Blog ini berisi tulisan ilmiah populer dan komentar di berbagai media massa tentang masalah-masalah sosial ekonomi yang sedang dan akan terjadi di Indonesia
Senin, 06 Januari 2014
Politik Vs Ekonomi Elpiji
PEMERINTAHdan Pertamina sepakat menurunkan harga elpiji 12 kg, dari Rp 117.708 jadi Rp 82.200 per tabung mulai Selasa pukul 00.00. Lewat keputusan itu berarti harga elpiji 12 kg hanya naik Rp 1.000/kg, dari sebelumnya naik Rp 3.959/kg atau Rp 47.508 per tabung.
Pada awalnya, Pertamina mendalihkan harga internasional elpiji terus meningkat padahal selama ini impor. Dalih lain adalah depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.
Andai tidak menaikkan harga gas tersebut di dalam negeri, Pertamina beralasan bisa merugi lebih besar lagi. Kerugian tahun 2013 akibat tidak menaikkan harga elpiji kemasan 12 kg hampir Rp 6 triliun. Pertamina juga beralasan kenaikan harga gas tabung isi 12 kg tak memberatkan mengingat konsumen adalah masyarakat mampu.
Pemerintah menyatakan tak bisa mengintervensi kebijakan Pertamina mengingat penentuan harga elpiji 12 kg merupakan kewenangan penuh BUMN tersebut. Hal itu berbeda dari penentuan harga elpiji 3 kg yang disubsidi pemerintah. Di sisi lain, Badan Pusat Statistik menyatakan kenaikan harga elpiji 12 kg tak akan berdampak serius pada inflasi. Dampak inflasi, menurut BPS, hanya 0,5% (SM, 4/1/13).
Perhitungkan Dampak
Namun, pemerintah sebagai pemegang saham utama dan pengendali PT Pertamina akhirnya menunda atau membatalkan kenaikan harga itu dengan melihat kemungkinan beberapa dampak negatif. Pertama; dengan kenaikan harga tersebut, banyak konsumen beralih menggunakan elpiji 3 kg yang lebih ekonomis. Kita bisa menghitung, harga elpiji tabung 3 kg saat ini di Semarang sudah bergerak naik menjadi Rp 16.000 di tingkat pengecer.
Untuk mendapatkan gas elpiji berbobot 12 kg, konsumen perlu membeli 4 tabung dan itu hanya butuh uang Rp 64.000. Padahal saat ini gas elpiji tabung 12 kg di tingkat pengecer di Semarang paling murah Rp 140.000. Bila itu yang terjadi, pemerintah dan Pertamina pun tak bisa mencegah karena tak punya mekanisme atau kebijakan untuk mengatasi hal itu.
Akibat lebih lanjut pengalihan penggunaan dari elpiji tabung 12 kg ke 3 kg menyebabkan subsidi harga dari pemerintah untuk elpiji tabung 3 kg membengkak. Andai subsidi untuk tabung gas 3 kg membengkak bisa dipastikan pemerintah meminta Pertamina menaikkan harga elpiji kemasan ekonomis tersebut.
Efek berantai itu pun seperti lingkaran setan yang saling mengait. Masyarakat tentu bertanya-tanya mengapa pemerintah tidak konsisten, menyuruh masyarakat beralih dari minyak tanah ke elpiji tetapi setelah itu harga gas terus naik. Kedua; masyarakat miskin yang menggunakan elpiji kemasan 12 kg pun akan terkena dampak.
Di lapangan tak semua pengguna elpiji 12 kg adalah golongan mampu. Banyak dari mereka yang sebenarnya miskin. Golongan itu ‘’terpaksa’’ membeli elpiji 12 kg karena tidak/belum punya nomor induk kependudukan (NIK) atau KTP yang dipersyaratkan supaya bisa mendapat kompor gas dan tabung elpiji 3 kg dari pemerintah. Pemberian kompor berikut tabung kecil itu gratis ketika pemerintah memberlakukan program konversi minyak tanah ke elpiji.
Kebijakan itu merupakan upaya membangkitkan minat masyarakat yang biasa memakai minyak tanah, beralih ke gas elpiji. Golongan masyarakat miskin pengguna elpiji 12 kg itu tentu merasakan dampak berat. Apalagi inflasi terus meningkat akibat depresiasi rupiah terhadap dolar AS, yang berarti daya beli masyarakat makin menurun.
Berbuat Curang Ketiga; disparitas atau perbedaan harga sangat tinggi antara harga elpiji 12 kg dan 3 kg akan mendorong agen atau spekulan berbuat curang dengan memindahkan isi gas dari tabung 3 kg ke tabung 12 kg. Tindakan ini tak hanya merugikan konsumen elpiji 3 kg yang pasti mengeluh barang itu menjadi langka di pasaran, tapi juga berbahaya.
Bila pemindahan isi gas tidak hati-hati, hal itu berisiko menimbulkan ledakan dan kebakaran yang tidak hanya memakan korban harta benda tetapi juga jiwa. Keempat; pengusaha pengguna elpiji 12 kg akan langsung membebankan kenaikan harga bahan bakar itu dengan menaikkan harga barang yang dijual/diproduksi. Bila itu terjadi maka beban masyarakat bertambah berat.
Di samping dampak negatif secara ekonomi, rupanya pemerintah juga mengalkulasi dampak politis, yaitu kemenurunan elektabilitas atau popularitas partai yang saat ini menguasai pemerintahan dalam Pemilu 2014. Mendasarkan berbagai dampak negatif, termasuk dampak ikutan yang timbul terkait kenaikan harga gas tabung 12 kg maka Senin kemarin pemerintah sebagai pemegang saham utama dan pengendali Pertamina meninjau kembali kenaikan harga elpiji 12 kg.
Saya sependapat dengan pernyataan Wakil Menteri ESDM yang menyatakan bahwa Pertamina harus transparan bila memberi argumen kepada masyarakat mengenai keputusan menaikkan harga elpiji 12 kg. Selama ini banyak pihak berpendapat Pertamina tak transparan dalam hal keuangan. (10)
— Dr Nugroho SBM MSi, dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Diponegoro (Undip) Semarang
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar