Minggu, 10 Oktober 2010

Dimensi Ekonomi Kecelakaan Kereta

Oleh Nugroho SBM

TANGGAL 28 September 2010 baru saja diperingati sebagai Hari Jadi Kereta Api dengan tema ‘’Saatnya untuk Berubah’’. Ironisnya, 2 Oktober 2010, terjadi dua kecelakaan kereta api (KA) secara beruntun, yaitu Argo Bromo Anggrek menyeruduk Senja Utama di Stasiun Petarukan Kabupaten Pemalang dan di Stasiun Purwosari Solo, Bima menyenggol Gaya Baru. Dua kecelakaan tersebut hanyalah sebagian dari kecelakaan kereta yang sering terjadi di Indonesia

Terlepas dari masalah teknis, ada dimensi ekonomi di balik kecelakaan kereta di Indonesia. Pertama, mengamati berbagai kecelakaan, yang sering terjadi adalah tabrakan antarkereta karena salah membaca sinyal atau kesalahan pengaturan waktu lewat mengingat satu jalur (rel) harus digunakan bersama secara bergantian.

Sebenarnya cara yang paling gampang adalah membangun jalur ganda supaya aman. Biaya membangun jalur ganda ini hanya 20% atau seperlima biaya membangun jalan tol. Tetapi mengapa jalur ganda kereta api tidak dibangun, sementara jalan tol terus dipacu pembangunannya?

Jawabannya ada dimensi ekonomi di baliknya yaitu kepentingan industriwan atau kapitalis negara maju di Indonesia. Pemilik pabrik mobil di negara-negara maju berkeinginan mobilnya laku di Indonesia, karenanya harus ada kenyamanan untuk pengendara mobil dan salah satunya adalah dengan membangun jalan tol.

Kepentingan pemilik modal asing juga dalam hal penyertaan modal dalam pembangunan jalan tol. Bisnis jalan tol di Indonesia memang menguntungkan dan keuntungan tersebut bisa abadi. Berbeda dari beberapa negara lain, jalan tol biasanya dibangun oleh pemerintah dan swasta dengan pola bangun, operasikan, dan alihkan (build, operate, and transfer/BOT).

Artinya swasta membangun, kemudian mengoperasikan dalam jangka waktu tertentu yang disepakati, setelah itu dikembalikan kepada pemerintah. Setelah periode itu, jalan tol tersebut menjadi jalan umum yang gratis bagi semua yang lewat.

Jadi keuntungan mengoperasikan jalan tol bagi swasta bukanlah keuntungan yang abadi. Indikasi betapa besarnya kepentingan pemilik modal asing dalam pembangunan jalan tol ini terlihat misalnya dengan banyaknya kasus ketidakpuasan masyarakat terhadap ganti rugi lahan akibat diprovokasi oleh pemilik modal asing pada proyek-proyek jalan tol yang tidak melibatkan investor asing.

Biaya Ditekan

Dimensi ekonomi kedua dari kecelakaan kereta di Indonesia adalah minimnya pendapatan PT KA, yang konsekuensinya adalah biaya-biaya yang harus ditanggung juga ditekan serendah mungkin. Ada yang menyebutkan bahwa mestinya untuk beroperasi secara layak PT KA harus memperoleh pendapatan sekitar Rp 12 triliun.

Karena harus menjalankan fungsi sosial sebagai penyelenggara angkutan umum yang murah saat ini pendapatannya ‘’hanya’’ Rp 6 triliun. Selisih Rp 6 triliun mestinya menjadi tanggung jawab pemerintah lewat subsidi dari APBN dengan skema public service obligation (PSO).

Pendapatan yang minim juga mengakibatkan semua biaya atau pengeluaran ditekan. Biaya perawatan infrastruktur yang seharusnya Rp 3 triliun/ tahun ditekan menjadi hanya Rp 800 miliar. Biaya untuk gaji pegawai yang jumlahnya 26.809 orang hanya tersedia Rp 2,2 triliun.

Dengan biaya perawatan yang minim sulit diharapkan kereta benar-benar laik beroperasi mengingat hampir sebagian besar sarana dan prasarana KA di Indonesia adalah peninggalan Belanda. Demikian juga dengan gaji yang rendah, sulit pula diharapkan kinerja sempurna dari SDM yang bekerja di bidang perkeretaapian.

Dimensi ekonomi ketiga dari kecelakaan kereta dalam skala yang lebih mikro adalah manajemen perkeretaapian yang tidak integralistik, bersifat parsial atau sepotong-sepotong. Dalam pernyataan pejabat dari berbagai instansi apakah itu Polri, Dephub, KNKT, ataupun dari pimpinan PT KA selalu dikatakan bahwa SDM pada aras yang paling rendah dan operasional yaitu masinis dan pengatur sinyallah yang paling bertanggung jawab.

Pernyataan tersebut tidak tepat sebab dalam manajemen yang baik berlaku pepatah: tidak ada bawahan yang buruk, yang ada atasan yang buruk yang tak bisa mengarahkan bawahannya.
Ini mirip dengan yang berlaku di militer: tidak ada prajurit yang buruk; yang ada adalah jenderal yang buruk. Maka pembenahan dalam perkeretaapian harus integralistik dari pucuk pimpinan (manager) sampai frontliners seperti masinis, pengatur sinyal, bahkan penjaga perlintasan. (10)

— Nugroho SBM, dosen Fakultas Ekonomi Undip

Tidak ada komentar: