Senin, 07 Desember 2009

KORUPSI HAMBAT INVESTASI

Oleh: Nugroho SBM

Pemerintah mematok pertumbuhan ekonomi lima tahun ke depan (2010-2014) setiap tahunnya rata-rata 7 persen. Sebuah angka yang cukup optimistis tetapi sebenarnya kurang realistis. Kurang realistis sebab pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2009 ini saja hanya diperkirakan 4,4 persen. Meskipun angka pertumbuhan ekonomi tersebut terbilang cukup tinggi karena Indonesia termasuk tiga negara di dunia yang angka pertumbuhan ekonominya di tahun 2009 masih positif di tengah negatifnya angka pertumbuhan ekonomi hampir semua negara karena krisis keuangan global yang belum pulih. Tiga negara yang pertumbuhan ekonominya positif tersebut adalah India, China, dan Indonesia.
Untuk mencapai angka pertumbuhan rata-rata 7 persen setiap tahun tersebut dibutuhkan dana yang cukup besar. Pada tahun 2010, menurut versi pemerintah, untuk mencapai angka pertumbuhan ekonomi 7 persen dibutuhkan dana sebesar Rp 2.000 trilyun. Sementara menurut versi Kadin kebutuhan dana tersebut jauh lebih tinggi yaitu Rp 2.900 trilyun.
Masih menurut versi pemerintah, dana Rp 2.000 trilyun tersebut akan diperoleh dari : APBN sebesar Rp 200 trilyun, kredit perbankan Rp 450 trilyun, pasar modal Rp 400 trilyun, investasi domestik Rp. 400 trilyun, dan investasi asing Rp. 500 trilyun.
Di antara berbagai sumber dana untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi 7 persen tersebut, yang paling berat adalah menggaet dana dari investasi domestik dan investasi asing. Sebabnya jelas yaitu ada berbagai hambatan dalam menggaet investasi, dan satu di antaranya yang paling besar adalah korupsi yang saat ini sedang ramai dibicarakan karena permusuhan antara KPK dan Polri.

Definisi Korupsi
Meskipun merupakan hambatan yang besar bagi dunia usaha atau investasi, yang tidak hanya di Indonesia tetapi juga di negara lain, sesungguhnya mencari definisi yang tepat tentang korupsi bukanlah pekerjaan mudah. Definisi korupsi akan sangat tergantung dari budaya masyarakat di suatu negara. Di negara-negara dengan adat timur seperti China, Korea, dan Taiwan dimana bisnis bersifat informal, ada kebiasaan yang dinamakan guanxi (Chen, 1994) yaitu kebiasaan memberi hadiah oleh usahawan kepada teman baik sesama usahawan maupun kepada pejabat publik. Tindakan tersebut tidak dikategorikan sebagai suap atau gratifikasi yang merupakan salah satu bentuk korupsi yang di banyak negara dilarang. Sementara itu, di negara-negara barat dimana hukum lebih tegas dan formal, pemberian hadiah dikategorikan sebagai gratifikasi atau suap dan oleh karenanya dilarang.
Konferensi Malta 1994 , mendefinisikan korupsi dengan sangat luas yaitu tindakan yang berbau kecurangan. Dengan definisi tersebut maka tindakan yang dikategorikan sebagai korupsi tidak hanya yang secara yuridis formal melanggar hukum tetapi juga tindakan yang secara moral kurang patut.
Sejalan dengan Konferensi Malta 1994, Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989), mendefinisikan korupsi secara luas yaitu penyelewengan atau penggelapan uang negara, uang perusahaan, dan lainnya untuk keuntungan pribadi atau orang lain.
Sedangkan menurut UU Nomer 20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi membagi tindak pidana korupsi menjadi 2 yaitu tindak pidana korupsi yang diatur dalam KUHP dan yang diatur di luar KUHP.
Tindakan pidana korupsi yang diatur dalam KUHP yaitu penyuapan, penggelapan, pemerasan, dan pengaduan terhadap pekerjaan rekanan. Sedangkan tindak pidana korupsi yang diatur di luar KUHP adalah tindak pidana korupsi umum, penyalah gunaan kewenangan atau kekuasaan, memberi hadiah dengan mengingat kekuasaan, permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi, sengaja menggagalkan penanganan tindak pidana korupsi, dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar dalam perkara korupsi, serta membeberkan identitas pelapor tindak pidana korupsi

Korupsi dan Dunia Usaha
Bagi dunia usaha korupsi punya dampak yang merugikan. Pertama, korupsi memperbesar biaya perusahaan karena perusahaan harus membayar biaya-biaya tidak resmi dan biaya tambahan karena tindakan korupsi. Penelitian Mudrajad Kuncoro (2004) pada industri berorientasi ekspor yang padat karya di 10 Kabupaten/Kota di Indonesia menemukan bahwa biaya tambahan karena korupsi mencapai 7,3 persen dari biaya perusahaan. Sedangkan penelitian Ari Kuncoro (2001) pada 1.736 perusahaan di 285 kabupaten dan kota di Indonesia menemukan besarnya biaya tambahan sebagai akibat tindakan korupsi mencapai 10 persen dari biaya total perusahaan. Besarnya biaya tambahan ini tentu akan mengurangi keuntungan dan efisiensi perusahaan. Sebuah penelitian menarik di Afrika yang dilakukan oleh Arthur dan Teal (2004) menemukan bahwa produktivitas perusahaan yang membayar suap hanya 2/3 dari perusahaan yang tak pernah membayar suap.
Kedua, sebagai dampak lebih lanjut dari biaya tambahan sebagai akibat tindakan korupsi tersebut, perusahaan biasanya akan menggeser beban biaya tambahan ini pada konsumen dengan cara menaikkan harga barang yang dijualnya. Kenaikan harga barang ini akan mengurangi daya beli konsumen. Karena daya beli konsumen turun maka pada akhirnya pengusaha juga akan menanggung akibatnya berupa penurunan omset penjualan.
Ketiga, biaya tambahan sebagai akibat tindakan korupsi yang harus ditanggung oleh pengusaha ternyata lebih “merugikan” dibandingkan pajak. Dalam tulisannya yang menarik berjudul “Why is Corruption So Much More Taxing Than Tax”(Mengapa Korupsi Lebih Memajaki daripada Pajak?) sebagai hasil penelitiannya di 45 negara, Shang Jin Wei (1997) menyatakan bahwa korupsi lebih merugikan daripada pajak karena biaya tambahan sebagai hasil korupsi tidak diimbangi dengan balas jasa apapun dari oknum pemerintah. Sementara jika pengusaha membayar pajak, ia akan mendapatkan balas jasa berupa pelayanan publik dan infrastruktur yang dibutuhkannya untuk menjalankan usahanya.
Karena ketiga dampak korupsi yang merugikan dunia usaha tersebut maka tidak heran jika korupsi merupakan hambatan yang cukup serius bagi investasi baik yang berasal dari dalam negeri maupun investasi asing. Berbagai penelitian menunjukkan hal itu. Penelitian Shang Jin Wei seperti dikutip di atas menemukan bahwa korupsi berdampak negatif terhadap investasi asing. PenelitianHines (1995) di AS menghasilkan hasil yang sama. Demikian pula penelitian Daniel Kaufmann (1997) di Ukraina dan Rusia juga menyimpulkan hal yang sama yaitu korupsi berdampak negatif terhadap investasi asing.
Karena berdampak negatif terhadap investasi padahal investasi adalah motor penggerak pertumbuhan ekonomi maka korupsi berdampak negatif pula terhadap pertumbuhan ekonomi. Penelitian Paulo Mauro (1997) di 70 negara menemukan bahwa korupsi berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Demikian juga penelitian Vito Tanzi (1998) di beberapa negara sedang berkembang menemukan hal yang sama.
Dengan menggunakan data Indeks Persepsi Korupsi di 21 daerah di Indonesia hasil survai Transparency International Indonesia (2004) dan PDRB per kapita di 21 daerah yang menjadi sampel tersebut, saya pernah menganalisis pengaruh korupsi dan pertumbuhan ekonomi daerah dengan menggunakan regresi. Hasil regresi menunjukkan bahwa korupsi berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi daerah.

Memberantas Korupsi
Melihat bahwa korupsi berdampak negatif terhadap investasi dan akhirnya pertumbuhan ekonomi, padahal investasi sangat dibutuhkan untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi 7 persen per tahun maka bagaimanapun korupsi di Indonesia harus diberantas. Ada beberapa langkah yang bisa ditempuh. Pertama, pembenahan aparatur negara terutama dari segi kesejahteraan dan mental memang harus terus dilakukan karena rendahnya gaji pegawai negeri dan mental yang buruk merupakan salah satu sebab terjadinya korupsi di Indonesia. Kedua, pembenahan administrasi dalam pelayanan publik misalnya pendirian kantor-kantor pelayanan satu atap (One Stop Service) dalam pelayanan investasi perlu dipercepat di semua daerah. Karena birokrasi yang berbelit merupakan salah satu penyebab terjadinya korupsi di Indonesia.
Ketiga, mendorong partisipasi usaha swasta untuk ikut memberantas korupsi. Caranya salah satunya adalah dengan memberi penghargaan bagi perusahaan yang berani melaporkan adanya tindak korupsi yang dilakukan oleh aparat pemerintah.
Keempat, mendorong lebih besarnya partisipasi wanita dalam berbagai kegiatan khususnya kegiatan pemerintahan. Sebab menurut berbagai hasil penelitian antara lain penelitian Anand Swammy (2000), wanita cenderung lebih tidak korup dibanding laki-laki.
(Nugroho SBM, Staf Pengajar FE Undip Semarang, sedang menulis Disertasi tentang Korupsi di Program Doktor FE Undip)

(Artikel ini sudah diterbitkan di Rubrik Wacana Harian SUARA MERDEKA Semarang)

Tidak ada komentar: