PASAR
saham dan valuta asing merespons positif pencalonan Jokowi sebagai presiden
dari PDIP. Setelah deklarasi itu, indeks harga saham gabungan (IHSG) naik 3,2%
menjadi 4.878, level tertinggi pada tahun ini. Rupiah juga menguat menjadi Rp
11.355 per dolar AS. Jauh sebelum pengumuman itu, banyak bank asing memprediksi
kondisi ekonomi Indonesia akan membaik yang dicerminkan oleh kemenguatan nilai
rupiah terhadap dolar AS.
Malayan
Banking BHD membuat skenario andai Jokowi menjadi presiden maka kurs
rupiah/dolar AS bisa mencapai Rp 11.300 dan andai bukan Jokowi Rp 11.700. Bank
OCBC memprediksi andai Jokowi presiden maka kurs rupiah/dolar AS adalah Rp
12.000, dan andai bukan Jokowi Rp 12.600.
Sementara
itu, Rabbo Bank Internasional memprediksi kurs rupiah terhadap dolar AS
mencapai Rp. 11.750 dan jika bukan Rp 11.800. Tak ketinggalan, lembaga
pemeringkat utang dan ekonomi internasional Morgan Stanley memprediksi andai
Jokowi menjadi RI 1 maka kurs rupiah/ dolar AS Rp 11.800.
Hal ini
mencerminkan pelaku pasar dan ekonomi merespons positif pencapresan Jokowi,
termasuk keterpilihannya. Tapi sebenarnya, Indonesia tanpa pencapresan Jokowi
pun merupakan pasar menarik baik bagi investasi asing langsung (pendirian
pabrik) maupun investasi portofolio (pembelian surat berharga dan spekulasi
dalam valuta asing).
Alasan
bagi investasi asing langsung adalah jumlah penduduk yang besar dengan mereka
yang berpendapatan menengah yang cukup besar, dan terus bertambah. Juga
Indonesia mendapatkan bonus demografi berupa penduduk usia produktif yang bisa
dimanfaatkan sebagai tenaga kerja yang baik.
Hanya
selama ini potensi ini tersembunyi akibat infrastruktur yang buruk, ekonomi
biaya tinggi akibat merajalelanya korupsi, dan berbelitnya birokrasi. Maka
ketika Jokowi dicapreskan oleh PDIP timbul efuforia yang mungkin bersifat
sesaat. Kondisi itu dalam analisis pasar modal dan pasar valuta asing disebut
faktor teknikal.
Faktor
teknikal ini biasanya faktor nonekonomi (seringkali adalah faktor politik) dan
bersifat sementara. Faktor teknikal lain adalah spekulasi. Spekulan tentu akan
memanfaatkan tiap kejadian apa pun untuk memainkan kurs di pasar valuta asing,
termasuk dalam pencapresan Jokowi ini.
Namun
tampaknya pencapresan Jokowi, dan banyak yang meramalkan ia hampir pasti
menjadi presiden, juga dilandasi pertimbangan mendasar (fundamental) yang
bersifat ekonomi dan jangka panjang. Faktor fundamental itu pertama; Jokowi
dikenal sebagai figur jujur dan bersih dan terus membenahi birokrasi di tempat
memimpin (Surakarta dan DKI Jakarta).
Kedua;
PDIP diperkirakan menguasai mayoritas kursi DPR sehingga pemerintahan lebih
stabil. Keputusan atau kebijakan di bidang ekonomi lebih mudah diambil tanpa
faktor transaksional. Dengan demikian dunia usaha lebih tenang menjalankan
bisnis. Tidak seperti sekarang kabinet diwarnai koalisi pelangi yang sering
menghambat peluncuran kebijakan ekonomi yang positif.
Ketiga;
pilpres diperkirakan satu putaran sehingga masa tunggu bagi dunia usaha lebih
singkat. Setelah pilpres maka dunia usaha bisa segera melanjutkan usaha.
Keempat; Jokowi mendapat dukungan dari masyarakat sipil secara luas. Ini
memungkinkan pemerintahannya lebih stabil karena tak diganggu protes
masyarakat.
Kelima; banyak
kalangan bahkan membuat proyeksi lebih jauh, yaitu andai Jokowi menjadi
presiden dan pemerintahannya efektif dan bersih maka ada beberapa sektor usaha
yang prospektif atau melaju cepat, yaitu infrastruktur, properti, perbankan,
dan otomotif.
Syarat Berusaha
Namun, ada
beberapa syarat yang dituntut oleh dunia usaha bila kelak Jokowi terpilih
menjadi presiden. Pertama; kabinet, khususnya posisi kunci di bidang ekonomi,
seperti menko ekuin, menkeu, menteri BUMN, dan menteri ESDM ditempati orang
yang benar-benar kompeten.
Selama ini
sudah beredar kabinet bayangan yang disusun oleh PDIP jika nanti Jokowi dan
PDIP memimpin di eksekutif dan legislatif. Namun banyak diisi oleh kader
banteng bermoncong putih yang saat ini di parlemen. Ada baiknya PDIP mempertimbangkan
pola kabinet ahli (zaken kabinet) zaman Soeharto.
Terlepas
dari kekurangan rezim Orba, salah satu kebaikannya adalah dalam menyusun
kabinet. Soeharto jeli memilih orang-orang yang ahli di bidangnya, yaitu orang
nonbirokrasi dan nonpolitis, seperti pakar dari perguruan tinggi. PDIP bisa
mencontohnya. Kedua; Jokowi dan jajarannya harus punya visi khusus di bidang
ekonomi. Masa depan paling dekat adalah Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015. Artinya,
Jokowi dan jajarannya harus memberi landasan kuat lewat berbagai kebijakan
supaya dunia usaha Indonesia bisa bersaing dengan sesama negara ASEAN.
Tahun 2015
barangkali isu pengetatan likuiditas oleh Bank Sentral AS direalisasikan. Ini
juga membawa berbagai persoalan ekonomi serius bagi Indonesia, antara lain
kemerosotan kurs rupiah terhadap dolar AS dan kemeningkatan suku bunga akibat
antisipasi BI menahan kurs rupiah/dolar AS supaya tidak terjun bebas.
Ketiga; Jokowi dan jajarannya harus memiliki diplomasi luar negeri yang
baik. Banyak pihak menyebut diplomasi luar negeri kita selama ini lemah. Dengan
kelemahan itu, Indonesia mudah dipermainkan oleh lembaga ekonomi internasional,
seperti IMF dan WTO serta negara seperti AS (dalam kontrak pertambangan). Hal
ini bisa diatasi asalkan Jokowi tepat memilih menlu dan dubes. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar