PEMERINTAH dan Bank Indonesia (BI) akan mengeluarkan paket kebijakan untuk mengatasi pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS (SM, 14/3/15). Arah kebijakan itu antara lain menjaga defisit transaski berjalan 2,5 sampai 3% dari produk domestik bruto (PDB), menjaga inflasi di kisaran 4%, mendorong pengelolaan utang luar negeri secara sehat, menjaga kesehatan pasar uang terhadap risiko kredit dan likuiditas, mendorong perbankan menyediakan fasilitas lindung nilai tukar (hedging), dan mendorong transaski dalam rupiah di dalam negeri.
Untuk menilai apakah paket kebijakan itu berhasil mengatasi pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, perlu mengetahui dulu seluk-beluk pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar. Nilai tukar wajar rupiah terhadap dolar AS saat ini Rp 12.600 per dolar AS. Asumsi di APBNP2015 mendekati nilai tersebut, yaitu Rp 12.500.
Fundamen ekonomi Indonesia pun sebenarnya mendukung nilai tukar wajar rupiah terhadap dolar AS dan asumsi di APBNP2015. Pertama; arus modal asing masuk dalam surat berharga terus meningkat. Kepemilikan asing di saham di bursa sampai Maret 2015 mencapai Rp 10,3 triliun dan di obligasi pemerintah Rp 508 triliun (40% dari total obligasi pemerintah).
Kedua; neraca pembayaran Indonesia juga mengalami surplus di tahun 2014 sebesar 17,4 miliar. Kondisi ini lebih baik dari 2013 ketika neraca pembayaran Indonesia defisit 7,1 miliar dolar AS. Ketiga; tahun 2014 sebenarnya rupiah lebih perkasa dibanding mata uang lain karena hanya terdepresiasi 1,75%. Bandingkan dengan yen Jepang (12,1%), ringgit Malaysia (6,3%), dolar Taiwan (5,8%), dolar Singapura (4,7%), won Korsel (3,2%), yuan Tiongkok (2,4%), dan rupee India (1,81%).
Keempat; pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS tahun 2015 ini terjadi secara gradual, yaitu 3 tahun 6 bulan dari posisi Rp 8.500 per dolar AS tahun 2011 menjadi Rp 13.000-an tahun 2015. Hal ini berbeda dari 2008 saat terjadi krisis keuangan di AS dan Eropa ketika rupiah melemah secara tiba-tiba 39%, dari Rp 9.073 per dolar AS menjadi Rp 12.650 dalam waktu hanya 3 bulan.
Menekan Permintaan
Fakta-fakta itu menuntun pada kesimpulan bahwa pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS sampai Rp 13.000 lebih adalah anomali. Penyebabnya adalah adanya unsur ketidakpastian dan spekulasi. Ada spekulan raksasa yang bermain dalam situasi sekarang ini.
Mereka punya modal besar dan bisa seenaknya mempermainkaan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Adapun unsur ketidakpastian pasti menimbulkan kepanikan bagi pemilik uang terkait realisasi kebijakan-kebijakan ekonomi pemerintah yang sekarang yang belum tampak. Misalnya bagaimana alokasi dana dari hasil penghematan subsidi BBM dilaksanakan.
Bagaimana paket kebijakan baru pemerintah dan BI untuk meredam pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar? Kebijakan ini meredam dari sisi fundamen ekonomi Indonesia yang sebenarnya baik-baik saja. Pertama; kebijakan untuk menekan defisit transaksi berjalan memang baik untuk menekan permintaan terhadap dolar AS yang bisa membuat dolar AS terapresiasi atau rupiah terdepresiasi.
Kedua; kebijakan menekan inflasi juga arahnya menekan depresiasi rupiah terhadap dolar AS dengan cara membatasi rupiah yang beredar. Kalau jumlah rupiah berkurang dan dolar AS tetap maka nilai tukar rupiah terhadap dolar AS mengalami apresiasi.
Ketiga; pengelolaan utang luar negeri yang sehat akan mendukung pengaturan penggunaan valuta asing atau cadangan devisa di dalam negeri. Barangkali yang dimaksud dengan pengelolaan utang luar negeri yang sehat adalah bagaimana mengatur agar jatuh tempo utang luar negeri, baik swasta maupun pemerintah, tidak bersamaan sehingga kebutuhan dolar AS untuk membayarnya tidak bersamaan dalam jumlah besar hingga menimbulkan kepanikan seperti pada krisis 1997.
Keempat; mendorong perbankan menyediakan faisilitas lindung nilai untuk utang luar negeri merupakan kebijakan yang menarik. Dengan fasilitas itu maka pengusaha yang mempunyai utang luar negeri akan terlindungi dari risiko fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Hal ini akan mengurangi faktor psikologis atau kepanikan yang bisa membuat rupiah terjerembab lebih dalam.
Kelima; mendorong penggunaan transaksi dalam rupiah di dalam negeri merupakan kebijakan inovatif. Selama ini, kebijakan konvensional yang dikeluarkan BI untuk menekan depresiasi rupiah terhadap dolar AS adalah menekan pasokan atau penawaran rupiah. Sebenarnya bisa saja membatasi penggunaan dolar AS untuk transaksi di dalam negeri dan mendorong penggunaan rupiah, khususnya untuk transaski di dalam negeri. Jadi kebijakan ini sudah benar dan inovatif. Namun, semua itu memerukan kebijakan untuk mengatasi sumber anomali, yaitu spekulasi dan ketidakpastian. (10)
— Dr Nugroho SBM MSi, dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) Universitas Diponegoro Semarang