Minggu, 07 Maret 2010

DAMPAK PERDAGANGAN BEBAS TERHADAP KEMISKINAN

Oleh Nugroho SBM

Pada tahun 2010 ini telah diimplementasikan perjanjian perdagangan bebas antara China dengan negara-negara ASEAN atau ASEAN China Free Trade Agreement (ACFTA). Ini bukanlah perjanjian perdagangan bebas pertama yang dilakukan oleh Indonesia baik secara bilateral maupun multilateral. Beberapa pernjanjian perdagangan bebas yang telah dilaksanakan oleh Indonesia antara lain: AFTA (perdagangan bebas antar negara-negara ASEAN), antara ASEAn dengan Australia dan Selandia Baru, antara ASEAN dengan Korea Selatan, antara Indonesia dengan Jepang, keikutsertaan Indonesia dalam APEC (kerjasama antar negara-negara Asia Pasifik), dan dalam skala yang lebih luas adalah keikutsertaan Indonesia dalam WTO (Organisasi Perdagangan Bebas Dunia).
Banyak pihak yang khawatir terhadap diberlakukannya ACFTA tersebut. Kekhawatiran tersebut antara lain menyangkut akan ambruknya sejumlah sektor usaha di Indonesia. Beberapa sektor usaha yang akan ambruk menurut studi Purbaya Yudi Sadewa, ahli ekonomi Danareksa Research Institute (Kompas, 4/1/2010) dengan menggunakan Program Komputer GTAP (General Trade Analysis Project), adalah sektor-sektor usaha yang memproduksi: produk-produk dari kulit, produk-produk logam (metal), produk manufaktur, pakaian jadi, gandum, gula, tebu dan bit gula, padi, dan beras yang diproses.
Secara ekonomi makro kekhawatiran utamanya adalah membengkaknya defisit neraca perdagangan Indonesia. pada tahap penerapan AFTA yang sekarang saja (karena AFTA diterapkan bertahap) neraca perdagangan antara Indonesia dengan negara-negara ASEAN lain sudah defisit (impor lebih besar dari ekspor). Apalagi kalau nanti ditambah dengan perdagangan bebas dengan China. Besarnya defisit tersebut adalah dengan Thailand 2,67 miliar dolar AS, dengan Malaysia 2,49 miliar dolar AS, dan dengan Singapura 8,93 miliar dolar AS.
Demikian pula dengan neraca perdagangan Indonesia dengan China sekarang inipun sudah mengalami defisit. Besarnya defisit tersebut mencapai 4,3 miliar dolar AS. Itupun belum diperhitungkan nilai dari barang-barang selundupan dari China ke Indonesia yang sekarang ini sudah banyak beredar di pasar Indonesia. Padahal defisit tersebut mempunyai dampak tak kalah merugikan misalnya pada melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar dengan segala dampak ikutannya misalnya: membengkaknya beban cicilan utang LN dan mahalnya “harga” stabilisasi kurs berupa terpaksanya BI meningkatkan suku bunga dengan akibat matinya sektor riil.
Salah satu dampak penting liberalisasi perdagangan – yang belum banyak didiskusikan- adalah terhadap kemiskinan. Seperti diketahui, jumlah penduduk miskin di Indonesia masih besar. Pada tahun 2009 jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 32,5 juta jiwa. Sedangkan pada tahun 2010 ini ada banyak perkiraan. Pemerintah memeperkirakan jumlah penduduk miskin akan turun menjadi sekitar 30 juta orang. Sementara menurut Agus Eko Nugroho (Peneliti pada Pusat Penelitian Ekonomi LIPI) justru memperkirakan memperkirakan jumlah orang miskin di tahun 2010 justru mengalami peningkatan menjadi 3,7 juta orang atau naik 200.000 orang dibanding tahun 2009.
Penyebab perbedaan dalam memperkirakan jumlah orang miskin adalah pada prediksi tingkat inflasi. Pemerintah memprediksi tingkat inflasi yang rendah yaitu 4 persen, sementara Agus Eko Nugroho memperkirakan tingkat inflasi lebih tinggi yaitu 5, 6 persen. Tingkat inflasi mempengaruhi jumlah orang miskin karena inflasi akan sangat mempengaruhi pendapatan dan daya beli riil masyarakat. Semakin tinggi tingkat inflasi maka semakin rendah pula daya beli riil masyarakat dan dengan demikian semakin banyak pula jumlah orang miskin.

Menambah Kemiskinan
Lalu bagaimana dampak diberlakukannya perdagangan bebas terhadap jumlah penduduk miskin? Ada beberapa studi yang mencoba mengkaji dampak perdagangan bebas terhadap kemiskinan. Berbagai studi menunjukkan hasil yang saling berlawanan. Pertama, studi yang dilakukan oleh John Cockburn di Nepal (2001) dengan menggunakan program komputer CGE (Computable General Equlibrium) menghasilkan kesimpulan bahwa liberalisasi perdagangan di Nepal berdampak pada penurunan penduduk miskin di perkotaan tetapi penduduk miskin di pedesaan justru naik. Hal tersebut terjadi karena liberalisasi perdagangan justru memukul sektor pertanian di pedesaan dengan produk-produk pertanian yang lebih murah, sementara penduduk perkotaan diuntungkan karena terbukanya lapangan pekerjaan baru di sektor perdagangan. Maksudnya penduduk perkotaan bisa berusaha di sektor perdagangan dengan membeli barang impor yang murah dan kemudian menjualnya dengan mendapatkan marjin keuntungan.
Kedua, studi yang dilakukan oleh Bahattasali, dkk (2005) di negara-negara Sub Sahara Afrika, Asia Tengah, dan bekas Uni Soviet menemukan kesimpulan bahwa liberalisasi perdagangan justru memperbesar penduduk miskin karena ketidakmerataan asset yang dimiliki., misalnya lahan pertanian. Petani yang mempunyai lahan luas akan lebih diuntungkan karena bisa berpindah dari komoditi pertanian yang tersaingi produk impor ke komoditi berorientasi ekspor. Sementara itu, pemilik lahan sempit tidak bisa dengan leluasa berpindah komoditi karena keterbatasan modal dan pengetahuan. Padahal sebagian besar petani di negara-negara yang distudi adalah pemilik lahan sempit.
Ketiga, studi yang dilakukan Madeley (2004) di beberapa negara sedang berkembang mempunyai kesimpulan sama yaitu liberalisasi perdagangan mempunyai dampak buruk yaitu meningkatkan jumlah penduduk miskin. Penyebabnya adalah tidak cukupnya ketrampilan tenaga kerja bekas sektor pertanian di pedesaan yang terpukul dengan liberalisasi perdagangan untuk berpindah ke sektor perdagangan dan jasa di perkotaan yang diuntungkan dengan liberalisasi perdagangan.

Mengurangi Kemiskinan
Namun ada beberapa studi yang justru menemukan bahwa perdagangan bebas dapat mengurangi jumlah orang miskin. Pertama, studi yang dilakukan oleh Bank Dunia (2004) di 24 negara sedang berkembang menemukan bahwa liberalisasi perdagangan telah membawa kondisi negara-negara yang terlibat di dalamnya lebih baik yaitu berupa pertumbuhan ekonomi yang tinggi (di atas 5 persen), harapan hidup yang lebih lama, dan pendidikan yang lebih baik.
Kedua, studi oleh Jha V dan S Gupta (2004) di India menemukan bahwa liberalisasi perdagangan telah mengurangi jumlah penduduk miskin. Sebabnya adalah dengan liberalisasi maka tariff bea-masuk ntuk produk pertanian India yang diekspor ke negara-negara lain menjadi nol persen. Akibatnya India yang merupakan eksportir produk-produk pertanian diuntungkan dan jumlah penduduk miskin menjadi berkurang.
Ketiga, studi yang dilakukan oleh Cororaton dan Cockburn (2005) di Filipina antara tahun 1994 sampai 2000- yaitu periode implementasi pembebasan bea-masuk untuk produk yang diimpor ke Filipina- menemukan bahwa liberalisasi perdagangan telah menurunkan penduduk miskin. Sebabnya adalah dengan pembebasan bea-masuk maka harga produk-produk menjadi turun dan dengan demikian tingkat inflasi juga turun. Turunnya tingkat inflasi mengakibatkan daya beli atau pendapatan riil masyarakat naik sehingga jumlah penduduk miskin pun turun.

Studi di Indonesia
Bagaimana dengan studi di Indonesia? Belum banyak studi yang dilakukan untuk kasus Indonesia. Salah satunya adalah yang dilakukan Thomas W hertel, dkk (2004) dalam judul artikelnya ” The Earning Effects of Multilateral Trade Liberalization: Implication for Poverty” (Dampak pada Pendapatan dari Liberalisasi Perdagangan Multilateral: Implikasi bagi Kemiskinan) yang dimuat di “The World Bank Economic Review” Volume 18 tahun 2004.
Studi tersebut merupakan simulasi (artinya bukan studi riil) dengan menggunakan program Computable General Eqilibrium (CGE). Hasilnya: dalam jangka pendek jika Indonesia menandatangani perjanjian perdagangan bebas maka yang terkena dampak negatif secara langsung adalah petani di pedesaan karena pendapatan mereka yang pas-pasan menjadi menurun dengan penurunan harga produk pertanian akibat dibebaskannya bea-impor produk dari negara lain. Akibatnya jumlah penduduk miskin di pedesaan akan bertambah Tetapi dalam jangka panjang jumlah penduduk miskin berkurang karena mereka yang terkena dampak negatif liberalisasi perdagangan bisa berpindah kerja ke sektor yang tumbuh karena adanya liberalisasi perdagangan.

Implikasi Kebijakan
Baik studi yang menemukan dampak positif, dampak negatif, serta studi kasus di Indonesia dari dampak liberalisasi perdagangan terhadap kemiskinan dapat ditarik implikasi kebijakan agar dampak positiflah yang terjadi. Dari berbagai studi yang dikutip ternyata sektor pertanianlah memang yang menerima dampak yang kuat baik itu positif maupun negatif. Maka implikasinya adalah: Pertama, menggalakkan lagi kegiatan usaha di luar pertanian (off farm employment) bagi petani-petani untuk mengantisipasi hilangnya pekerjaan atau berkurangnya pendapatan mereka karena penerapan berbagai liberalisasi perdagangan khususnya ACFTA.
Kedua, perlu redistribusi lahan pertanian dengan melaksanakan UU Pokok Agraria secara konsisten. Maksudnya adalah diberlakukannya batas maksimal dan minimal pemilikan lahan. Saat ini di Jawa lahan pertanian yang dimiliki oleh petani sudah sangat sempit-sempit. Ada dua alternatif yaitu dilakukan konsolidasi lahan kemudian diredistribusi atau memakai pertanian komunal dimana lahan-lahan disatukan kemudian digarap bersama-sama seperti di China.
Ketiga, sudah saatnya kebijakan-kebijakan pemerintah secara umum berpihak pada pedesaan dengan memperbaiki kondisi infrastruktur, teknologi, serta akses terhadap modal dan informasi di pedesaan. Dengan perbaikan-perbaikan itu maka liberalisasi perdagangan khususnya ACFTA yang sudah diberlakukan akan mempunyai dampak positif berupa berkurangnya penduduk miskin.

(Nugroho SBM, Staf Pengajar FE Undip Semarang)

Tidak ada komentar: