Kamis, 09 Februari 2012

WAJAH GANDA CUKAI ROKOK

Oleh Nugroho SBM

DALAM artikelnya ’’Dilema Cukai Rokok di Daerah’’ (SM, 24/02/12), Prof Purbayu Budi Santosa memaparkan dampak kenaikan cukai rokok dan kampanye cukai rokok ilegal terhadap kebangkrutan industri rokok menengah dan kecil, khususnya di Kudus. Padahal cukup besar jumlah warga di kota itu yang menggantungkan hidupnya pada industri rokok. Dia juga mengusulkan agar persentase dana bagi hasil cukai hasil tembakau (DBHCHT) ke daerah diperbesar.
Secara teori dan praktik dalam kebijakan fiskal, cukai rokok termasuk excise tax, yaitu pajak yang bertujuan mengurangi konsumsi terhadap barang yang dipajaki. Jenis pajak itu biasanya dikenakan terhadap rokok dan minuman beralkohol. Jadi fungsinya lebih sebagai alat pengatur ketimbang alat penerimaan negara. Logikanya kalau pemerintah terus menaikkan cukai maka harga rokok pun naik dan jumlah perokok bisa menurun.
Tetapi pemerintah sampai saat ini masih mendua hati terhadap cukai rokok. Di satu sisi menyadari fungsinya untuk mengendalikan, bahkan mengurangi jumlah perokok, tetapi di sisi lain masih mengharapkan sebagai penerimaan negara di APBN. Di samping itu, pemerintah menyadari bahwa industri rokok merupakan penyumbang besar penyerapan tenaga kerja sehingga ingin agar cukai yang dikenakan jangan sampai mematikan industri rokok.
Bukti bahwa pemerintah masih mengharapkan cukai rokok sebagai penerimaan APBN dan agar cukai rokok jangan sampai mematikan industri rokok adalah ketika tahun 2004 Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) Undip diminta oleh Kementerian Keuangan meneliti tentang cukai rokok. Penelitian tersebut dilandasi kenyataan bahwa penerimaan cukai rokok di APBN waktu itu diperkirakan tidak mencapai target.
.Penelitian tersebut mengajukan hipotesis berdasarkan Kurva Laffer. Laffer adalah profesor penasihat ekonomi Presiden Reagan yang terkenal dengan Reaganomics-nya. Intinya paham Reaganomics percaya bahwa perekonomian hanya bisa digerakkan dimulai dari sisi produksi atau supply. Maka kebijakan yang harus ditempuh adalah memberikan insentif kepada sisi produksi antara lain dengan pemotongan pajak.
Kurfa Laffer
Tim peneliti FEB waktu itu menduga yang dihipotesiskan Laffer dengan kurvanya telah terjadi dalam hal tarif cukai rokok. Tarif cukai rokok ditetapkan terlalu tinggi sehingga terjadi penggelapan cukai dan penurunan produksi rokok sehingga penerimaan cukai rokok di APBN juga menurun, dan akibatnya tak memenuhi target.
Fakta di lapangan memang menunjukkan kebenaran hipotesis Laffer. Banyak pabrik rokok mengelapkan cukai dengan berbagai cara: tidak memakai cukaii, memakai cukai palsu, dan memakai cukai tak sesuai dengan golongan pabrik (sebagaimana diketahui tarif cukai untuk pabrik rokok kecil, menengah, dan besar berbeda). Bahkan ada fakta tak terkontrolnya bahan yang dipakai pabrik rokok ilegal. Di lapangan ditemui ada produk yang memakai obat mercon agar rokok keretek ketika diisap berbunyi: kretek, kretek...
Penurunan produksi juga sudah terjadi. Banyak pabrik rokok yang dulunya memberlakukan 3 shift produksi menjadi hanya 1 atau 2 shift sehingga mengakibatkan penurunan penerimaan cukai rokok di APBN. Penulis setuju kalau pemerintah mulai tegas memberlakukan cukai rokok bukan sebagai penerimaan melainkan juga alat pengatur, bahkan menurunkan jumlah perokok.
Tentang penggunaan dana bagi hasil cukai rokok biasanya di berbagai negara sebagian besar digunakan untuk pemulihan kesehatan perokok dan pencegahan polusi yang mengakibatkan terjadinya perokok pasif yang lebih berbahaya. Caranya lewat kampanye antirokok atau melokalisasi kawasan untuk perokok. Terkait dengan usulan Purbayu agar dana bagi hasil cukai juga dimanfaatkan untuk membangun infrastruktur, bisa saja dilakukan tetapi hal itu tidak biasa di negara lain. (10)

— Nugroho SBM SE MSP, dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) Undip Semarang

Tidak ada komentar: