Koran Jakarta, Rabu, 17 Maret 2010
JAKARTA – Pemerintah dinilai harus memastikan agar kerja sama dengan Australia untuk merangsang investasi khususnya di kawasan Indonesia timur tidak merugikan kepentingan negara di masa depan.
Pemerintah menggandeng negara benua itu untuk menanamkan modal pada sektor pangan dan energi, diharapkan dapat mendorong investasi dan berharap kerja sama tersebut dapat dibahas Juni.
“Keuntungan kerja sama itu bagi Indonesia di antaranya dapat memperkecil kesenjangan di kawasan timur dan barat.
Tetapi Indonesia harus berhati-hati saat membuat kontrak kerja sama pengolahan sumber daya alam,” kata ekonom Universitas Diponegoro Nugroho SBM saat dihubungi Senin (15/3).
Kewaspadaan tersebut, kata dia, diperlukan agar kesalahan yang pernah dibuat saat melakukan kontrak dengan beberapa perusahaan Amerika Serikat tidak terulang.
Pemerintah telah memiliki kontrak pengolahan dengan Freeport di Papua dan Newmont di Nusa Tenggara. “Kerja sama ini hendaknya tidak menimbulkan kantong- kantong terasing di sekitar lokasi proyek karena ke untungan ekonomi tidak mereka rasakan. Dalam jangka pendek tidak apa-apa, jangka panjang dapat menimbulkan gejolak,” kata Nugroho.
Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Radjasa menjelaskan rencana menggandeng Australia tersebut tidak hanya sebatas bantuan atau teknis, tetapi juga pengembangan.
Dia mengatakan terdapat enam provinsi yang akan digarap yakni Papua, Papua Barat, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Bali, dan Maluku.
“Kerja sama tidak hanya bersifat teknis atau bantuan, tetapi mendorong investasi ke daerah timur terutama pertanian dan energi,” katanya di Jakarta, Senin.
“Kita harapkan pembicaraan itu segera di-follow up dan dimasukkan ke agenda salah satu working group joint commission yang dilakukan Juni.”
Pemerintah saat ini tengah memperdalam kajian dengan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) untuk mengetahui potensi nilai investasi yang bisa dijaring ke depannya.
Tidak hanya mengandalkan investor asing, pemerintah melihat peluang mendapatkan pemodal dalam negeri.
Pemerintah telah mendapatkan komitmen investasi lebih dari 1 miliar dollar AS. “Coca Cola dan Thiess di atas 1 miliar dollar untuk ekspansi, belum lagi yang lain,” imbuh Hatta. Pemerintah juga bertekad untuk mendapatkan komitmen Australia untuk membantu swasembada sapi dan kedelai.
xav/E-4
Tersedia di http://www.koran-jakarta.com/berita-detail.php?id=47590
Blog ini berisi tulisan ilmiah populer dan komentar di berbagai media massa tentang masalah-masalah sosial ekonomi yang sedang dan akan terjadi di Indonesia
Selasa, 16 Maret 2010
Minggu, 07 Maret 2010
DAMPAK PERDAGANGAN BEBAS TERHADAP KEMISKINAN
Oleh Nugroho SBM
Pada tahun 2010 ini telah diimplementasikan perjanjian perdagangan bebas antara China dengan negara-negara ASEAN atau ASEAN China Free Trade Agreement (ACFTA). Ini bukanlah perjanjian perdagangan bebas pertama yang dilakukan oleh Indonesia baik secara bilateral maupun multilateral. Beberapa pernjanjian perdagangan bebas yang telah dilaksanakan oleh Indonesia antara lain: AFTA (perdagangan bebas antar negara-negara ASEAN), antara ASEAn dengan Australia dan Selandia Baru, antara ASEAN dengan Korea Selatan, antara Indonesia dengan Jepang, keikutsertaan Indonesia dalam APEC (kerjasama antar negara-negara Asia Pasifik), dan dalam skala yang lebih luas adalah keikutsertaan Indonesia dalam WTO (Organisasi Perdagangan Bebas Dunia).
Banyak pihak yang khawatir terhadap diberlakukannya ACFTA tersebut. Kekhawatiran tersebut antara lain menyangkut akan ambruknya sejumlah sektor usaha di Indonesia. Beberapa sektor usaha yang akan ambruk menurut studi Purbaya Yudi Sadewa, ahli ekonomi Danareksa Research Institute (Kompas, 4/1/2010) dengan menggunakan Program Komputer GTAP (General Trade Analysis Project), adalah sektor-sektor usaha yang memproduksi: produk-produk dari kulit, produk-produk logam (metal), produk manufaktur, pakaian jadi, gandum, gula, tebu dan bit gula, padi, dan beras yang diproses.
Secara ekonomi makro kekhawatiran utamanya adalah membengkaknya defisit neraca perdagangan Indonesia. pada tahap penerapan AFTA yang sekarang saja (karena AFTA diterapkan bertahap) neraca perdagangan antara Indonesia dengan negara-negara ASEAN lain sudah defisit (impor lebih besar dari ekspor). Apalagi kalau nanti ditambah dengan perdagangan bebas dengan China. Besarnya defisit tersebut adalah dengan Thailand 2,67 miliar dolar AS, dengan Malaysia 2,49 miliar dolar AS, dan dengan Singapura 8,93 miliar dolar AS.
Demikian pula dengan neraca perdagangan Indonesia dengan China sekarang inipun sudah mengalami defisit. Besarnya defisit tersebut mencapai 4,3 miliar dolar AS. Itupun belum diperhitungkan nilai dari barang-barang selundupan dari China ke Indonesia yang sekarang ini sudah banyak beredar di pasar Indonesia. Padahal defisit tersebut mempunyai dampak tak kalah merugikan misalnya pada melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar dengan segala dampak ikutannya misalnya: membengkaknya beban cicilan utang LN dan mahalnya “harga” stabilisasi kurs berupa terpaksanya BI meningkatkan suku bunga dengan akibat matinya sektor riil.
Salah satu dampak penting liberalisasi perdagangan – yang belum banyak didiskusikan- adalah terhadap kemiskinan. Seperti diketahui, jumlah penduduk miskin di Indonesia masih besar. Pada tahun 2009 jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 32,5 juta jiwa. Sedangkan pada tahun 2010 ini ada banyak perkiraan. Pemerintah memeperkirakan jumlah penduduk miskin akan turun menjadi sekitar 30 juta orang. Sementara menurut Agus Eko Nugroho (Peneliti pada Pusat Penelitian Ekonomi LIPI) justru memperkirakan memperkirakan jumlah orang miskin di tahun 2010 justru mengalami peningkatan menjadi 3,7 juta orang atau naik 200.000 orang dibanding tahun 2009.
Penyebab perbedaan dalam memperkirakan jumlah orang miskin adalah pada prediksi tingkat inflasi. Pemerintah memprediksi tingkat inflasi yang rendah yaitu 4 persen, sementara Agus Eko Nugroho memperkirakan tingkat inflasi lebih tinggi yaitu 5, 6 persen. Tingkat inflasi mempengaruhi jumlah orang miskin karena inflasi akan sangat mempengaruhi pendapatan dan daya beli riil masyarakat. Semakin tinggi tingkat inflasi maka semakin rendah pula daya beli riil masyarakat dan dengan demikian semakin banyak pula jumlah orang miskin.
Menambah Kemiskinan
Lalu bagaimana dampak diberlakukannya perdagangan bebas terhadap jumlah penduduk miskin? Ada beberapa studi yang mencoba mengkaji dampak perdagangan bebas terhadap kemiskinan. Berbagai studi menunjukkan hasil yang saling berlawanan. Pertama, studi yang dilakukan oleh John Cockburn di Nepal (2001) dengan menggunakan program komputer CGE (Computable General Equlibrium) menghasilkan kesimpulan bahwa liberalisasi perdagangan di Nepal berdampak pada penurunan penduduk miskin di perkotaan tetapi penduduk miskin di pedesaan justru naik. Hal tersebut terjadi karena liberalisasi perdagangan justru memukul sektor pertanian di pedesaan dengan produk-produk pertanian yang lebih murah, sementara penduduk perkotaan diuntungkan karena terbukanya lapangan pekerjaan baru di sektor perdagangan. Maksudnya penduduk perkotaan bisa berusaha di sektor perdagangan dengan membeli barang impor yang murah dan kemudian menjualnya dengan mendapatkan marjin keuntungan.
Kedua, studi yang dilakukan oleh Bahattasali, dkk (2005) di negara-negara Sub Sahara Afrika, Asia Tengah, dan bekas Uni Soviet menemukan kesimpulan bahwa liberalisasi perdagangan justru memperbesar penduduk miskin karena ketidakmerataan asset yang dimiliki., misalnya lahan pertanian. Petani yang mempunyai lahan luas akan lebih diuntungkan karena bisa berpindah dari komoditi pertanian yang tersaingi produk impor ke komoditi berorientasi ekspor. Sementara itu, pemilik lahan sempit tidak bisa dengan leluasa berpindah komoditi karena keterbatasan modal dan pengetahuan. Padahal sebagian besar petani di negara-negara yang distudi adalah pemilik lahan sempit.
Ketiga, studi yang dilakukan Madeley (2004) di beberapa negara sedang berkembang mempunyai kesimpulan sama yaitu liberalisasi perdagangan mempunyai dampak buruk yaitu meningkatkan jumlah penduduk miskin. Penyebabnya adalah tidak cukupnya ketrampilan tenaga kerja bekas sektor pertanian di pedesaan yang terpukul dengan liberalisasi perdagangan untuk berpindah ke sektor perdagangan dan jasa di perkotaan yang diuntungkan dengan liberalisasi perdagangan.
Mengurangi Kemiskinan
Namun ada beberapa studi yang justru menemukan bahwa perdagangan bebas dapat mengurangi jumlah orang miskin. Pertama, studi yang dilakukan oleh Bank Dunia (2004) di 24 negara sedang berkembang menemukan bahwa liberalisasi perdagangan telah membawa kondisi negara-negara yang terlibat di dalamnya lebih baik yaitu berupa pertumbuhan ekonomi yang tinggi (di atas 5 persen), harapan hidup yang lebih lama, dan pendidikan yang lebih baik.
Kedua, studi oleh Jha V dan S Gupta (2004) di India menemukan bahwa liberalisasi perdagangan telah mengurangi jumlah penduduk miskin. Sebabnya adalah dengan liberalisasi maka tariff bea-masuk ntuk produk pertanian India yang diekspor ke negara-negara lain menjadi nol persen. Akibatnya India yang merupakan eksportir produk-produk pertanian diuntungkan dan jumlah penduduk miskin menjadi berkurang.
Ketiga, studi yang dilakukan oleh Cororaton dan Cockburn (2005) di Filipina antara tahun 1994 sampai 2000- yaitu periode implementasi pembebasan bea-masuk untuk produk yang diimpor ke Filipina- menemukan bahwa liberalisasi perdagangan telah menurunkan penduduk miskin. Sebabnya adalah dengan pembebasan bea-masuk maka harga produk-produk menjadi turun dan dengan demikian tingkat inflasi juga turun. Turunnya tingkat inflasi mengakibatkan daya beli atau pendapatan riil masyarakat naik sehingga jumlah penduduk miskin pun turun.
Studi di Indonesia
Bagaimana dengan studi di Indonesia? Belum banyak studi yang dilakukan untuk kasus Indonesia. Salah satunya adalah yang dilakukan Thomas W hertel, dkk (2004) dalam judul artikelnya ” The Earning Effects of Multilateral Trade Liberalization: Implication for Poverty” (Dampak pada Pendapatan dari Liberalisasi Perdagangan Multilateral: Implikasi bagi Kemiskinan) yang dimuat di “The World Bank Economic Review” Volume 18 tahun 2004.
Studi tersebut merupakan simulasi (artinya bukan studi riil) dengan menggunakan program Computable General Eqilibrium (CGE). Hasilnya: dalam jangka pendek jika Indonesia menandatangani perjanjian perdagangan bebas maka yang terkena dampak negatif secara langsung adalah petani di pedesaan karena pendapatan mereka yang pas-pasan menjadi menurun dengan penurunan harga produk pertanian akibat dibebaskannya bea-impor produk dari negara lain. Akibatnya jumlah penduduk miskin di pedesaan akan bertambah Tetapi dalam jangka panjang jumlah penduduk miskin berkurang karena mereka yang terkena dampak negatif liberalisasi perdagangan bisa berpindah kerja ke sektor yang tumbuh karena adanya liberalisasi perdagangan.
Implikasi Kebijakan
Baik studi yang menemukan dampak positif, dampak negatif, serta studi kasus di Indonesia dari dampak liberalisasi perdagangan terhadap kemiskinan dapat ditarik implikasi kebijakan agar dampak positiflah yang terjadi. Dari berbagai studi yang dikutip ternyata sektor pertanianlah memang yang menerima dampak yang kuat baik itu positif maupun negatif. Maka implikasinya adalah: Pertama, menggalakkan lagi kegiatan usaha di luar pertanian (off farm employment) bagi petani-petani untuk mengantisipasi hilangnya pekerjaan atau berkurangnya pendapatan mereka karena penerapan berbagai liberalisasi perdagangan khususnya ACFTA.
Kedua, perlu redistribusi lahan pertanian dengan melaksanakan UU Pokok Agraria secara konsisten. Maksudnya adalah diberlakukannya batas maksimal dan minimal pemilikan lahan. Saat ini di Jawa lahan pertanian yang dimiliki oleh petani sudah sangat sempit-sempit. Ada dua alternatif yaitu dilakukan konsolidasi lahan kemudian diredistribusi atau memakai pertanian komunal dimana lahan-lahan disatukan kemudian digarap bersama-sama seperti di China.
Ketiga, sudah saatnya kebijakan-kebijakan pemerintah secara umum berpihak pada pedesaan dengan memperbaiki kondisi infrastruktur, teknologi, serta akses terhadap modal dan informasi di pedesaan. Dengan perbaikan-perbaikan itu maka liberalisasi perdagangan khususnya ACFTA yang sudah diberlakukan akan mempunyai dampak positif berupa berkurangnya penduduk miskin.
(Nugroho SBM, Staf Pengajar FE Undip Semarang)
Pada tahun 2010 ini telah diimplementasikan perjanjian perdagangan bebas antara China dengan negara-negara ASEAN atau ASEAN China Free Trade Agreement (ACFTA). Ini bukanlah perjanjian perdagangan bebas pertama yang dilakukan oleh Indonesia baik secara bilateral maupun multilateral. Beberapa pernjanjian perdagangan bebas yang telah dilaksanakan oleh Indonesia antara lain: AFTA (perdagangan bebas antar negara-negara ASEAN), antara ASEAn dengan Australia dan Selandia Baru, antara ASEAN dengan Korea Selatan, antara Indonesia dengan Jepang, keikutsertaan Indonesia dalam APEC (kerjasama antar negara-negara Asia Pasifik), dan dalam skala yang lebih luas adalah keikutsertaan Indonesia dalam WTO (Organisasi Perdagangan Bebas Dunia).
Banyak pihak yang khawatir terhadap diberlakukannya ACFTA tersebut. Kekhawatiran tersebut antara lain menyangkut akan ambruknya sejumlah sektor usaha di Indonesia. Beberapa sektor usaha yang akan ambruk menurut studi Purbaya Yudi Sadewa, ahli ekonomi Danareksa Research Institute (Kompas, 4/1/2010) dengan menggunakan Program Komputer GTAP (General Trade Analysis Project), adalah sektor-sektor usaha yang memproduksi: produk-produk dari kulit, produk-produk logam (metal), produk manufaktur, pakaian jadi, gandum, gula, tebu dan bit gula, padi, dan beras yang diproses.
Secara ekonomi makro kekhawatiran utamanya adalah membengkaknya defisit neraca perdagangan Indonesia. pada tahap penerapan AFTA yang sekarang saja (karena AFTA diterapkan bertahap) neraca perdagangan antara Indonesia dengan negara-negara ASEAN lain sudah defisit (impor lebih besar dari ekspor). Apalagi kalau nanti ditambah dengan perdagangan bebas dengan China. Besarnya defisit tersebut adalah dengan Thailand 2,67 miliar dolar AS, dengan Malaysia 2,49 miliar dolar AS, dan dengan Singapura 8,93 miliar dolar AS.
Demikian pula dengan neraca perdagangan Indonesia dengan China sekarang inipun sudah mengalami defisit. Besarnya defisit tersebut mencapai 4,3 miliar dolar AS. Itupun belum diperhitungkan nilai dari barang-barang selundupan dari China ke Indonesia yang sekarang ini sudah banyak beredar di pasar Indonesia. Padahal defisit tersebut mempunyai dampak tak kalah merugikan misalnya pada melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar dengan segala dampak ikutannya misalnya: membengkaknya beban cicilan utang LN dan mahalnya “harga” stabilisasi kurs berupa terpaksanya BI meningkatkan suku bunga dengan akibat matinya sektor riil.
Salah satu dampak penting liberalisasi perdagangan – yang belum banyak didiskusikan- adalah terhadap kemiskinan. Seperti diketahui, jumlah penduduk miskin di Indonesia masih besar. Pada tahun 2009 jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 32,5 juta jiwa. Sedangkan pada tahun 2010 ini ada banyak perkiraan. Pemerintah memeperkirakan jumlah penduduk miskin akan turun menjadi sekitar 30 juta orang. Sementara menurut Agus Eko Nugroho (Peneliti pada Pusat Penelitian Ekonomi LIPI) justru memperkirakan memperkirakan jumlah orang miskin di tahun 2010 justru mengalami peningkatan menjadi 3,7 juta orang atau naik 200.000 orang dibanding tahun 2009.
Penyebab perbedaan dalam memperkirakan jumlah orang miskin adalah pada prediksi tingkat inflasi. Pemerintah memprediksi tingkat inflasi yang rendah yaitu 4 persen, sementara Agus Eko Nugroho memperkirakan tingkat inflasi lebih tinggi yaitu 5, 6 persen. Tingkat inflasi mempengaruhi jumlah orang miskin karena inflasi akan sangat mempengaruhi pendapatan dan daya beli riil masyarakat. Semakin tinggi tingkat inflasi maka semakin rendah pula daya beli riil masyarakat dan dengan demikian semakin banyak pula jumlah orang miskin.
Menambah Kemiskinan
Lalu bagaimana dampak diberlakukannya perdagangan bebas terhadap jumlah penduduk miskin? Ada beberapa studi yang mencoba mengkaji dampak perdagangan bebas terhadap kemiskinan. Berbagai studi menunjukkan hasil yang saling berlawanan. Pertama, studi yang dilakukan oleh John Cockburn di Nepal (2001) dengan menggunakan program komputer CGE (Computable General Equlibrium) menghasilkan kesimpulan bahwa liberalisasi perdagangan di Nepal berdampak pada penurunan penduduk miskin di perkotaan tetapi penduduk miskin di pedesaan justru naik. Hal tersebut terjadi karena liberalisasi perdagangan justru memukul sektor pertanian di pedesaan dengan produk-produk pertanian yang lebih murah, sementara penduduk perkotaan diuntungkan karena terbukanya lapangan pekerjaan baru di sektor perdagangan. Maksudnya penduduk perkotaan bisa berusaha di sektor perdagangan dengan membeli barang impor yang murah dan kemudian menjualnya dengan mendapatkan marjin keuntungan.
Kedua, studi yang dilakukan oleh Bahattasali, dkk (2005) di negara-negara Sub Sahara Afrika, Asia Tengah, dan bekas Uni Soviet menemukan kesimpulan bahwa liberalisasi perdagangan justru memperbesar penduduk miskin karena ketidakmerataan asset yang dimiliki., misalnya lahan pertanian. Petani yang mempunyai lahan luas akan lebih diuntungkan karena bisa berpindah dari komoditi pertanian yang tersaingi produk impor ke komoditi berorientasi ekspor. Sementara itu, pemilik lahan sempit tidak bisa dengan leluasa berpindah komoditi karena keterbatasan modal dan pengetahuan. Padahal sebagian besar petani di negara-negara yang distudi adalah pemilik lahan sempit.
Ketiga, studi yang dilakukan Madeley (2004) di beberapa negara sedang berkembang mempunyai kesimpulan sama yaitu liberalisasi perdagangan mempunyai dampak buruk yaitu meningkatkan jumlah penduduk miskin. Penyebabnya adalah tidak cukupnya ketrampilan tenaga kerja bekas sektor pertanian di pedesaan yang terpukul dengan liberalisasi perdagangan untuk berpindah ke sektor perdagangan dan jasa di perkotaan yang diuntungkan dengan liberalisasi perdagangan.
Mengurangi Kemiskinan
Namun ada beberapa studi yang justru menemukan bahwa perdagangan bebas dapat mengurangi jumlah orang miskin. Pertama, studi yang dilakukan oleh Bank Dunia (2004) di 24 negara sedang berkembang menemukan bahwa liberalisasi perdagangan telah membawa kondisi negara-negara yang terlibat di dalamnya lebih baik yaitu berupa pertumbuhan ekonomi yang tinggi (di atas 5 persen), harapan hidup yang lebih lama, dan pendidikan yang lebih baik.
Kedua, studi oleh Jha V dan S Gupta (2004) di India menemukan bahwa liberalisasi perdagangan telah mengurangi jumlah penduduk miskin. Sebabnya adalah dengan liberalisasi maka tariff bea-masuk ntuk produk pertanian India yang diekspor ke negara-negara lain menjadi nol persen. Akibatnya India yang merupakan eksportir produk-produk pertanian diuntungkan dan jumlah penduduk miskin menjadi berkurang.
Ketiga, studi yang dilakukan oleh Cororaton dan Cockburn (2005) di Filipina antara tahun 1994 sampai 2000- yaitu periode implementasi pembebasan bea-masuk untuk produk yang diimpor ke Filipina- menemukan bahwa liberalisasi perdagangan telah menurunkan penduduk miskin. Sebabnya adalah dengan pembebasan bea-masuk maka harga produk-produk menjadi turun dan dengan demikian tingkat inflasi juga turun. Turunnya tingkat inflasi mengakibatkan daya beli atau pendapatan riil masyarakat naik sehingga jumlah penduduk miskin pun turun.
Studi di Indonesia
Bagaimana dengan studi di Indonesia? Belum banyak studi yang dilakukan untuk kasus Indonesia. Salah satunya adalah yang dilakukan Thomas W hertel, dkk (2004) dalam judul artikelnya ” The Earning Effects of Multilateral Trade Liberalization: Implication for Poverty” (Dampak pada Pendapatan dari Liberalisasi Perdagangan Multilateral: Implikasi bagi Kemiskinan) yang dimuat di “The World Bank Economic Review” Volume 18 tahun 2004.
Studi tersebut merupakan simulasi (artinya bukan studi riil) dengan menggunakan program Computable General Eqilibrium (CGE). Hasilnya: dalam jangka pendek jika Indonesia menandatangani perjanjian perdagangan bebas maka yang terkena dampak negatif secara langsung adalah petani di pedesaan karena pendapatan mereka yang pas-pasan menjadi menurun dengan penurunan harga produk pertanian akibat dibebaskannya bea-impor produk dari negara lain. Akibatnya jumlah penduduk miskin di pedesaan akan bertambah Tetapi dalam jangka panjang jumlah penduduk miskin berkurang karena mereka yang terkena dampak negatif liberalisasi perdagangan bisa berpindah kerja ke sektor yang tumbuh karena adanya liberalisasi perdagangan.
Implikasi Kebijakan
Baik studi yang menemukan dampak positif, dampak negatif, serta studi kasus di Indonesia dari dampak liberalisasi perdagangan terhadap kemiskinan dapat ditarik implikasi kebijakan agar dampak positiflah yang terjadi. Dari berbagai studi yang dikutip ternyata sektor pertanianlah memang yang menerima dampak yang kuat baik itu positif maupun negatif. Maka implikasinya adalah: Pertama, menggalakkan lagi kegiatan usaha di luar pertanian (off farm employment) bagi petani-petani untuk mengantisipasi hilangnya pekerjaan atau berkurangnya pendapatan mereka karena penerapan berbagai liberalisasi perdagangan khususnya ACFTA.
Kedua, perlu redistribusi lahan pertanian dengan melaksanakan UU Pokok Agraria secara konsisten. Maksudnya adalah diberlakukannya batas maksimal dan minimal pemilikan lahan. Saat ini di Jawa lahan pertanian yang dimiliki oleh petani sudah sangat sempit-sempit. Ada dua alternatif yaitu dilakukan konsolidasi lahan kemudian diredistribusi atau memakai pertanian komunal dimana lahan-lahan disatukan kemudian digarap bersama-sama seperti di China.
Ketiga, sudah saatnya kebijakan-kebijakan pemerintah secara umum berpihak pada pedesaan dengan memperbaiki kondisi infrastruktur, teknologi, serta akses terhadap modal dan informasi di pedesaan. Dengan perbaikan-perbaikan itu maka liberalisasi perdagangan khususnya ACFTA yang sudah diberlakukan akan mempunyai dampak positif berupa berkurangnya penduduk miskin.
(Nugroho SBM, Staf Pengajar FE Undip Semarang)
BEBERAPA KENDALA MENABUNG
Oleh: Nugroho SBM
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sabtu 20 Februari 2010 mencanangkan ”Gerakan Indonesia Menabung”. Yang menarik, menandai awal gerakan tersebut BI bekerjasama dengan 70 bank umum dan Bank Pembangunan Daerah (BPD) serta 910 Bank Perkreditan Rakyat (BPR) meluncurkan produk tabungan baru yang diberi nama ”TabunganKu”. Berbeda dengan produk tabungan yang ada selama ini, ”TabunganKu” mempunyai ciri-ciri: bebas dari biaya administrasi, saldo minimal yang kecil yaitu Rp 20.000 untuk bank umum dan Rp 10.000 untuk BPR, dan suku bunga yang juga sangat rendah yaitu 0,75% (Suara Merdeka, 16/2/2010).
Jika dicermati maka strategi yang dipakai untuk menarik deposan dari TabunganKu adalah kebijakan untuk membebaskan biaya administrasi dan dan menetapkan saldo minimal yang kecil. Dengan demikian salah satu hambatan bagi para penabung atau deposan kecil (hanya punya dana pas-pasan) agar dapat menyimpan dananya di bank dapat diatasi. Tentang biaya administrasi ini, saya tidak tahu kapan bank-bank mulai memungutnya. Banyak pendapat yang mengatakan bahwa kegiatan memungut biaya administrasi ini adalah salah satu cara mencari pendapatan secara gampang. Istilah populernya adalah kegiatan mencari rente (rent seeking activity).
Sebagai ilustrasi betapa ”kejamnya” biaya administrasi ini, saya ambilkan contoh sebuah bank besar terkenal yang mengenakan biaya administrasi Rp 10.000 per bulan. Adapun suku bunga untuk tabungan bersaldo Rp 1 juta-Rp 10 juta sebesar 2 persen per tahun. Dengan asumsi nilai tabungan awal Rp 5 juta dan tidak pernah ditambah selama setahun, nasabah akan mendapat bunga Rp 100.000 per tahun. Setelah dipotong pajak 20 persen, pendapatan nasabah tinggal Rp 80.000. Padahal, biaya administrasi yang harus dibayar selama setahun mencapai Rp 120.000. Alhasil, dana berkurang Rp 40.000 dalam setahun. Penabung kian cepat kehilangan uangnya jika nilai tabungan di bawah Rp 1 juta. Sebab bunganya nol persen. Penabung tidak akan tergerus uangnya jika saldonya minimal Rp 6 juta. Pada level itu, biaya administrasi dan bunga mencapai titik keseimbangan.
Sebaliknya, waktu saya kecil, ada produk tabungan yang sangat terkenal yaitu TABANAS dan TASKA. Kedua produk tabungan tersebut bebas biaya administrasi dan sangat terjangkau bagi para pelajar karena saldo minimalnya sangat kecil sehingga para pelajar bisa menyisihkan sedikit uang sakunya untuk ditabung. Saya masih ingat betul, ketika sudah lulus SLTP dan duduk di bangku SLTA saya iseng mengambil tabungan saya yang saldonya kecil untuk saya tutup. Tak disangka saya mendapatkan bahwa uang saya bertambah banyak, tidak seperti tabungan sekarang yang pasti kalau saldonya kecil dan tidak pernah diisi maka akan habis dipotong biaya administrasi. Mungkin TabunganKu ingin mengembalikan citra tabungan seperti pada jaman TABANAS dan TASKA.
Dengan program TabunganKu ini, menurut Pjs Gubernur BI Darmin Nasution, akan dapat digaet 48 juta deposan baru dengan perkiraan dana yang bisa dihimpun sekitar 48 trilyun rupiah dengan asumsi setiap deposan baru itu menabung rata-rata Rp 1juta..
Kendala Lain
Namun biaya administrasi dan saldo minimal tabungan bukanlah satu-satunya kendala seseorang untuk menabung di Indonesia. Ada beberapa kendala lain. Pertama, ketidaksadaran masyarakat tentang bahaya jika tidak menabung. Sebuah survei dari Survei Citigroup (2009) menunjukkan sebagian besar masyarakat Indonesia tidak biasa menabung. Survei tersebut mengambil sampel 400 responden. Dari 400 responden tersebut kurang dari 47 persennya yang menyisihkan pendapatannya untuk ditabung, Dari responden yang menabung pun ketika ditanya seandainya mereka di PHK dari tempat kerjanya maka tabungan mereka hanya cukup untuk hidup empat minggu saja. Kecilnya tabungan mereka disebabkan lebih banyak mereka kurang rajin dan kurang disiplin dalam menyisihkan pendapatannya untuk ditabung. Implikasi dari hal ini adalah kampanye untuk gerakan menabung mestinya tidak hanya mengkampanyekan atau mengenalkan produk tabungan tetapi juga kampanye manfaat menabung untuk masa depan atau bisa juga sebaliknya yaitu bahayanya tidak menabung.
Hambatan kedua, mengapa masyarakat Indonesia kurang suka menabung adalah kecilnya pendapatan. Secara sederhana tabungan adalah pendapatan dikurangi pengeluaran. Maka jika pendapatan hanya cukup untuk menutup pengeluaran tidak ada lagi sisa pendapatan untuk ditabung. Seperti diketahui, jumlah penduduk miskin di Indonesia masih besar. Pada tahun 2009 jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 32,5 juta jiwa. Sedangkan pada tahun 2010 ini ada banyak perkiraan. Pemerintah memeperkirakan jumlah penduduk miskin akan turun menjadi sekitar 30 juta orang. Sementara menurut Agus Eko Nugroho (Peneliti pada Pusat Penelitian Ekonomi LIPI) justru memperkirakan memperkirakan jumlah orang miskin di tahun 2010 justru mengalami peningkatan menjadi 3,7 juta orang atau naik 200.000 orang dibanding tahun 2009. Maka jika ingin jumlah penabung dan tabungan di Indonesia bertambah sebagai salah satu sumber pembiayaan pembangunan, kemiskinan haruslah diatasi. Terdengar kabar bahwa pemerintah akan mengajukan RUU Penanggulangan Kemiskinan ke DPR sebagai upaya untuk mempercepat dan mengefektifkan kebijakan penanggulangan kemiskinan. Langkah ini perlu didukung supaya jumlah orang miskin di Indonesia kian cepat berkurang dan dengan demikian jumlah tabungan serta penabung kian banyak.
Kendala ketiga, adalah adanya sikap boros dari masyarakat Indonesia yang sebenarnya mampu untuk menabung. Dalam ilmu ekonomi makro dikenal adanya angka atau koefisien yang disebut kecenderungan mengkonsumsi marjinal (Marginal Propensity to Consume atau MPC). Angka atau koefisien ini menunjukkan berapa persen tambahan pengeluaran konsumsi masyarakat sebagai akibat pertambahan pendapatan masyarakat. Semakin besar angkanya menunjukkan semakin konsumtif masyarakat. Penelitian Lembaga Penelitian Ekonomi Institut Bisnis Indonesia (LPE –IBI) dengan data 1971-1997 menunjukkan angka MPC untuk Indonesia adalah 0,77 artinya jika pendapatan masyarakat naik 100 persen maka pengeluaran konsumsi masyarakat akan naik 77 persen. Memang bisa saja MPC yang tinggi itu disebabkan karena kenaikan pendapatan memang hanya cukup untuk menutup pengeluaran konsumsi. Tetapi kemungkinan lain adalah memang masyarakat kita adalah masyarakat konsumtif atau boros. Perilaku boros ini tampaknya sengaja diciptakan oleh para kapitalis di negara-negara maju lewat iklan. Lewat iklan yang sangat intensif masyarakat dibius untuk membeli barang bukan karena kebutuhan tetapi karena gengsi. Untuk mengatasi kendala ini mau tidak mau kembali kepada pribadi masing-masing. Pemerintah hanya bisa menghimbau.
Kendala keempat, budaya masyarakat Indonesia yang berorientasi masa lalu dan punya mentalitas suka menerabas. Menurut Koentjaraningrat, salah satu ciri masyarakat di negara sedang berkembang- termasuk Indonesia - adalah berorientasi pada masa lalu dan bukan pada masa depan. Perilaku gemar menabung sebenarnya adalah perilaku untuk melihat ke masa depan. Ciri lain dari masyarakat negara sedang berkembang – termasuk Indonesia – masih menurut Koentjaraningrat adalah mentalitas suka menerabas. Artinya untuk mencapai sesuatu orang ingin cari jalan pintas. Padahal menabung adalah salah satu cara untuk hidup cukup dengan cara yang tidak menerabas. Maka sebenarnya gerakan untuk membuat orang suka menabung bukan semata-mata teknis-ekonomis semata tetapi harus juga merupakan gerakan budaya dan oleh karena itu diperlukan rekayasa kebudayaan pula.
(Nugroho SBM, Staf Pengajar FE Undip Semarang)
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sabtu 20 Februari 2010 mencanangkan ”Gerakan Indonesia Menabung”. Yang menarik, menandai awal gerakan tersebut BI bekerjasama dengan 70 bank umum dan Bank Pembangunan Daerah (BPD) serta 910 Bank Perkreditan Rakyat (BPR) meluncurkan produk tabungan baru yang diberi nama ”TabunganKu”. Berbeda dengan produk tabungan yang ada selama ini, ”TabunganKu” mempunyai ciri-ciri: bebas dari biaya administrasi, saldo minimal yang kecil yaitu Rp 20.000 untuk bank umum dan Rp 10.000 untuk BPR, dan suku bunga yang juga sangat rendah yaitu 0,75% (Suara Merdeka, 16/2/2010).
Jika dicermati maka strategi yang dipakai untuk menarik deposan dari TabunganKu adalah kebijakan untuk membebaskan biaya administrasi dan dan menetapkan saldo minimal yang kecil. Dengan demikian salah satu hambatan bagi para penabung atau deposan kecil (hanya punya dana pas-pasan) agar dapat menyimpan dananya di bank dapat diatasi. Tentang biaya administrasi ini, saya tidak tahu kapan bank-bank mulai memungutnya. Banyak pendapat yang mengatakan bahwa kegiatan memungut biaya administrasi ini adalah salah satu cara mencari pendapatan secara gampang. Istilah populernya adalah kegiatan mencari rente (rent seeking activity).
Sebagai ilustrasi betapa ”kejamnya” biaya administrasi ini, saya ambilkan contoh sebuah bank besar terkenal yang mengenakan biaya administrasi Rp 10.000 per bulan. Adapun suku bunga untuk tabungan bersaldo Rp 1 juta-Rp 10 juta sebesar 2 persen per tahun. Dengan asumsi nilai tabungan awal Rp 5 juta dan tidak pernah ditambah selama setahun, nasabah akan mendapat bunga Rp 100.000 per tahun. Setelah dipotong pajak 20 persen, pendapatan nasabah tinggal Rp 80.000. Padahal, biaya administrasi yang harus dibayar selama setahun mencapai Rp 120.000. Alhasil, dana berkurang Rp 40.000 dalam setahun. Penabung kian cepat kehilangan uangnya jika nilai tabungan di bawah Rp 1 juta. Sebab bunganya nol persen. Penabung tidak akan tergerus uangnya jika saldonya minimal Rp 6 juta. Pada level itu, biaya administrasi dan bunga mencapai titik keseimbangan.
Sebaliknya, waktu saya kecil, ada produk tabungan yang sangat terkenal yaitu TABANAS dan TASKA. Kedua produk tabungan tersebut bebas biaya administrasi dan sangat terjangkau bagi para pelajar karena saldo minimalnya sangat kecil sehingga para pelajar bisa menyisihkan sedikit uang sakunya untuk ditabung. Saya masih ingat betul, ketika sudah lulus SLTP dan duduk di bangku SLTA saya iseng mengambil tabungan saya yang saldonya kecil untuk saya tutup. Tak disangka saya mendapatkan bahwa uang saya bertambah banyak, tidak seperti tabungan sekarang yang pasti kalau saldonya kecil dan tidak pernah diisi maka akan habis dipotong biaya administrasi. Mungkin TabunganKu ingin mengembalikan citra tabungan seperti pada jaman TABANAS dan TASKA.
Dengan program TabunganKu ini, menurut Pjs Gubernur BI Darmin Nasution, akan dapat digaet 48 juta deposan baru dengan perkiraan dana yang bisa dihimpun sekitar 48 trilyun rupiah dengan asumsi setiap deposan baru itu menabung rata-rata Rp 1juta..
Kendala Lain
Namun biaya administrasi dan saldo minimal tabungan bukanlah satu-satunya kendala seseorang untuk menabung di Indonesia. Ada beberapa kendala lain. Pertama, ketidaksadaran masyarakat tentang bahaya jika tidak menabung. Sebuah survei dari Survei Citigroup (2009) menunjukkan sebagian besar masyarakat Indonesia tidak biasa menabung. Survei tersebut mengambil sampel 400 responden. Dari 400 responden tersebut kurang dari 47 persennya yang menyisihkan pendapatannya untuk ditabung, Dari responden yang menabung pun ketika ditanya seandainya mereka di PHK dari tempat kerjanya maka tabungan mereka hanya cukup untuk hidup empat minggu saja. Kecilnya tabungan mereka disebabkan lebih banyak mereka kurang rajin dan kurang disiplin dalam menyisihkan pendapatannya untuk ditabung. Implikasi dari hal ini adalah kampanye untuk gerakan menabung mestinya tidak hanya mengkampanyekan atau mengenalkan produk tabungan tetapi juga kampanye manfaat menabung untuk masa depan atau bisa juga sebaliknya yaitu bahayanya tidak menabung.
Hambatan kedua, mengapa masyarakat Indonesia kurang suka menabung adalah kecilnya pendapatan. Secara sederhana tabungan adalah pendapatan dikurangi pengeluaran. Maka jika pendapatan hanya cukup untuk menutup pengeluaran tidak ada lagi sisa pendapatan untuk ditabung. Seperti diketahui, jumlah penduduk miskin di Indonesia masih besar. Pada tahun 2009 jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 32,5 juta jiwa. Sedangkan pada tahun 2010 ini ada banyak perkiraan. Pemerintah memeperkirakan jumlah penduduk miskin akan turun menjadi sekitar 30 juta orang. Sementara menurut Agus Eko Nugroho (Peneliti pada Pusat Penelitian Ekonomi LIPI) justru memperkirakan memperkirakan jumlah orang miskin di tahun 2010 justru mengalami peningkatan menjadi 3,7 juta orang atau naik 200.000 orang dibanding tahun 2009. Maka jika ingin jumlah penabung dan tabungan di Indonesia bertambah sebagai salah satu sumber pembiayaan pembangunan, kemiskinan haruslah diatasi. Terdengar kabar bahwa pemerintah akan mengajukan RUU Penanggulangan Kemiskinan ke DPR sebagai upaya untuk mempercepat dan mengefektifkan kebijakan penanggulangan kemiskinan. Langkah ini perlu didukung supaya jumlah orang miskin di Indonesia kian cepat berkurang dan dengan demikian jumlah tabungan serta penabung kian banyak.
Kendala ketiga, adalah adanya sikap boros dari masyarakat Indonesia yang sebenarnya mampu untuk menabung. Dalam ilmu ekonomi makro dikenal adanya angka atau koefisien yang disebut kecenderungan mengkonsumsi marjinal (Marginal Propensity to Consume atau MPC). Angka atau koefisien ini menunjukkan berapa persen tambahan pengeluaran konsumsi masyarakat sebagai akibat pertambahan pendapatan masyarakat. Semakin besar angkanya menunjukkan semakin konsumtif masyarakat. Penelitian Lembaga Penelitian Ekonomi Institut Bisnis Indonesia (LPE –IBI) dengan data 1971-1997 menunjukkan angka MPC untuk Indonesia adalah 0,77 artinya jika pendapatan masyarakat naik 100 persen maka pengeluaran konsumsi masyarakat akan naik 77 persen. Memang bisa saja MPC yang tinggi itu disebabkan karena kenaikan pendapatan memang hanya cukup untuk menutup pengeluaran konsumsi. Tetapi kemungkinan lain adalah memang masyarakat kita adalah masyarakat konsumtif atau boros. Perilaku boros ini tampaknya sengaja diciptakan oleh para kapitalis di negara-negara maju lewat iklan. Lewat iklan yang sangat intensif masyarakat dibius untuk membeli barang bukan karena kebutuhan tetapi karena gengsi. Untuk mengatasi kendala ini mau tidak mau kembali kepada pribadi masing-masing. Pemerintah hanya bisa menghimbau.
Kendala keempat, budaya masyarakat Indonesia yang berorientasi masa lalu dan punya mentalitas suka menerabas. Menurut Koentjaraningrat, salah satu ciri masyarakat di negara sedang berkembang- termasuk Indonesia - adalah berorientasi pada masa lalu dan bukan pada masa depan. Perilaku gemar menabung sebenarnya adalah perilaku untuk melihat ke masa depan. Ciri lain dari masyarakat negara sedang berkembang – termasuk Indonesia – masih menurut Koentjaraningrat adalah mentalitas suka menerabas. Artinya untuk mencapai sesuatu orang ingin cari jalan pintas. Padahal menabung adalah salah satu cara untuk hidup cukup dengan cara yang tidak menerabas. Maka sebenarnya gerakan untuk membuat orang suka menabung bukan semata-mata teknis-ekonomis semata tetapi harus juga merupakan gerakan budaya dan oleh karena itu diperlukan rekayasa kebudayaan pula.
(Nugroho SBM, Staf Pengajar FE Undip Semarang)
Langganan:
Postingan (Atom)