Oleh: Nugroho SBM
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sabtu 20 Februari 2010 mencanangkan ”Gerakan Indonesia Menabung”. Yang menarik, menandai awal gerakan tersebut BI bekerjasama dengan 70 bank umum dan Bank Pembangunan Daerah (BPD) serta 910 Bank Perkreditan Rakyat (BPR) meluncurkan produk tabungan baru yang diberi nama ”TabunganKu”. Berbeda dengan produk tabungan yang ada selama ini, ”TabunganKu” mempunyai ciri-ciri: bebas dari biaya administrasi, saldo minimal yang kecil yaitu Rp 20.000 untuk bank umum dan Rp 10.000 untuk BPR, dan suku bunga yang juga sangat rendah yaitu 0,75% (Suara Merdeka, 16/2/2010).
Jika dicermati maka strategi yang dipakai untuk menarik deposan dari TabunganKu adalah kebijakan untuk membebaskan biaya administrasi dan dan menetapkan saldo minimal yang kecil. Dengan demikian salah satu hambatan bagi para penabung atau deposan kecil (hanya punya dana pas-pasan) agar dapat menyimpan dananya di bank dapat diatasi. Tentang biaya administrasi ini, saya tidak tahu kapan bank-bank mulai memungutnya. Banyak pendapat yang mengatakan bahwa kegiatan memungut biaya administrasi ini adalah salah satu cara mencari pendapatan secara gampang. Istilah populernya adalah kegiatan mencari rente (rent seeking activity).
Sebagai ilustrasi betapa ”kejamnya” biaya administrasi ini, saya ambilkan contoh sebuah bank besar terkenal yang mengenakan biaya administrasi Rp 10.000 per bulan. Adapun suku bunga untuk tabungan bersaldo Rp 1 juta-Rp 10 juta sebesar 2 persen per tahun. Dengan asumsi nilai tabungan awal Rp 5 juta dan tidak pernah ditambah selama setahun, nasabah akan mendapat bunga Rp 100.000 per tahun. Setelah dipotong pajak 20 persen, pendapatan nasabah tinggal Rp 80.000. Padahal, biaya administrasi yang harus dibayar selama setahun mencapai Rp 120.000. Alhasil, dana berkurang Rp 40.000 dalam setahun. Penabung kian cepat kehilangan uangnya jika nilai tabungan di bawah Rp 1 juta. Sebab bunganya nol persen. Penabung tidak akan tergerus uangnya jika saldonya minimal Rp 6 juta. Pada level itu, biaya administrasi dan bunga mencapai titik keseimbangan.
Sebaliknya, waktu saya kecil, ada produk tabungan yang sangat terkenal yaitu TABANAS dan TASKA. Kedua produk tabungan tersebut bebas biaya administrasi dan sangat terjangkau bagi para pelajar karena saldo minimalnya sangat kecil sehingga para pelajar bisa menyisihkan sedikit uang sakunya untuk ditabung. Saya masih ingat betul, ketika sudah lulus SLTP dan duduk di bangku SLTA saya iseng mengambil tabungan saya yang saldonya kecil untuk saya tutup. Tak disangka saya mendapatkan bahwa uang saya bertambah banyak, tidak seperti tabungan sekarang yang pasti kalau saldonya kecil dan tidak pernah diisi maka akan habis dipotong biaya administrasi. Mungkin TabunganKu ingin mengembalikan citra tabungan seperti pada jaman TABANAS dan TASKA.
Dengan program TabunganKu ini, menurut Pjs Gubernur BI Darmin Nasution, akan dapat digaet 48 juta deposan baru dengan perkiraan dana yang bisa dihimpun sekitar 48 trilyun rupiah dengan asumsi setiap deposan baru itu menabung rata-rata Rp 1juta..
Kendala Lain
Namun biaya administrasi dan saldo minimal tabungan bukanlah satu-satunya kendala seseorang untuk menabung di Indonesia. Ada beberapa kendala lain. Pertama, ketidaksadaran masyarakat tentang bahaya jika tidak menabung. Sebuah survei dari Survei Citigroup (2009) menunjukkan sebagian besar masyarakat Indonesia tidak biasa menabung. Survei tersebut mengambil sampel 400 responden. Dari 400 responden tersebut kurang dari 47 persennya yang menyisihkan pendapatannya untuk ditabung, Dari responden yang menabung pun ketika ditanya seandainya mereka di PHK dari tempat kerjanya maka tabungan mereka hanya cukup untuk hidup empat minggu saja. Kecilnya tabungan mereka disebabkan lebih banyak mereka kurang rajin dan kurang disiplin dalam menyisihkan pendapatannya untuk ditabung. Implikasi dari hal ini adalah kampanye untuk gerakan menabung mestinya tidak hanya mengkampanyekan atau mengenalkan produk tabungan tetapi juga kampanye manfaat menabung untuk masa depan atau bisa juga sebaliknya yaitu bahayanya tidak menabung.
Hambatan kedua, mengapa masyarakat Indonesia kurang suka menabung adalah kecilnya pendapatan. Secara sederhana tabungan adalah pendapatan dikurangi pengeluaran. Maka jika pendapatan hanya cukup untuk menutup pengeluaran tidak ada lagi sisa pendapatan untuk ditabung. Seperti diketahui, jumlah penduduk miskin di Indonesia masih besar. Pada tahun 2009 jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 32,5 juta jiwa. Sedangkan pada tahun 2010 ini ada banyak perkiraan. Pemerintah memeperkirakan jumlah penduduk miskin akan turun menjadi sekitar 30 juta orang. Sementara menurut Agus Eko Nugroho (Peneliti pada Pusat Penelitian Ekonomi LIPI) justru memperkirakan memperkirakan jumlah orang miskin di tahun 2010 justru mengalami peningkatan menjadi 3,7 juta orang atau naik 200.000 orang dibanding tahun 2009. Maka jika ingin jumlah penabung dan tabungan di Indonesia bertambah sebagai salah satu sumber pembiayaan pembangunan, kemiskinan haruslah diatasi. Terdengar kabar bahwa pemerintah akan mengajukan RUU Penanggulangan Kemiskinan ke DPR sebagai upaya untuk mempercepat dan mengefektifkan kebijakan penanggulangan kemiskinan. Langkah ini perlu didukung supaya jumlah orang miskin di Indonesia kian cepat berkurang dan dengan demikian jumlah tabungan serta penabung kian banyak.
Kendala ketiga, adalah adanya sikap boros dari masyarakat Indonesia yang sebenarnya mampu untuk menabung. Dalam ilmu ekonomi makro dikenal adanya angka atau koefisien yang disebut kecenderungan mengkonsumsi marjinal (Marginal Propensity to Consume atau MPC). Angka atau koefisien ini menunjukkan berapa persen tambahan pengeluaran konsumsi masyarakat sebagai akibat pertambahan pendapatan masyarakat. Semakin besar angkanya menunjukkan semakin konsumtif masyarakat. Penelitian Lembaga Penelitian Ekonomi Institut Bisnis Indonesia (LPE –IBI) dengan data 1971-1997 menunjukkan angka MPC untuk Indonesia adalah 0,77 artinya jika pendapatan masyarakat naik 100 persen maka pengeluaran konsumsi masyarakat akan naik 77 persen. Memang bisa saja MPC yang tinggi itu disebabkan karena kenaikan pendapatan memang hanya cukup untuk menutup pengeluaran konsumsi. Tetapi kemungkinan lain adalah memang masyarakat kita adalah masyarakat konsumtif atau boros. Perilaku boros ini tampaknya sengaja diciptakan oleh para kapitalis di negara-negara maju lewat iklan. Lewat iklan yang sangat intensif masyarakat dibius untuk membeli barang bukan karena kebutuhan tetapi karena gengsi. Untuk mengatasi kendala ini mau tidak mau kembali kepada pribadi masing-masing. Pemerintah hanya bisa menghimbau.
Kendala keempat, budaya masyarakat Indonesia yang berorientasi masa lalu dan punya mentalitas suka menerabas. Menurut Koentjaraningrat, salah satu ciri masyarakat di negara sedang berkembang- termasuk Indonesia - adalah berorientasi pada masa lalu dan bukan pada masa depan. Perilaku gemar menabung sebenarnya adalah perilaku untuk melihat ke masa depan. Ciri lain dari masyarakat negara sedang berkembang – termasuk Indonesia – masih menurut Koentjaraningrat adalah mentalitas suka menerabas. Artinya untuk mencapai sesuatu orang ingin cari jalan pintas. Padahal menabung adalah salah satu cara untuk hidup cukup dengan cara yang tidak menerabas. Maka sebenarnya gerakan untuk membuat orang suka menabung bukan semata-mata teknis-ekonomis semata tetapi harus juga merupakan gerakan budaya dan oleh karena itu diperlukan rekayasa kebudayaan pula.
(Nugroho SBM, Staf Pengajar FE Undip Semarang)
2 komentar:
Salam PAk Nugroho SBM.
Perkenalkan nama saya Arik, warttawan Majalah HISTORIA. Saat ini tengah menulis mengenai sejarah Tabanas. Saya membaca blog bapak dan menenmukan informasi menarik mengenai Tabanas dan Taska. Saya mohon ijin untuk wawancara dengan bapak, berikut saya tinggalkan nomor saya 087854568638 atau email: aryono@historia.co.id . Mohon konfirmasi. Suwun.
maaf mas dulu udah telpon ya.
Posting Komentar