Oleh: Nugroho SBM
Tanggal 9 Desember ditetapkan sebagai Hari Anti Korupsi sedunia. Pertanyaan utama yang muncul adalah mengapa perlu menjadikan korupsi musuh seluruh dunia? Ada beberapa penulis dan peneliti yang menganalisis baik secara teoritik maupun empirik dari sudut ekonomi tentang kerugian, biaya, atau dampak negatif yang diakibatkan oleh korupsi. Berikut beberapa di antaranya.
Pertama, korupsi telah mengurangi pertumbuhan ekonomi. Hal ini ditemukan antara lain oleh riset yang dilakukan Paulo Mauro (1995 dan 1997) di 70 negara. Korupsi mengurangi pertumbuhan ekonomi karena dengan korupsi maka investasi (asing dan dometik) tersendat. Investasi tersendat karena korupsi dari perspektif investor (asing dan domestik) telah menciptakan ekonomi biaya tinggi. Dan ekonomi biaya tinggi merupakan biaya tambahan bagi investor sehingga investor akan berpikir dua kali untuk melakukan investasi.
Di samping akan mengurungkan niatnya untuk berinvestasi, korupsi juga akan mengurangi produktivitas investor yang telah melakukan investasi. Penelitian Arthur dan Teal (2004) terhadap perusahaan-perusahaan di Afrika menemukan bahwa produktivitas perusahaan-perusahaan yang membayar suap ternyata hanya 2/3 (duapertiga) dari perusahaan yang tidak membayar suap. Jika produktivitas perusahaan rendah akibat korupsi maka pertumbuhan ekonomi- yang merupakan pertumbuhan produksi nasional – juga akan mengalami penurunan
Kedua, korupsi telah membuat alokasi yang salah dalam penempatan sumberdaya manusia. Karena alokasi yang salah tersebut maka timbul implikasi lanjutannya misalnya: ketimpangan pertumbuhan antar sektor dan antar daerah. Kenyataan ini ditemukan dalam riset yang dilakukan oleh Murphy, K, Shieller A, dan Vishny (1991). Hasil temuan ketiganya menunjukkan bahwa karena motivasi ingin kaya lewat korupsi maka banyak sumberdaya manusia yang berbakat yang bekerja di sektor dan daerah yang “basah”. Akibatnya sektor dan daerah lain yang sebenarnya membutuhkan sumber-sumberdaya manusia yang berbakat tetapi “tidak basah” tertinggal karena tidak mendapatkan alokasi sumberdaya manusia berbakat yang memadai.
Menciptakan Kesenjangan
Ketiga, korupsi telah meningkatkan kesenjangan sosial dan distribusi pendapatan. Fakta ini dikemukakan oleh Akhil Gupta (1995). Menurut Gupta korupsi telah menciptakan kesenjangan sosial dan distribusi pendapatan karena dengan korupsi telah terjadi pemindahan dana dari masyarakat umum kepada sekelompok kecil orang yang memegang kekuasaan (baik kekuasaan ekonomi maupun politik). Padahal dana yang dipindahkan tersebut tidaklah kecil jumlahnya sehingga sekelompok kecil orang yang punya kekuasaan makin kaya sementara sekelompok besar orang miskin akan makin miskin.
Jalur lain dari terciptanya kesenjangan distribusi pendapatan – masih menurut Gupta – lewat dikorupsinya berbagai bantuan untuk orang miskin. Korupsi dana pengentasan kemiskinan telah membuat upaya pengentasan kemiskinan terkurangi efektivitasnya sehingga jumlah orang miskin tak terkurangi secara signifikan. Dengan demikian ketimpangan distribusi pendapatan juga tak terkurangi secara signifikan.
Keempat, korupsi menciptakan ketidakstabilan politik. Hal ini dikemukan oleh Gupta (1995) merupakan kelanjutan dari dampak ketiga yaitu adanya kesenjangan sosial. Di beberapa negara kesenjangan sosial dan ketimpangan distribusi pendapatan telah memicu kerusuhan-kerusuhan sosial. Akibat kerusuhan sosial tersebut maka resiko negara (Country Risk) akan naik . Naiknya resiko negara akan menyebabkan larinya modal dan devisa ke luar negeri. Akibat berikutnya negara tersebut akan mengalami krisis nilai tukar mata uangnya dan pada akhirnya akan megalami krisis ekonomi yang lebih menyengsarakan.
Kelima, terabaikannya penyediaan barang-barang publik yang seharusnya menjadi hak rakyat. Pernyataan tersebut terungkap pada studi Jan K Bruner (2000) dengan mengambil studi kasus pada beberapa negara sedang berkembang. Dalam studi tersebut terungkap bahwa korupsi telah mengurangi dana untuk pembiayaan berbagai jasa dan barang publik seperti: sarana dan prasarana pendidikan, sarana dan prasarana kesehatan, dan lain-lain. Akibatnya baik kuantitas maupun kualitas berbagai barang dan jasa publik tersebut juga terkurangi.
Investasi Besar Pada Projek Militer
Keenam, yang menarik adalah korupsi di beberapa negara telah mendorong investasi atau pengeluaran yang berlebihan untuk projek-projek militer, padahal mungkin akan lebih berguna jika uang itu diinvestasikan untuk projek-projek untuk kepentingan masyarakat umum. Hal itu terungkap dari riset yang dilakukan oleh Vito Tanzi (1998).
Menurut Tanzi, kecenderungan demikian terjadi karena biasanya projek-projek militer sifatnya tertutup atau tidak transparan. Ketidaktransparanan tersebut akan memancing terjadinya korupsi dalam proses tender maupun pembangunan projek-projek militer tersebut.
Ketujuh, korupsi cenderung mengabaikan barang-barang modal yaitu sarana dan prasarana publik yang sudah ada yang susah payah dibangun. Dalam penelitian Tanzi (1998) yang sama, terungkap bahwa pejabat-pejabat pemerintah lebih senang membangun sarana dan parsarana publik yang baru daripada menyediakan dana pemeliharaan untuk sarana dan parasarana publik yang sudah ada. Sebabnya jelas dengan pembangunan baru maka kesempatan untuk melakukan korupsi lebih besar misalnya lewat permainan dalam tender.
Kedelapan, korupsi juga akan mendorong ke arah pembangunan projek-projek yang tidak ada manfaatnya secara langsung untuk masyarakat. Hal ini sama kasusnya dengan korupsi yang mendorong projek-projek militer yang berlebihan seperti telah ditulis di depan.
Kesembilan, korupsi tentu saja juga akan secara langsung mengurangi penerimaan pemerintah baik dari pajak, retribusi, maupun dari penerimaan-penerimaan bukan pajak. Karena pejabat pemerintah yang memungut berbagai penerimaan pemerintah tersebut melakukan negosiasi dengan wajib pajak atau wajib bayar sehingga si wajib pajak atau wajib bayar membayar kewajibannya di bawah yang seharusnya ditentukan.
Memberantas Korupsi
Melihat berbagai dampak negatif korupsi tersebut bagaimanapun korupsi di Indonesia harus diberantas. Ada beberapa langkah yang bisa ditempuh. Pertama, pembenahan aparatur negara terutama dari segi kesejahteraan dan mental memang harus terus dilakukan karena rendahnya gaji pegawai negeri dan mental yang buruk merupakan salah satu sebab terjadinya korupsi di Indonesia. Kedua, pembenahan administrasi dalam pelayanan publik misalnya pendirian kantor-kantor pelayanan satu atap (One Stop Service) dalam pelayanan investasi perlu dipercepat di semua daerah. Karena birokrasi yang berbelit merupakan salah satu penyebab terjadinya korupsi di Indonesia.
Ketiga, mendorong partisipasi usaha swasta untuk ikut memberantas korupsi. Caranya salah satunya adalah dengan memberi penghargaan bagi perusahaan yang berani melaporkan adanya tindak korupsi yang dilakukan oleh aparat pemerintah.
Keempat, mendorong lebih besarnya partisipasi wanita dalam berbagai kegiatan khususnya kegiatan pemerintahan. Sebab menurut berbagai hasil penelitian antara lain penelitian Anand Swammy (2000), wanita cenderung lebih tidak korup dibanding laki-laki.
(Nugroho SBM, Staf Pengajar FE Undip dan sedang menulis Disertasi tentang Korupsi di Program Doktor Ilmu Ekonomi Undip)
Blog ini berisi tulisan ilmiah populer dan komentar di berbagai media massa tentang masalah-masalah sosial ekonomi yang sedang dan akan terjadi di Indonesia
Selasa, 22 Desember 2009
Senin, 07 Desember 2009
KORUPSI HAMBAT INVESTASI
Oleh: Nugroho SBM
Pemerintah mematok pertumbuhan ekonomi lima tahun ke depan (2010-2014) setiap tahunnya rata-rata 7 persen. Sebuah angka yang cukup optimistis tetapi sebenarnya kurang realistis. Kurang realistis sebab pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2009 ini saja hanya diperkirakan 4,4 persen. Meskipun angka pertumbuhan ekonomi tersebut terbilang cukup tinggi karena Indonesia termasuk tiga negara di dunia yang angka pertumbuhan ekonominya di tahun 2009 masih positif di tengah negatifnya angka pertumbuhan ekonomi hampir semua negara karena krisis keuangan global yang belum pulih. Tiga negara yang pertumbuhan ekonominya positif tersebut adalah India, China, dan Indonesia.
Untuk mencapai angka pertumbuhan rata-rata 7 persen setiap tahun tersebut dibutuhkan dana yang cukup besar. Pada tahun 2010, menurut versi pemerintah, untuk mencapai angka pertumbuhan ekonomi 7 persen dibutuhkan dana sebesar Rp 2.000 trilyun. Sementara menurut versi Kadin kebutuhan dana tersebut jauh lebih tinggi yaitu Rp 2.900 trilyun.
Masih menurut versi pemerintah, dana Rp 2.000 trilyun tersebut akan diperoleh dari : APBN sebesar Rp 200 trilyun, kredit perbankan Rp 450 trilyun, pasar modal Rp 400 trilyun, investasi domestik Rp. 400 trilyun, dan investasi asing Rp. 500 trilyun.
Di antara berbagai sumber dana untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi 7 persen tersebut, yang paling berat adalah menggaet dana dari investasi domestik dan investasi asing. Sebabnya jelas yaitu ada berbagai hambatan dalam menggaet investasi, dan satu di antaranya yang paling besar adalah korupsi yang saat ini sedang ramai dibicarakan karena permusuhan antara KPK dan Polri.
Definisi Korupsi
Meskipun merupakan hambatan yang besar bagi dunia usaha atau investasi, yang tidak hanya di Indonesia tetapi juga di negara lain, sesungguhnya mencari definisi yang tepat tentang korupsi bukanlah pekerjaan mudah. Definisi korupsi akan sangat tergantung dari budaya masyarakat di suatu negara. Di negara-negara dengan adat timur seperti China, Korea, dan Taiwan dimana bisnis bersifat informal, ada kebiasaan yang dinamakan guanxi (Chen, 1994) yaitu kebiasaan memberi hadiah oleh usahawan kepada teman baik sesama usahawan maupun kepada pejabat publik. Tindakan tersebut tidak dikategorikan sebagai suap atau gratifikasi yang merupakan salah satu bentuk korupsi yang di banyak negara dilarang. Sementara itu, di negara-negara barat dimana hukum lebih tegas dan formal, pemberian hadiah dikategorikan sebagai gratifikasi atau suap dan oleh karenanya dilarang.
Konferensi Malta 1994 , mendefinisikan korupsi dengan sangat luas yaitu tindakan yang berbau kecurangan. Dengan definisi tersebut maka tindakan yang dikategorikan sebagai korupsi tidak hanya yang secara yuridis formal melanggar hukum tetapi juga tindakan yang secara moral kurang patut.
Sejalan dengan Konferensi Malta 1994, Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989), mendefinisikan korupsi secara luas yaitu penyelewengan atau penggelapan uang negara, uang perusahaan, dan lainnya untuk keuntungan pribadi atau orang lain.
Sedangkan menurut UU Nomer 20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi membagi tindak pidana korupsi menjadi 2 yaitu tindak pidana korupsi yang diatur dalam KUHP dan yang diatur di luar KUHP.
Tindakan pidana korupsi yang diatur dalam KUHP yaitu penyuapan, penggelapan, pemerasan, dan pengaduan terhadap pekerjaan rekanan. Sedangkan tindak pidana korupsi yang diatur di luar KUHP adalah tindak pidana korupsi umum, penyalah gunaan kewenangan atau kekuasaan, memberi hadiah dengan mengingat kekuasaan, permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi, sengaja menggagalkan penanganan tindak pidana korupsi, dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar dalam perkara korupsi, serta membeberkan identitas pelapor tindak pidana korupsi
Korupsi dan Dunia Usaha
Bagi dunia usaha korupsi punya dampak yang merugikan. Pertama, korupsi memperbesar biaya perusahaan karena perusahaan harus membayar biaya-biaya tidak resmi dan biaya tambahan karena tindakan korupsi. Penelitian Mudrajad Kuncoro (2004) pada industri berorientasi ekspor yang padat karya di 10 Kabupaten/Kota di Indonesia menemukan bahwa biaya tambahan karena korupsi mencapai 7,3 persen dari biaya perusahaan. Sedangkan penelitian Ari Kuncoro (2001) pada 1.736 perusahaan di 285 kabupaten dan kota di Indonesia menemukan besarnya biaya tambahan sebagai akibat tindakan korupsi mencapai 10 persen dari biaya total perusahaan. Besarnya biaya tambahan ini tentu akan mengurangi keuntungan dan efisiensi perusahaan. Sebuah penelitian menarik di Afrika yang dilakukan oleh Arthur dan Teal (2004) menemukan bahwa produktivitas perusahaan yang membayar suap hanya 2/3 dari perusahaan yang tak pernah membayar suap.
Kedua, sebagai dampak lebih lanjut dari biaya tambahan sebagai akibat tindakan korupsi tersebut, perusahaan biasanya akan menggeser beban biaya tambahan ini pada konsumen dengan cara menaikkan harga barang yang dijualnya. Kenaikan harga barang ini akan mengurangi daya beli konsumen. Karena daya beli konsumen turun maka pada akhirnya pengusaha juga akan menanggung akibatnya berupa penurunan omset penjualan.
Ketiga, biaya tambahan sebagai akibat tindakan korupsi yang harus ditanggung oleh pengusaha ternyata lebih “merugikan” dibandingkan pajak. Dalam tulisannya yang menarik berjudul “Why is Corruption So Much More Taxing Than Tax”(Mengapa Korupsi Lebih Memajaki daripada Pajak?) sebagai hasil penelitiannya di 45 negara, Shang Jin Wei (1997) menyatakan bahwa korupsi lebih merugikan daripada pajak karena biaya tambahan sebagai hasil korupsi tidak diimbangi dengan balas jasa apapun dari oknum pemerintah. Sementara jika pengusaha membayar pajak, ia akan mendapatkan balas jasa berupa pelayanan publik dan infrastruktur yang dibutuhkannya untuk menjalankan usahanya.
Karena ketiga dampak korupsi yang merugikan dunia usaha tersebut maka tidak heran jika korupsi merupakan hambatan yang cukup serius bagi investasi baik yang berasal dari dalam negeri maupun investasi asing. Berbagai penelitian menunjukkan hal itu. Penelitian Shang Jin Wei seperti dikutip di atas menemukan bahwa korupsi berdampak negatif terhadap investasi asing. PenelitianHines (1995) di AS menghasilkan hasil yang sama. Demikian pula penelitian Daniel Kaufmann (1997) di Ukraina dan Rusia juga menyimpulkan hal yang sama yaitu korupsi berdampak negatif terhadap investasi asing.
Karena berdampak negatif terhadap investasi padahal investasi adalah motor penggerak pertumbuhan ekonomi maka korupsi berdampak negatif pula terhadap pertumbuhan ekonomi. Penelitian Paulo Mauro (1997) di 70 negara menemukan bahwa korupsi berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Demikian juga penelitian Vito Tanzi (1998) di beberapa negara sedang berkembang menemukan hal yang sama.
Dengan menggunakan data Indeks Persepsi Korupsi di 21 daerah di Indonesia hasil survai Transparency International Indonesia (2004) dan PDRB per kapita di 21 daerah yang menjadi sampel tersebut, saya pernah menganalisis pengaruh korupsi dan pertumbuhan ekonomi daerah dengan menggunakan regresi. Hasil regresi menunjukkan bahwa korupsi berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi daerah.
Memberantas Korupsi
Melihat bahwa korupsi berdampak negatif terhadap investasi dan akhirnya pertumbuhan ekonomi, padahal investasi sangat dibutuhkan untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi 7 persen per tahun maka bagaimanapun korupsi di Indonesia harus diberantas. Ada beberapa langkah yang bisa ditempuh. Pertama, pembenahan aparatur negara terutama dari segi kesejahteraan dan mental memang harus terus dilakukan karena rendahnya gaji pegawai negeri dan mental yang buruk merupakan salah satu sebab terjadinya korupsi di Indonesia. Kedua, pembenahan administrasi dalam pelayanan publik misalnya pendirian kantor-kantor pelayanan satu atap (One Stop Service) dalam pelayanan investasi perlu dipercepat di semua daerah. Karena birokrasi yang berbelit merupakan salah satu penyebab terjadinya korupsi di Indonesia.
Ketiga, mendorong partisipasi usaha swasta untuk ikut memberantas korupsi. Caranya salah satunya adalah dengan memberi penghargaan bagi perusahaan yang berani melaporkan adanya tindak korupsi yang dilakukan oleh aparat pemerintah.
Keempat, mendorong lebih besarnya partisipasi wanita dalam berbagai kegiatan khususnya kegiatan pemerintahan. Sebab menurut berbagai hasil penelitian antara lain penelitian Anand Swammy (2000), wanita cenderung lebih tidak korup dibanding laki-laki.
(Nugroho SBM, Staf Pengajar FE Undip Semarang, sedang menulis Disertasi tentang Korupsi di Program Doktor FE Undip)
(Artikel ini sudah diterbitkan di Rubrik Wacana Harian SUARA MERDEKA Semarang)
Pemerintah mematok pertumbuhan ekonomi lima tahun ke depan (2010-2014) setiap tahunnya rata-rata 7 persen. Sebuah angka yang cukup optimistis tetapi sebenarnya kurang realistis. Kurang realistis sebab pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2009 ini saja hanya diperkirakan 4,4 persen. Meskipun angka pertumbuhan ekonomi tersebut terbilang cukup tinggi karena Indonesia termasuk tiga negara di dunia yang angka pertumbuhan ekonominya di tahun 2009 masih positif di tengah negatifnya angka pertumbuhan ekonomi hampir semua negara karena krisis keuangan global yang belum pulih. Tiga negara yang pertumbuhan ekonominya positif tersebut adalah India, China, dan Indonesia.
Untuk mencapai angka pertumbuhan rata-rata 7 persen setiap tahun tersebut dibutuhkan dana yang cukup besar. Pada tahun 2010, menurut versi pemerintah, untuk mencapai angka pertumbuhan ekonomi 7 persen dibutuhkan dana sebesar Rp 2.000 trilyun. Sementara menurut versi Kadin kebutuhan dana tersebut jauh lebih tinggi yaitu Rp 2.900 trilyun.
Masih menurut versi pemerintah, dana Rp 2.000 trilyun tersebut akan diperoleh dari : APBN sebesar Rp 200 trilyun, kredit perbankan Rp 450 trilyun, pasar modal Rp 400 trilyun, investasi domestik Rp. 400 trilyun, dan investasi asing Rp. 500 trilyun.
Di antara berbagai sumber dana untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi 7 persen tersebut, yang paling berat adalah menggaet dana dari investasi domestik dan investasi asing. Sebabnya jelas yaitu ada berbagai hambatan dalam menggaet investasi, dan satu di antaranya yang paling besar adalah korupsi yang saat ini sedang ramai dibicarakan karena permusuhan antara KPK dan Polri.
Definisi Korupsi
Meskipun merupakan hambatan yang besar bagi dunia usaha atau investasi, yang tidak hanya di Indonesia tetapi juga di negara lain, sesungguhnya mencari definisi yang tepat tentang korupsi bukanlah pekerjaan mudah. Definisi korupsi akan sangat tergantung dari budaya masyarakat di suatu negara. Di negara-negara dengan adat timur seperti China, Korea, dan Taiwan dimana bisnis bersifat informal, ada kebiasaan yang dinamakan guanxi (Chen, 1994) yaitu kebiasaan memberi hadiah oleh usahawan kepada teman baik sesama usahawan maupun kepada pejabat publik. Tindakan tersebut tidak dikategorikan sebagai suap atau gratifikasi yang merupakan salah satu bentuk korupsi yang di banyak negara dilarang. Sementara itu, di negara-negara barat dimana hukum lebih tegas dan formal, pemberian hadiah dikategorikan sebagai gratifikasi atau suap dan oleh karenanya dilarang.
Konferensi Malta 1994 , mendefinisikan korupsi dengan sangat luas yaitu tindakan yang berbau kecurangan. Dengan definisi tersebut maka tindakan yang dikategorikan sebagai korupsi tidak hanya yang secara yuridis formal melanggar hukum tetapi juga tindakan yang secara moral kurang patut.
Sejalan dengan Konferensi Malta 1994, Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989), mendefinisikan korupsi secara luas yaitu penyelewengan atau penggelapan uang negara, uang perusahaan, dan lainnya untuk keuntungan pribadi atau orang lain.
Sedangkan menurut UU Nomer 20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi membagi tindak pidana korupsi menjadi 2 yaitu tindak pidana korupsi yang diatur dalam KUHP dan yang diatur di luar KUHP.
Tindakan pidana korupsi yang diatur dalam KUHP yaitu penyuapan, penggelapan, pemerasan, dan pengaduan terhadap pekerjaan rekanan. Sedangkan tindak pidana korupsi yang diatur di luar KUHP adalah tindak pidana korupsi umum, penyalah gunaan kewenangan atau kekuasaan, memberi hadiah dengan mengingat kekuasaan, permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi, sengaja menggagalkan penanganan tindak pidana korupsi, dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar dalam perkara korupsi, serta membeberkan identitas pelapor tindak pidana korupsi
Korupsi dan Dunia Usaha
Bagi dunia usaha korupsi punya dampak yang merugikan. Pertama, korupsi memperbesar biaya perusahaan karena perusahaan harus membayar biaya-biaya tidak resmi dan biaya tambahan karena tindakan korupsi. Penelitian Mudrajad Kuncoro (2004) pada industri berorientasi ekspor yang padat karya di 10 Kabupaten/Kota di Indonesia menemukan bahwa biaya tambahan karena korupsi mencapai 7,3 persen dari biaya perusahaan. Sedangkan penelitian Ari Kuncoro (2001) pada 1.736 perusahaan di 285 kabupaten dan kota di Indonesia menemukan besarnya biaya tambahan sebagai akibat tindakan korupsi mencapai 10 persen dari biaya total perusahaan. Besarnya biaya tambahan ini tentu akan mengurangi keuntungan dan efisiensi perusahaan. Sebuah penelitian menarik di Afrika yang dilakukan oleh Arthur dan Teal (2004) menemukan bahwa produktivitas perusahaan yang membayar suap hanya 2/3 dari perusahaan yang tak pernah membayar suap.
Kedua, sebagai dampak lebih lanjut dari biaya tambahan sebagai akibat tindakan korupsi tersebut, perusahaan biasanya akan menggeser beban biaya tambahan ini pada konsumen dengan cara menaikkan harga barang yang dijualnya. Kenaikan harga barang ini akan mengurangi daya beli konsumen. Karena daya beli konsumen turun maka pada akhirnya pengusaha juga akan menanggung akibatnya berupa penurunan omset penjualan.
Ketiga, biaya tambahan sebagai akibat tindakan korupsi yang harus ditanggung oleh pengusaha ternyata lebih “merugikan” dibandingkan pajak. Dalam tulisannya yang menarik berjudul “Why is Corruption So Much More Taxing Than Tax”(Mengapa Korupsi Lebih Memajaki daripada Pajak?) sebagai hasil penelitiannya di 45 negara, Shang Jin Wei (1997) menyatakan bahwa korupsi lebih merugikan daripada pajak karena biaya tambahan sebagai hasil korupsi tidak diimbangi dengan balas jasa apapun dari oknum pemerintah. Sementara jika pengusaha membayar pajak, ia akan mendapatkan balas jasa berupa pelayanan publik dan infrastruktur yang dibutuhkannya untuk menjalankan usahanya.
Karena ketiga dampak korupsi yang merugikan dunia usaha tersebut maka tidak heran jika korupsi merupakan hambatan yang cukup serius bagi investasi baik yang berasal dari dalam negeri maupun investasi asing. Berbagai penelitian menunjukkan hal itu. Penelitian Shang Jin Wei seperti dikutip di atas menemukan bahwa korupsi berdampak negatif terhadap investasi asing. PenelitianHines (1995) di AS menghasilkan hasil yang sama. Demikian pula penelitian Daniel Kaufmann (1997) di Ukraina dan Rusia juga menyimpulkan hal yang sama yaitu korupsi berdampak negatif terhadap investasi asing.
Karena berdampak negatif terhadap investasi padahal investasi adalah motor penggerak pertumbuhan ekonomi maka korupsi berdampak negatif pula terhadap pertumbuhan ekonomi. Penelitian Paulo Mauro (1997) di 70 negara menemukan bahwa korupsi berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Demikian juga penelitian Vito Tanzi (1998) di beberapa negara sedang berkembang menemukan hal yang sama.
Dengan menggunakan data Indeks Persepsi Korupsi di 21 daerah di Indonesia hasil survai Transparency International Indonesia (2004) dan PDRB per kapita di 21 daerah yang menjadi sampel tersebut, saya pernah menganalisis pengaruh korupsi dan pertumbuhan ekonomi daerah dengan menggunakan regresi. Hasil regresi menunjukkan bahwa korupsi berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi daerah.
Memberantas Korupsi
Melihat bahwa korupsi berdampak negatif terhadap investasi dan akhirnya pertumbuhan ekonomi, padahal investasi sangat dibutuhkan untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi 7 persen per tahun maka bagaimanapun korupsi di Indonesia harus diberantas. Ada beberapa langkah yang bisa ditempuh. Pertama, pembenahan aparatur negara terutama dari segi kesejahteraan dan mental memang harus terus dilakukan karena rendahnya gaji pegawai negeri dan mental yang buruk merupakan salah satu sebab terjadinya korupsi di Indonesia. Kedua, pembenahan administrasi dalam pelayanan publik misalnya pendirian kantor-kantor pelayanan satu atap (One Stop Service) dalam pelayanan investasi perlu dipercepat di semua daerah. Karena birokrasi yang berbelit merupakan salah satu penyebab terjadinya korupsi di Indonesia.
Ketiga, mendorong partisipasi usaha swasta untuk ikut memberantas korupsi. Caranya salah satunya adalah dengan memberi penghargaan bagi perusahaan yang berani melaporkan adanya tindak korupsi yang dilakukan oleh aparat pemerintah.
Keempat, mendorong lebih besarnya partisipasi wanita dalam berbagai kegiatan khususnya kegiatan pemerintahan. Sebab menurut berbagai hasil penelitian antara lain penelitian Anand Swammy (2000), wanita cenderung lebih tidak korup dibanding laki-laki.
(Nugroho SBM, Staf Pengajar FE Undip Semarang, sedang menulis Disertasi tentang Korupsi di Program Doktor FE Undip)
(Artikel ini sudah diterbitkan di Rubrik Wacana Harian SUARA MERDEKA Semarang)
Selasa, 01 Desember 2009
MENYIGI AKAR MASALAH CENTURY
Oleh Nugroho SBM
AKHIRNYA Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengeluarkan hasil audit tentang masalah pemberian bantuan pemerintah terhadap Bank Century senilai Rp 6,7 triliun. Menurut hasil audit badan itu, ada indikasi penyelewengan dana kurang lebih Rp 3,4 triliun dari dana Rp 6,7 triliun tersebut. Pemerintah dan BI juga telah menyampaikan klarifikasi terhadap hasil audit tersebut.
Namun penelusuran terhadap akar masalah Bank Century khususnya dan bank-bank lain yang sedang dan akan terjadi serta bagaimana langkah seharusnya yang ditempuh tetap penting dilakukan agar kejadian serupa kasus Bank Century tak terulang.
Akar masalah perbankan di Indonesia pertama-tama bisa ditelusuri dari kebijakan umum tentang perbankan. Arah kebijakan perbankan tersebut adalah liberalisasi. Tonggak dari liberalisasi perbankan di Indonesia adalah dua kebijakan liberalisasi yang monumental yaitu liberalisasi perbankan 1 Juni 1983 dan Paket Oktober 1988 (ada yang menyebut Pakto 1988).
Kebijakan Liberalisasi I Juni 1983 antara lain membebaskan bank untuk menentukan suku bunga, baik suku bunga kredit maupun simpanan. Sebelumnya baik suku bunga simpanan maupun kredit ditentukan oleh Bank Indonesia (BI) sebagai otoritas moneter. Akibatnya bank-bank berlomba-lomba menawarkan suku bunga simpanan yang tinggi disertai berbagai macam iming-iming hadiah dan suku bunga kredit yang menarik tanpa mempertimbangkan kesehatan usahanya.
Sedangkan Paket Oktober 1988 melonggarkan syarat-syarat pendirian sebuah bank antara lain syarat minimal modal disetor yang sangat rendah. Tampaknya kebijakan ini tidak dipikirkan secara matang tentang masalah potensial yang akan timbul.
Akibatnya karena saking mudahnya orang mendirikan bank maka ada gurauan di tengah masyarakat waktu itu bahwa tukang kelontong pun bisa mendirikan bank. Akibat lebih lanjut adalah berdirinya banyak sekali bank, bahkan Indonesia waktu itu disebut negara yang terbanyak jumlah banknya, tetapi tidak diikuti dengan tingkat kesehatan bank yang baik. Maka setelah itu banyak bank-bank yang tutup dan beberapa diambil alih atau dibantu oleh pemerintah.
Setelah dua kebijakan yang monumental dan liberal tersebut yang ternyata menimbulkan berbagai masalah maka BI berusaha kembali memperketat aturan agar kondisi perbankan sehat. Kebijakan yang terbaru adalah ditetapkannya cetak biru kebijakan perbankan yang disebut sebagai Arsitektur Perbankan Indonesia (API).
Tetapi di samping banyak kebijakan pengendalian - termasuk API - yang belum dilaksanakan, kebijakan-kebijakan pengendalian yang sudah dilaksanakan untuk mengerem dampak negatif dari kebijakan 1 Juni 1983 dan Pakto 1988 pun tak sepenuhnya berhasil. Karena tampaknya sudah telanjur bahwa dampak negatif Kebijakan 1 Juni 1983 dan Pakto 1988 berlari lebih cepat dari kebijakan untuk menanggulanginya. Bisa diibaratkan BI seperti berlari mengejar layang-layang putus.
Akar kedua dari berbagai masalah perbankan di Indonesia adalah sifat industri perbankan sendiri yang rentan terhadap penyelewengan dan gejolak ekonomi serta keuangan. Beberapa sifat tersebut adalah: pertama, bank merupakan perantara antara mereka yang kelebihan dana dan disimpan dan mereka yang membutuhkan dana atau debitur. Jadi sebenarnya bank tidak mengelola modal atau uangnya sendiri.
Oleh karena itu dalam industri perbankan ketentuan internasional (yang ditetapkan oleh Bank for International Settlement atau BIS) untuk rasio modal sendiri terhadap total modal atau dikenal dengan capital adequacy ratio (CAR) hanya 8 persen. Angka 8 persen artinya bank cukup punya modal sendiri 8 persen dari total modal yang disetor. Akibatnya begitu ada rumor atau masalah ekonomi yang menyebabkan deposan menarik uangnya secara beramai-ramai maka bank akan mengalami kesulitan.
Kedua, industri perbankan adalah industri kepercayaan. Artinya unsur kepercayaan baik dari deposan (yang menyimpan uang) maupun dari debitur (yang meminjam uang) sangat penting. Sekali kepercayaan terhadap sebuah bank luntur, akan sangat sulit untuk memulihkannya kembali dan hal tersebut akan merembet pada bank-bank lainnya.
Menarik Dananya Kita masih ingat ketika awal krisis tahun 1997 waktu itu banyak deposan yang menarik dananya dari bank dan memilih menyimpan uangnya di kotak penyimpanan uang atau safe deposit box. Banyak bank yang waktu itu mengalami kesulitan likuiditas sehingga mencoba ”merayu” deposan dengan meningkatkan suku bunga simpanannya. Rata-rata waktu itu suku bunga simpanan sampai mencapai 60 persen. Tetapi tampaknya meskipun dirayu dengan suku bunga tinggi tingkat kepercayaan deposan tidak begitu saja pulih. Deposan- waktu itu - tidak juga mau mengembalikan dana yang disimpannya di kotak penyimpanan uang ke rekening tabungan di bank. Baru setelah pemerintah mengumumkan akan menjamin simpanan di bank lewat Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) maka kepercyaan deposan kembali pulih.
Ketiga, bisnis perbankan adalah bisnis yang secara langsung bersentuhan dengan uang. Maka hal tersebut akan memancing tindakan-tindakan kejahatan dari berbagai pihak untuk menyelewengkan uang bank untuk kepentingan pribadi. Akar ketiga dari masalah perbankan di Indonesia adalah lemahnya pengawasan oleh BI terhadap bank umum. Dalam kasus Bank Century, hasil audit BPK mengungkapkan bahwa pengawasan BI terhadap Century sangatlah lemah.
Lemahnya pengawasan terlihat dalam beberapa hal: pertama, Century sebenarnya merupakan bank hasil merger dari beberapa bank yang kurang sehat yaitu Bank Danpac, Bank Piko, dan Bank CIC. Setelah merger, mestinya BI mengawasi secara ketat Century karena sejak awal merupakan gabungan bank-bank yang kurang sehat tetapi tampaknya itu tidak dilakukan.
Kedua, mestinya BI juga menerapkan secara ketat fit and proper test kepada mereka yang duduk di manajemen Century. Tetapi tampaknya hal tersebut juga tidak dilakukan. Hat tersebut terbukti dari berbagai tindakan penyelewengan yang dilakukan oleh pihak manajemen Century antara lain: pemberian kredit tanpa prosedur yang benar, penerbitan L/C fiktif, penggunaan uang nasabah untuk investasi di usaha dan surat berharga yang buruk, penggelapan uang nasabah, dan lain-lain.
Ketiga, dari hasil audit BPK juga terungkap bahwa Century selama periode tahun 2005 - 2008 telah melakukan pelanggaran berbagai ketentuan perbankan tetapi tidak mendapatkan sanksi atau teguran dari BI.
Lemahnya pengawasan BI ini ada yang menyatakan karena BI ”terpecah” tuganya yaitu antara tugas utama menjaga stabilitas nilai rupiah (dalam arti inflasi yang rendah dan nilai tukar yang stabil) dengan tugas tambahan yaitu mengawasi perbankan. Pernah ada wacana bidang pengawasan bank diserahkan ke badan bernama Otoritas Jasa Keuangan yang sampai sekarang belum didirikan.
Aturan Bail Out Akar keempat dari masalah perbankan pada umumnya dan Bank Century pada khususnya adalah belum jelasnya aturan tentang talangan bagi bank yang bangkrut (bail out). Dalam pertimbangan untuk membantu Century, baik BI maupun pemerintah bersikukuh bahwa bangkrutnya Century sifatnya sistemik, artinya jika tidak dibantu maka akan menyeret sekitar 23 bank lain.
Tetapi tidak pernah dijelaskan apa kriteria sistemik dalam kasus tersebut. Tampaknya kriteria sistemik - yang merupakan salah satu bagian dari UU Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) yang sekarang digodok DPR - merupakan salah satu bagian krusial sehingga UU tersebut belum disahkan.
Implikasi Pertama, bagaimanapun perbankan harus diatur secara ketat karena liberalisasi terbukti berdampak negatif dan sifat-sifat bank yang rentan gejolak dan penyelewengan. Maka API harus segera dilaksanakan.
Kedua, segera bentuk lembaga OJK dan serahi tugas untuk mengawasi bank sehingga pengawasan akan lebih efektif. Ketiga, kriteria dampak sistemik bangkrutnya sebuah bank perlu diperjelas dalam UU JPSK sehingga tidak menimbulkan masalah di kemudian hari.(10)
— Nugroho SBM, staf pengajar FE Undip dan peneliti pada Pusat Studi Dampak Kebijakan atau Regulatory Impact Assessment (RIA) Center Undip
( artikel dimuat di Suara Merdeka Selasa 1 Desember 2009)
AKHIRNYA Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengeluarkan hasil audit tentang masalah pemberian bantuan pemerintah terhadap Bank Century senilai Rp 6,7 triliun. Menurut hasil audit badan itu, ada indikasi penyelewengan dana kurang lebih Rp 3,4 triliun dari dana Rp 6,7 triliun tersebut. Pemerintah dan BI juga telah menyampaikan klarifikasi terhadap hasil audit tersebut.
Namun penelusuran terhadap akar masalah Bank Century khususnya dan bank-bank lain yang sedang dan akan terjadi serta bagaimana langkah seharusnya yang ditempuh tetap penting dilakukan agar kejadian serupa kasus Bank Century tak terulang.
Akar masalah perbankan di Indonesia pertama-tama bisa ditelusuri dari kebijakan umum tentang perbankan. Arah kebijakan perbankan tersebut adalah liberalisasi. Tonggak dari liberalisasi perbankan di Indonesia adalah dua kebijakan liberalisasi yang monumental yaitu liberalisasi perbankan 1 Juni 1983 dan Paket Oktober 1988 (ada yang menyebut Pakto 1988).
Kebijakan Liberalisasi I Juni 1983 antara lain membebaskan bank untuk menentukan suku bunga, baik suku bunga kredit maupun simpanan. Sebelumnya baik suku bunga simpanan maupun kredit ditentukan oleh Bank Indonesia (BI) sebagai otoritas moneter. Akibatnya bank-bank berlomba-lomba menawarkan suku bunga simpanan yang tinggi disertai berbagai macam iming-iming hadiah dan suku bunga kredit yang menarik tanpa mempertimbangkan kesehatan usahanya.
Sedangkan Paket Oktober 1988 melonggarkan syarat-syarat pendirian sebuah bank antara lain syarat minimal modal disetor yang sangat rendah. Tampaknya kebijakan ini tidak dipikirkan secara matang tentang masalah potensial yang akan timbul.
Akibatnya karena saking mudahnya orang mendirikan bank maka ada gurauan di tengah masyarakat waktu itu bahwa tukang kelontong pun bisa mendirikan bank. Akibat lebih lanjut adalah berdirinya banyak sekali bank, bahkan Indonesia waktu itu disebut negara yang terbanyak jumlah banknya, tetapi tidak diikuti dengan tingkat kesehatan bank yang baik. Maka setelah itu banyak bank-bank yang tutup dan beberapa diambil alih atau dibantu oleh pemerintah.
Setelah dua kebijakan yang monumental dan liberal tersebut yang ternyata menimbulkan berbagai masalah maka BI berusaha kembali memperketat aturan agar kondisi perbankan sehat. Kebijakan yang terbaru adalah ditetapkannya cetak biru kebijakan perbankan yang disebut sebagai Arsitektur Perbankan Indonesia (API).
Tetapi di samping banyak kebijakan pengendalian - termasuk API - yang belum dilaksanakan, kebijakan-kebijakan pengendalian yang sudah dilaksanakan untuk mengerem dampak negatif dari kebijakan 1 Juni 1983 dan Pakto 1988 pun tak sepenuhnya berhasil. Karena tampaknya sudah telanjur bahwa dampak negatif Kebijakan 1 Juni 1983 dan Pakto 1988 berlari lebih cepat dari kebijakan untuk menanggulanginya. Bisa diibaratkan BI seperti berlari mengejar layang-layang putus.
Akar kedua dari berbagai masalah perbankan di Indonesia adalah sifat industri perbankan sendiri yang rentan terhadap penyelewengan dan gejolak ekonomi serta keuangan. Beberapa sifat tersebut adalah: pertama, bank merupakan perantara antara mereka yang kelebihan dana dan disimpan dan mereka yang membutuhkan dana atau debitur. Jadi sebenarnya bank tidak mengelola modal atau uangnya sendiri.
Oleh karena itu dalam industri perbankan ketentuan internasional (yang ditetapkan oleh Bank for International Settlement atau BIS) untuk rasio modal sendiri terhadap total modal atau dikenal dengan capital adequacy ratio (CAR) hanya 8 persen. Angka 8 persen artinya bank cukup punya modal sendiri 8 persen dari total modal yang disetor. Akibatnya begitu ada rumor atau masalah ekonomi yang menyebabkan deposan menarik uangnya secara beramai-ramai maka bank akan mengalami kesulitan.
Kedua, industri perbankan adalah industri kepercayaan. Artinya unsur kepercayaan baik dari deposan (yang menyimpan uang) maupun dari debitur (yang meminjam uang) sangat penting. Sekali kepercayaan terhadap sebuah bank luntur, akan sangat sulit untuk memulihkannya kembali dan hal tersebut akan merembet pada bank-bank lainnya.
Menarik Dananya Kita masih ingat ketika awal krisis tahun 1997 waktu itu banyak deposan yang menarik dananya dari bank dan memilih menyimpan uangnya di kotak penyimpanan uang atau safe deposit box. Banyak bank yang waktu itu mengalami kesulitan likuiditas sehingga mencoba ”merayu” deposan dengan meningkatkan suku bunga simpanannya. Rata-rata waktu itu suku bunga simpanan sampai mencapai 60 persen. Tetapi tampaknya meskipun dirayu dengan suku bunga tinggi tingkat kepercayaan deposan tidak begitu saja pulih. Deposan- waktu itu - tidak juga mau mengembalikan dana yang disimpannya di kotak penyimpanan uang ke rekening tabungan di bank. Baru setelah pemerintah mengumumkan akan menjamin simpanan di bank lewat Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) maka kepercyaan deposan kembali pulih.
Ketiga, bisnis perbankan adalah bisnis yang secara langsung bersentuhan dengan uang. Maka hal tersebut akan memancing tindakan-tindakan kejahatan dari berbagai pihak untuk menyelewengkan uang bank untuk kepentingan pribadi. Akar ketiga dari masalah perbankan di Indonesia adalah lemahnya pengawasan oleh BI terhadap bank umum. Dalam kasus Bank Century, hasil audit BPK mengungkapkan bahwa pengawasan BI terhadap Century sangatlah lemah.
Lemahnya pengawasan terlihat dalam beberapa hal: pertama, Century sebenarnya merupakan bank hasil merger dari beberapa bank yang kurang sehat yaitu Bank Danpac, Bank Piko, dan Bank CIC. Setelah merger, mestinya BI mengawasi secara ketat Century karena sejak awal merupakan gabungan bank-bank yang kurang sehat tetapi tampaknya itu tidak dilakukan.
Kedua, mestinya BI juga menerapkan secara ketat fit and proper test kepada mereka yang duduk di manajemen Century. Tetapi tampaknya hal tersebut juga tidak dilakukan. Hat tersebut terbukti dari berbagai tindakan penyelewengan yang dilakukan oleh pihak manajemen Century antara lain: pemberian kredit tanpa prosedur yang benar, penerbitan L/C fiktif, penggunaan uang nasabah untuk investasi di usaha dan surat berharga yang buruk, penggelapan uang nasabah, dan lain-lain.
Ketiga, dari hasil audit BPK juga terungkap bahwa Century selama periode tahun 2005 - 2008 telah melakukan pelanggaran berbagai ketentuan perbankan tetapi tidak mendapatkan sanksi atau teguran dari BI.
Lemahnya pengawasan BI ini ada yang menyatakan karena BI ”terpecah” tuganya yaitu antara tugas utama menjaga stabilitas nilai rupiah (dalam arti inflasi yang rendah dan nilai tukar yang stabil) dengan tugas tambahan yaitu mengawasi perbankan. Pernah ada wacana bidang pengawasan bank diserahkan ke badan bernama Otoritas Jasa Keuangan yang sampai sekarang belum didirikan.
Aturan Bail Out Akar keempat dari masalah perbankan pada umumnya dan Bank Century pada khususnya adalah belum jelasnya aturan tentang talangan bagi bank yang bangkrut (bail out). Dalam pertimbangan untuk membantu Century, baik BI maupun pemerintah bersikukuh bahwa bangkrutnya Century sifatnya sistemik, artinya jika tidak dibantu maka akan menyeret sekitar 23 bank lain.
Tetapi tidak pernah dijelaskan apa kriteria sistemik dalam kasus tersebut. Tampaknya kriteria sistemik - yang merupakan salah satu bagian dari UU Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) yang sekarang digodok DPR - merupakan salah satu bagian krusial sehingga UU tersebut belum disahkan.
Implikasi Pertama, bagaimanapun perbankan harus diatur secara ketat karena liberalisasi terbukti berdampak negatif dan sifat-sifat bank yang rentan gejolak dan penyelewengan. Maka API harus segera dilaksanakan.
Kedua, segera bentuk lembaga OJK dan serahi tugas untuk mengawasi bank sehingga pengawasan akan lebih efektif. Ketiga, kriteria dampak sistemik bangkrutnya sebuah bank perlu diperjelas dalam UU JPSK sehingga tidak menimbulkan masalah di kemudian hari.(10)
— Nugroho SBM, staf pengajar FE Undip dan peneliti pada Pusat Studi Dampak Kebijakan atau Regulatory Impact Assessment (RIA) Center Undip
( artikel dimuat di Suara Merdeka Selasa 1 Desember 2009)
Langganan:
Postingan (Atom)