yang memanfaatkan situasi dengan menaikkan harga barang melebihi kewajaran dan menimbun barang. Di tiap daerah sudah ada tim pengendali inflasi daerah (TPID) yang anggotanya merupakan gabungan dari berbagai lembaga, termasuk penegak hukum seperti kepolisian.
Polisi bisa menindak para spekulan ini karena ada landasan hukumnya, yaitu UU tentang Pergudangan. Regulasi itu menyebutkan bahwa pihak yang bisa/boleh menimbun barang di gudang adalah mereka yang memiliki izin pergudangan. Pihak yang tidak memiliki izin itu andai menimbun barang bisa dikategorikan melanggar hukum atau menjalankan praktik spekulan yang akan berhadapan dengan hukum. (10)
— Dr Nugroho SBM MSi, dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) Universitas Diponegoro (Undip) Semarang